Saya masih ingat sekilas, beberapa bulan yang lalu teman saya[1] memperlihatkan sebuah korean show yang ia tonton. Kalau tidak salah membahas sekumpulan mahasiswa yang sedang mengikuti cerdas cermat atau semacamnya. Sebetulnya saya tidak terlalu serius menyimak penjelasannya hingga beberapa pekan yang lalu reel instagram[2]saya untuk kesekian kalinya menampilkan seorang mahasiswi berprestasi yang telah menulis belasan publikasi ilmiah terindeks Scopus. Saya pun tertarik untuk menelusurinya.

Yang saya dapati dari laman Ruangguru[3], ia merupakan mahasiswi dari kampus ternama  dan juga peserta Clash of Champions, salah satu game program yang diadakan dan ditayangkan di platform Youtube Ruangguru. Saya coba telusuri lagi dan ternyata event itu mengusung konsep yang mirip dengan University War dari Korea Selatan, sebuah korean show yang teman saya tonton beberapa bulan yang lalu.

Saya cukup terkagum dengan performa mereka semua. Sebagai mahasiswa berprestasi, mereka berkompetisi membawa nama kampus kebanggaan untuk jadi yang terbaik. Bayangkan saja pada episode perdana yang bertajuk “Extreme Addition” mereka saling beradu ketepatan juga kecepatan dalam menjawab ratusan penjumlahan matematika. Masing-masing peserta menyuguhkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi atau dikenal sebagai Higher Order Thinking Skill (HOTS).

HOTS diperkenalkan pertama kali oleh seorang psikolog berkebangsaan Amerika, Benjamin Samuel Bloom. Dalam buku Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals (1956)  yang disusun bersama rekan-rekannya, ia menjelaskan enam tingkatan pemikiran dari terendah hingga tertinggi yang disebut dengan Taksonomi Bloom. Tingkatan itu terdiri dari; 1). Mengingat, 2). Memahami, 3). Menerapkan, 4). Menganalisis, 5). Mengevaluasi dan yang tertinggi 6). Menciptakan. Beliau menjelaskan bahwa tingkatan keempat hingga keenam disebut sebagai Higher Order Thinking Skill.[4]

Pertanyaan sederhana di benak saya “kok bisa mereka bisa sampai tahap pemikiran itu?”, atau barangkali kalau diolah kembali pertanyaan tadi secara ilmiah kira-kira berbunyi “bagaimana melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi?”.

Nah, memberikan siswa kesempatan untuk bertanya, mengkorelasikan konsep dan menghasilkan sebuah konklusi merupakan cara sederhana untuk mengajarkan kepada siswa mengenai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Siswa yang diajarkan berpikir kritis dapat meningkatkan pemahaman bahasa, kreativitas dan kecerdasan intelektual yang bersifat inti dan penting secara besar. Mereka juga mampu menyelesaikan masalah dengan lebih baik serta mampu menerapkan hasil pembelajaran mereka ke dalam situasi baru yang dialaminya. Ini mengacu kepada studi yang pernah dilakukan oleh seorang psikolog berkebangsaan Amerika Serikat bernama Richard Herrnstein beserta rekan-rekannya terhadap 400 siswa yang masih duduk dikelas tujuh.[5]

Ada beberapa cara yang dapat diterapkan dalam melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi, misalnya penggunaan alat visual untuk membantu siswa dalam menganalisis pembelajaran dengan baik atau penggunaan model pembelajaran berbasis masalah untuk ‘memaksa’ siswa berpikir kritis dalam menemukan solusi, dan masih banyak cara lainnya.

Dari sekian banyak cara, ada salah satu cara yang sangat menarik perhatian saya yaitu penggunaan ‘Pertanyaan Socrates’. Uniknya lagi, tepat tiga hari yang lalu sejak tulisan ini saya garap (20/07/2024) salah satu postingan akun instagram @kokbisa kebetulan fyp di beranda pencarian Instagram saya dan membahas mengenai ‘cara praktis ngelatih berpikir kritis’[6]. Saya kembali membuka smartphone dan menyimak pembahasannya slide demi slide.

Sederhananya kita mengajukan beberapa pertanyaan untuk membuat hipotesis kita sendiri lewat serangkaian cara. Pertama-tama bisa lewat pertanyaan sederhana atau hasil pemikiran yang didapati setelah percakapan. Misalnya bertanya sendiri untuk kemudian dijawab sendiri, layaknya dua ‘entitas’ yang saling berdiskusi ramai di dalam kepala kita. Akun @kokbisa juga menambahkan soal ‘hasil overthinking bareng chatGPT’ dan saya rasa itu menarik juga mengingat bahwa saya sendiri suka sekali memberikan beragam pertanyaan diferensial kepada chatGPT yang pertama kali rilis dua tahun silam.

Langkah selanjutnya yaitu mencari orang untuk menjadi teman diskusi. Kita saling memberikan dan menguji pendapat atau pemikiran untuk mempertajam kemampuan berpikir kita. Pemikiran-pemikiran yang memantik pertanyaan mungkin barangkali juga bisa ditemui pada ‘obrolan lelaki pada tengah malam’. Mungkin itu jadi salah satu alasan mengapa mudabbir firqoh KOPI (Kelompok Orang Pinggiran) yang memang melatih santri-santri TMI berpikir kritis biasanya mengadakan diskusi pada malam hari setelah nida’ naum ditemani dengan secangkir kopi, pena dan buku catatan. Momen ini saya rasakan bersama Ustadz Mudiuddin ketika masih duduk di kelas IV TMI meski sebentar.

Agar hipotesis tadi semakin tajam kita bisa membahas topik tersebut dan dikaitkan dengan sebuah asumsi, pengandaian maupun pertanyaan lainnya. Hipotesis tadi diulangi, dianalisis dan dievaluasi secara kontinu sampai bisa menciptakan sebuah kesimpulan yang memuaskan.

TMI Al-Amien Prenduan yang kurikulumnya menyangkut pembelajaran didalam kelas maupun diluar (program-program pondok maupun kelompok ekstrakurikuler) sudah menyiapkan wadah bagi para santri untuk melatih kemampuan berpikir tersebut. Program-program pondok seperti DPS Talk Show, Musyawarah Tahunan dan Tasyji’ Usbu’ie maupun kelompok ekstrakurikuler seperti KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), KOPI (Kelompok Orang Pinggiran) dan FKN (Forum Kajian Tafaqquh Fiddien) memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh santri untuk mencoba mengkritisi topik pembahasan tertentu, memperdebatkannya dan mendiskusikannya antar sesama untuk kemudian menghasilkan konlusi-konklusi baru.  Barangkali yang menjadi PR terbesar bagi kita adalah dengan mengoptimalisasi kembali kesempatan-kesempatan itu serta menguasai cara-cara untuk melatih kemampuan berpikir tinggi kepada para santri kita.

Mengutip salah satu quote dari Socrates: “Education is the kindling of a flame, not the filling of a vessel.”. Pendidikan adalah penyulut api, bukan pengisian bejana. Maksudnya adalah pendidikan sejatinya adalah wadah untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berkreativitas bukan hanya sekedar menghafal atau menerima pengetahuan begitu saja.[7] Mungkin bukan sekarang waktunya, tetapi saya yakin bahwa akan ada alumni-alumni kita dengan kemampuan HOTS-nya mewakili nama kebanggaan TMI Al-Amien di event-event serupa Clash of Champions by Ruangguru, olimpiade sains & matematika bertaraf nasional & internasional maupun yang lainnya.

Kita semua adalah penyulut api. Menyala TMI-ku! 🔥🔥🔥


[1] Hifdani Amal Abdika

[2] https://www.instagram.com/reel/C8ZF-6kS-55/?igsh=MW9ub2o0NjFqcTAyYw==

[3] https://www.ruangguru.com/blog/profil-shakira-clash-of-champions

[4] https://www.ruangguru.com/blog/mengenal-tipe-soal-hots

[5] https://www.teachstarter.com/au/blog/higher-order-thinking-in-the-classroom-and-why-it-matters-3/

[6] https://www.instagram.com/p/C9mjsLYSAHN/?igsh=MTd0NjQzeTczenM3MQ==

[7] https://willpolston.com/the-top-15-socrates-quotes-and-how-they-are-relevant-to-modern-day-life/