Di hadapan Tuhan, saya memulai tulisan sederhana ini dengan penuh rasa syukur dan terus tersenyum. Menjadi bagian dari pondok pesantren TMI Al-Amien Prenduan merupakan salah-satu nikmat terbesar dari Allah SWT. dalam hidup ini. Bagaimana tidak, 8 tahun lamanya saya mengenyam pendidikan di sana. Sejak 2016 kaki ini mulai melangkah di bumi Djauhari, hingga tahun 2020 berhasil menamatkan Pendidikan di TMI Putri Al-Amien Prenduan, berlanjut hingga tahun 2024 sebagai guru pengabdian TMI Putri dan mahasiswi IDIA atau sekarang sudah beralih bentuk ke UNIA (Universitas Al-Amien Prenduan), tentunya bukanlah waktu yang singkat jika dilihat dari kuantitasnya. Namun, perjuangan 8 tahun itulah yang kini menjadi kenangan terindah dan dirindukan.
Terlepas dari kata “kerinduan kepadanya”, sebenarnya tulisan ini merupakan bentuk panggilan hati untuk menunaikan sebuah tugas, yang entah masih berlaku atau tidak, tapi menurut saya tetap merupakan kewajiban (إجابة الدعوة) bagi saya. Yaaa…, betul saja, satu tahun yang lalu saya mendapatkan undangan guru menulis dari bagian TMI Media Center, namun ternyata, kewajiban saya untuk mengirimkan tulisan tersebut tidak kunjung terlaksana hingga saya menyelesaikan pengabdian di TMI Putri. Teringat akan tanggung jawab mengenai undangan tersebut, saya memaksakan diri ini untuk menorehkan beberapa kata. Ringan memang, hanya menulis, namun apalah hasilnya jika kata “ringan” hanya sebatas ucapan tanpa action.
Tidak dipungkiri, Allahlah Sang Mu’allim sejati, Allahlah Sang Pemberi Hidayah kepada hamba-hamba-Nya. Ia akan memberikan hidayah kepada siapa pun yang Ia kehendaki begitu pula sebaliknya. Ia mempunyai berbagai macam cara untuk memberikan hidayah tersebut kepada para hamba-Nya dan Al-Amien merupakan salah-satu cara Tuhan menyadarkan saya. Al-Amien adalah salah-satu wasilah Tuhan mengajarkan ilmunya. “Al-Amien Mengajariku” itulah judul besar yang akan coba saya tuangkan dalam tulisan ini, tentunya tidak akan selengkap kenyataannya, ilmu yang diajarkannya tidak akan cukup apabila saya tuliskan semuanya, karena itulah akan saya sampaikan beberapa point saja.
Pertama, Al-Amien Mengajariku Menjadi Pejuang Ilmu yang Memiliki Tuhan. Jika kita ditanya:
“Mondok di Al-Amien diajari apa saja?”,
“Sudah khatam kitab muthawwalat apa saja?”,
“Bisa baca kitab kuning?”, dll.
Walaupun pada realitanya, berbagai kitab yang diajarkan di Al-Amien Prenduan hanya beberapa bab saja (tidak sampai tamat), namun dengan tanpa ragu saya katakan, bahwa ilmu yang diajarkan di Al-Amien itu lebih dari itu. Sungguh benar dawuh para masyayikh; “Ilmu yang diajarkan di Al-Amien itu adalah KUNCI (kunci gudangnya segala ilmu)”. Kunci yang kita peroleh di Al-Amien itu sangat berharga, ilmu apa pun di luar sana, bisa kita buka dengan kunci tersebut. Ia bukan sembarang kunci. Ia ibarat kunci mobil Ferrari. Dengan kunci itu kita bisa mengendarai mobil yang konon hanya dimiliki oleh kalangan-kalangan tertentu saja karena saking mahalnya. Hebat bukan…? Namun di samping itu, apalah bedanya kunci Ferrari dengan kunci mobil rongsokan jika kunci tersebut tidak digunakan dengan bijaksana.
Di sinilah letak ungkapan “pejuang ilmu yang memiliki Tuhan” dibutuhkan, karena pejuang ilmu yang memiliki Tuhan ialah pejuang ilmu (thalibul ‘ilmi atau mu’allim) yang selalu meletakkan keimanan pada garda terdepan perjuangannya. Para pejuang ilmu yang memiliki Tuhan ialah yang akan mencapai tujuan hakiki dari thalibul ‘ilmi, mengapa demikian? Karena Ilmu-ilmu yang ia perjuangkan akan selalu berusaha ia amalkan untuk taqarrub kepada Allah SWT, sehingga nantinya terciptalah para generasi-generasi khairu ummah, para mundzirul qaum yang benar-benar mutafaqqih fi al-din yang sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah Ali-Imran: 110:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dari sinilah, Al-Amien akan benar-benar melahirkan ulama’ yang intelek, bukan intelek yang tahu agama.
Kedua, Al-Amien Mengajariku Pentingnya Keikhlasan dan Kesabaran. Dua kata tersebut memanglah ringan jika diucapkan, namun mewujudkannya tidak semudah melafadzkannya. Keikhlasan dan kesabaran merupakan dua hal yang saling dan harus selalu berkaitan di mana pun dan kapan pun, karena pada hakikatnya, keikhlasan ialah kemurnian hati dari segala kotoran dan penyakit hati sehingga menjadikan segala yang dikerjakannya hanya semata-mata mengharap Ridha Allah SWT. sedangkan kesabaran ialah salah satu tanda-tandanya.
Potret pengabdian para masyayikh dan guru-guru di Al-Amien benar-benar mengajari saya pentingnya keikhlasan dan kesabaran. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, bahkan dalam tidurnya pun, para guru-guru kami terus mengerahkan segenap jiwa dan raganya untuk mendidik para santri dan memberikan pengabdian terbaik pada bumi Djauhari. Begitu banyak cobaan dan rintangan beliau-beliau hadapi dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, mulai dari permasalahan internal santri yang sering melanggar peraturan pondok, hingga harus terus memikirkan dan merencanakan program-program pengembangan pondok. Semuanya beliau-beliau lalui dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, yang mana pada akhirnya berkat perjuangan, keikhlasan dan kesabaran beliau-beliaulah, 71 tahun lebih Al-Amien mampu berdiri kokoh dan terus berkembang mencetak para kader-kader pemimpin umat, mencetak alumnus-alumnus hebat yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
Di samping potret pengabdian para masyayikh, pengalaman 4 tahun menjadi guru pengabdian di TMI Putri Al-Amien Prenduan juga menambah keyakinan saya akan pentingnya dua kata tersebut. Menjadi bagian dari MPO (Majelis Pertimbangan Organtri) yang dituntut untuk terus menggerakkan dan mengontrol kinerja para tangan kanan kyai (pengurus ISTAMA) tentunya bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Maklum saja, yang kami didik bukanlah santri baru yang mudah untuk taat pada peraturan pondok. Kami harus menemani dan mengawal perjalanan santriwati yang jika diibaratkan pohon, mereka berada pada posisi puncaknya, semakin besar angin menerjangnya.
Begitu pula menjadi bagian dari Markazul Lughat, menjadi bagian yang konon dikenal horror di kalangan santriwati. Bagaimana tidak, setiap markazul lughah jalan dan di situ ada kerumunan santriwati, suasana yang awalnya riuh, seketika menjadi sepi. Ya…sepi. Sepi sebab ketakutan mereka dihukum oleh kami karena berbicara dengan bahasa non resmi. Dari bagian garda terdepan penegakan disiplin bahasa inilah, saya semakin sadar betapa mulianya cita-cita para masyayikh yang menginginkan para santrinya menguasai dua bahasa (Bahasa Arab dan Bahasa Inggris) agar nantinya menjadi kader-kader mundzirul qaum yang mampu menjadi juru bicara Islam di kancah internasional.
Selain itu, 2 tahun menjadi bagian TMI Media Center juga mengajari saya penting dan indahnya dua kata tersebut (keikhlasan dan kesabaran). Dimarahi konsultan karena hasil dokumentasi yang kurang sesuai dengan harapan, pro-kontra aturan dokumentasi putri yang bisa dikatakan lebih sensitif dari santri putra, juga permasalahan internal yang sering mengintai, semua kenangan di dalamnya tidak akan mampu menjadi kenangan terindah tanpa adanya keikhlasan dan kesabaran.
Hingga akhirnya pada pengabdian ke-4, di tahun terakhir menjadi guru pengabdian di TMI Putri, ujian keikhlasan dan kesabaran pun mencapai puncaknya. Sempat putus asa, stress, dimarahi Dewan Pengasuh Putri karena keteledoran agenda salah satu kegiatan pondok, bahkan hampir dikeluarkan dari pondok karenanya, sungguh mengajari saya pentingnya keikhlasan dan kesabaran. Walaupun awalnya sempat putus asa, namun akhirnya semua rasa putus asa itu hilang, saya pun sadar bahwa tidak akan ada seorang guru yang memarahi muridnya karena guru itu benci kepadanya, justru amarah seorang guru itu datang karena guru tersebut menyayanginya, guru tersebut masih memperdulikannya dan di balik amarah tersebut tersimpan harapan besar akan adanya perubahan, perbaikan dan kemajuan di kemudian harinya.
Hingga akhirnya bisa dikatakan, bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit dan bukanlah kesabaran jika masih mempunyai batas. Ikhlas itu tak berbekas dam sabar itu tanpa batas. Jika pun ada manusia yang menyatakan bahwa sabar itu ada batasnya, maka sejatinya bukanlah kesabaran yang berbatas, namun dirinya sendirilah yang membatasi kesabaran tersebut.
Ketiga, Al-Amien Mengajariku Indahnya Kesederhanaan. Jika dilihat sekilas, maka mayoritas masyarakat luar sana akan mengaitkan kata sederhana ini dengan kesederhanaan harta, baik dari segi berpakaian, pola makan, dll. Namun, bukan itulah makna kesederhanaan hakiki yang saya maksud. Kesederhanaan di sini bukan tanda kemiskinan, karena sejatinya ia menyederhanakan jiwa agar paham arti sebuah kehidupan.
Al-Amien mengajari kami akan pentingnya hal itu, mulai dari kehidupan santriwati yang berasal dari berbagai kalangan, baik yang perekonomiannya menengah ke atas hingga anak pejabat, semua dituntut untuk terus hidup sederhana. Gaya berpakaian, menu makanan, tutur kata, dan yang terpenting sikap kita dituntut untuk selalu meniru ilmu padi, “semakin tua semakin merunduk”, hingga para guru-guru kami yang selalu menjadi uswah (top figure) kesederhanaan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Dari Al-Amien saya semakin menyadari bahwa hakikat kesederhanaan itu ibarat nasi yang tidak mempunyai rasa saat dimakan, tetapi orang-orang tidak pernah bosan memakannya. Kesederhanaan juga seperti air, tidak memiliki rasa dan warna, tetapi karena tidak berasa dan berwarna itulah ia tetap dikonsumsi oleh setiap orang. Kesederhanaan itu biasa-biasa saja, namun setiap orang selalu membutuhkannya. Begitulah yang saya tangkap dari kehidupan para masyayikh Al-Amien. Gaya beliau biasa-biasa saja, namun ilmunya, manfaatnya, pengabdiannya kepada bumi Djauhari begitu istimewa dan luar biasa.
Di akhir tulisan ini, saya sampaikan rindu yang paling dalam pada bumi Djauhari, semoga Allah SWT. terus menjaganya, terus menjaga para masyayikh dan guru-guru di dalamnya. Semoga Al-Amien terus berjaya hingga hari kiamat tiba, dan semoga semua pengabdian-pengabdian masyayikh dan guru-guru di dalamnya menjadi pengabdian yang berarti, liizzil islam wa al-muslimin, Aamiin ya rab al-‘aalamiin…..