Menulis sudah jamak dianggap sebagai salah satu mode terbaik untuk menyebarluaskan gagasan. Melalui tulisan, ide-ide dan gagasan-gagasan terdokumentasikan secara tertulis, dibaca oleh banyak orang, dan tersimpan dalam waktu yang lama untuk bisa diakses sewaktu-waktu. Menulis, dalam ungkapan Pramoedya Ananta Toer yang dikutip di mana-mana, adalah “bekerja untuk keabadian”.

Tetapi kita menulis tidak hanya untuk menyebarluaskan gagasan. Sebelum tahap itu, kita juga menulis demi tujuan pencatatan atau dokumentasi. Mencatat pelajaran, misalnya. Atau kewajiban menulis iʿdād al-tadrīs bagi para guru di TMI Al-Amien Prenduan. Orang-orang pesantren pada umumnya hafal sebuah syair Arab terkenal: al-ʿilm ṣayd wa al-kitābah qayduhū/qayyid ṣuyūdaka bi al-ḥibāl al-wātsiqah. Karena ilmu adalah buruan dan tulisan adalah pengikatnya,maka kamu harus mengikat buruanmu dengan tali yang kuat. Syair ini jelas adalah syair tentang menulis untuk mencatat. Rasanya, tidak ada santri dan guru yang tidak pernah menulis dalam pengertian seperti ini.

Menariknya, dalam sejarah, menulis untuk mencatat ternyata tidak selalu menjadi aktivitas yang disukai atau dihormati. Ada cerita tentang seorang penyair Arab jauh di masa lalu yang pernah ketahuan menulis sesuatu. Entah apa yang ia tulis dan di media apa. Tetapi dalam cerita itu, sang penyair dikisahkan kemudian memohon dengan sangat kepada kawan yang memergokinya sedang menulis itu untuk tidak memberitahu siapapun bahwa ia bisa menulis. Tentu saja permintaan itu tidak sepenuhnya terpenuhi, karena hari ini, belasan abad setelahnya, kita masih terus menceritakan kisah tersebut meski dengan identitas pelaku yang simpang siur.

Barangkali itu kasus pada kondisi yang sangat spesifik, yaitu di zaman ketika orang-orang Arab dikenal sangat mengagungkan hafalan. Menjadi hafal berarti menghilangkan kebutuhan akan catatan. Maka menulis atau mencatat bisa dianggap secara ekstrem sebagai tanda lemahnya kemampuan menghafal. Atau boleh jadi menulis pada saat itu dianggap sebagai lawan dari spontanitas. Meski ada beragam data bahwa para penyair Arab klasik juga menuliskan syair-syair mereka, namun sebagian dari reputasi kepenyairan itu dibangun di atas kemampuan merespons situasi yang mereka hadapi secara spontan. Penyair yang hebat adalah ia yang, tatkala dibutuhkan, mampu secara seketika menggubah syair tanpa terlebih dahulu merancang konsepnya di atas kertas. Kita bisa melihat itu, misalnya, dalam cerita-cerita peperangan, ketika beberapa penyair dari kedua pasukan yang berhadapan saling beradu kemampuan mengarang syair untuk memuja pasukannya dan merendahkan pasukan lawan. Agaknya, akan lebih baik bagi reputasi seorang penyair pada saat itu jika ia dikenal tidak bisa menulis.

Di masa berikutnya, ketika para ulama hadis merumuskan kriteria periwayat yang bisa dipercaya, mereka mengenalkan sebuah konsep yang disebut dengan “ḍabṭ”. Secara sederhana, ḍabṭ adalah kemampuan seseorang untuk menyampaikan sebuah atau sejumlah informasi secara sama persis seperti yang ia terima. Banyak orang mengira bahwa kualitas ḍabṭ seseorang diukur semata-mata melalui kualitas hafalannya. Periwayat yang ḍābiṭ adalah yang kuat hafalannya sehingga, karenanya, tidak mengandalkan tulisan dan catatan. Padahal tidak demikian. Ada jenis ḍabṭ yang disebut dengan ḍabṭ kitāb, yaitu ḍabṭ yang didasarkan atas kemampuan mencatat hadits serta memelihara catatan tersebut dari kesalahan dan kerusakan. Begitu teorinya. Hanya saja, bagian yang paling populer dari biografi para periwayat hadits adalah kisah-kisah tentang kekuatan hafalan. Al-Bukhārī, misalnya, merupakan salah satu legenda dalam hal itu. Alkisah, saat belajar hadis kepada guru-gurunya, al-Bukhārī dikenal jarang sekali mencatat apa yang diajarkan atau didiktekan oleh para gurunya tersebut. Hadis-hadis yang dipelajarinya dalam periode tertentu konon baru ia tulis di atas kendaraan saat ia harus berpindah dari sebuah kota ke kota yang lain. Ketika belajar, al-Bukhārī hanya berkonsentrasi, menyimak dengan seksama hadis-hadis yang terlontar dari lisan gurunya. Suatu hari, ia diprotes oleh kawan-kawannya, dianggap tidak serius belajar hadits. Al-Bukhārī membalas protes itu dengan tantangan. Ia bilang dirinya hafal di luar kepala semua hadis yang telah diajarkan gurunya, dari awal sampai akhir. Lalu ia mendemonstrasikan hafalannya yang menakjubkan. Ditantangnya kawan-kawannya itu untuk menemukan kesalahan dalam hadis-hadis yang ia bacakan tidak dari catatannya itu. Al-Bukhārī pun menang.

Beberapa abad setelahnya, ada kisah yang sangat populer tentang al-Ghazālī. Kisah ini terjadi pada masa-masa awal ia menuntut ilmu. Alkisah, dalam sebuah perjalanan, rombongan al-Ghazālī kecil dihadang penyamun. Semua harta al-Ghazālī dirampas, termasuk buku-buku catatan hasil pengembaraan intelektualnya selama sekian tahun. Menyadari bahwa buku-buku itu adalah harta yang tak ternilai, al-Ghazālī pun memberanikan diri mengejar kelompok penyamun tersebut. Di hadapan pimpinan penyamun, al-Ghazālī memohon agar catatan-catatan itu dikembalikan. Hanya catatan-catatan itu dan tidak yang lain. Sang pimpinan mengabulkan permohonan itu sambil mengejek al-Ghazālī. Ia bilang bukan ilmu namanya sesuatu yang masih tersimpan dalam catatan dan belum dihafal. Ejekan itu kemudian mengubah cara belajar al-Ghazālī. Beberapa tahun berikutnya, al-Ghazālī sendiri mengakui bahwa ejekan penyamun tersebut adalah salah satu nasihat paling berharga yang pernah ia terima.

Kisah-kisah di atas tentu tidak mewakili seluruh gambaran yang ada tentang persepsi orang-orang di masa lalu terhadap praktik menulis demi tujuan pencatatan dan dokumentasi. Ada fragmen lain. Misalnya, di masa lalu, orang-orang Arab biasa menyematkan gelar “al-Kāmil”—yang sempurna—kepada siapapun yang memiliki sekaligus tiga kemampuan: memanah, berenang, dan menulis. Tidak jelas juga sebetulnya mengapa tiga kemampuan ini dianggap sebagai kriteria kesempurnaan. Boleh jadi, karena tiga-tiganya adalah jenis kemampuan yang berfaedah besar namun langka dalam konteks masyarakat Arab di beberapa wilayah mereka pada saat itu. Mengayunkan pedang atau menunggang kuda, mungkin mayoritas lelaki Arab bisa melakukannya. Tapi tidak dengan memanah. Apalagi berenang dan menulis.

Secara umum, “menulis” dalam konteks di atas tampaknya masihlah “menulis” guna keperluan pencatatan dan dokumentasi, belum “menulis” demi keperluan diseminasi ide dan gagasan. Yang terakhir ini baru marak belakangan. Umat Islam memulainya dengan proses yang disebut “tadwīn” atau yang lazim diterjemahkan dengan “kodifikasi”. Para sejarawan ortodoks menyatakan bahwa gerakan kodifikasi dan pembukuan ilmu-ilmu agama itu dimulai pada akhir abad pertama atau awal abad kedua Hijriah. Sejak saat itu, para ulama menyebarluaskan ilmu dan ide mereka melalui tulisan. Kemampuan menulis menjadi semacam tanda diinisiasinya seseorang ke dalam lingkaran akademisi dan intelektual. Demikianlah prosesnya sehingga peradaban Islam kemudian sering disebut dengan “peradaban teks” (ḥaḍārah al-naṣṣ).

Menyadari bahwa menulis itu tidak mesti diniatkan untuk menyebarluaskan gagasan yang orisinal mungkin bisa berguna untuk meringankan beban. Menulis bisa sesederhana mencatat sesuatu yang sejak kecil dulu biasa kita lakukan. Bahkan beberapa karya yang ditulis oleh para ulama terkenal kadang-kadang masih juga dinilai tidak lebih dari “catatan”. Saya ingat pernah membaca tulisan Musāʿid al-Ṭayyār tentang siapa sebetulnya yang layak dianggap mufasir. Berdasarkan penelusurannya terhadap kitab Ṭabaqāt al-Mufassiīn, karya al-Suyūṭī, al-Ṭayyār mengamati bahwa tidak semua nama yang tercantum di sana layak disebut mufasir. Sebagian dari mereka, menurutnya, lebih tepat disebut “para penukil tafsir” (naqalat al-tafsīr). Di antara tokoh-tokoh yang disebut sebagai “para penukil tafsir” tersebut, terdapat nama-nama populer seperti ʿAbd al-Razzāq al-Ṣanʿānī, ʿAbd b. Ḥumayd, dan Ibn Abī Ḥātim al-Rāzī. Padahal “penukil” itu kira-kira mirip dengan kita yang mempublikasikan “catatan-catatan” pribadi atas sekian banyak pelajaran yang pernah kita terima dan ternyata itu tetap keren, kok.

Lebih dari itu, produksi tulisan juga tidak harus dilakukan dengan “menulis” dalam arti yang harfiah. Ada beberapa ulama di masa modern ini yang karya tulisnya adalah hasil transkrip dari ceramah atau pengajian verbal. Yang paling dekat dengan kita barangkali adalah al-maghfūr lahū  KH. Muhammad Idris Jauhari. Beberapa karya yang diterbitkan setelah beliau wafat adalah transkrip ceramah beliau pada berbagai kesempatan. Dalam studi tafsir, misalnya, kita juga mengenal setidaknya dua tokoh di masa modern ini yang karya tafsirnya merupakan salinan dari ceramah-ceramah lisan. Keduanya adalah Ibn Bādīs dari Aljazair dan Mutawallī al-Syaʿrāwī dari Mesir. Kasus relasi antara Tafsir al-Manār dan Muhammad Abduh juga bisa menjadi tambahan catatan. Khusus al-Syaʿrāwī, hasil transkrip itu meliputi tafsir lengkap al-Qur’an 30 juz, sehingga ia seringkali disebut “Ṣāḥib awwal tafsīr syafawī mutakāmil li al-Qur’ān al-Karīm”.

Terakhir, dalam konteks ‘menulis untuk mencatat’ di atas, perlu ada gerakan literasi yang sistematis dan terencana, khususnya melalui peran guru di lembaga pendidikan, tak terkecuali di TMI. Saya berharap, dengan itu semua, para guru bisa mengambil peran mereka masing-masing dalam gerakan literasi ini. Gerakan yang kita lakukan bukan dengan jemawa, tapi dengan sederhana dan rendah hati.

4 thoughts on “Menulis untuk Mencatat

  1. Faisol Halili 42 says:

    Dawuh ketika berceramah saja sudah sangat renyah untuk dinikmati. Apalagi ketika beliau menyampaikan hikmah melalui tulisan. Sungguh sangat bisa untuk dinikmati dan diambil hikmahnya. Terimakasih TMI sudah membuat website ini. Sehingga dengan Begitu. Kami sebagai alumni serasa terus mendapatkan petuah dari kiai. Walaupun raga sudah tidak dekat seperti dulu ketika nyantri.

  2. Walidil Kutub says:

    Admin… apa Ayahanda Yai Ghozi, mengisi secara rutin kajian ini? setiap hari apa? Laiknya, Pak Dahlan Iskan dengan Disway-nya, kami menunggu dengan penuh harap, tulisan Ayahanda selanjutnya.

  3. Ust. Suhairi, S.Th.I Al Hafidz says:

    Subhanallah.
    Barokallah.

    Sangat Bagus Sekali Dan Menginspirasi.
    Terimakasih Pak Kiyai.

    Semoga Panjenengan Sekeluarga Senantiasa Sehat Wal ‘Afiyat Serta Dalam Lindungan Dan Ridho Allah SWT. Amien Yaa Rabbal ‘Alamin.

    PP. Baron Nganjuk Jawa Timur
    1. Ust. Suhairi, S.Th.I Al Hafidz Alumni MTA 2006 M Dan IDIA 2010 M
    2. Usth. Riskiyatun, S.Th.I Alumni IDIA 2010 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.