
Siapa sih yang tidak senang ketika mendapat peringkat pertama saat sekolah dahulu? Jangankan peringkat pertama, saya pribadi ketika tahu bahwa peringkat semester II tambah tinggi ketika pembagian rapor saja sudah senang rasanya. Sebenarnya sah-sah saja jika euforia semacam itu membangkitkan keinginan para orang tua murid agar putra-putrinya lebih giat lagi dalam belajar.
Namun yang sangat disayangkan ialah ketika konsep sistem ranking itu jadi satu-satunya patokan penilaian pendidikan dalam mindset orang tua. Tidak jarang kita menemukan beberapa orang tua yang membanding-bandingkan nilai anaknya dengan murid yang mendapat peringkat lebih tinggi, atau lebih parahnya lagi ketika ada sikap diskriminasi yang ditunjukkan ketika anaknya mendapat nilai rendah.
Orientasi pendidikan seperti ini hanya memprioritaskan penekanan pada nilai-nilai akademik saja. Konsep ranking yang bersifat kompetitif dinilai hanya menghasilkan istilah murid pintar dan bodoh padahal ranking hanya sebuah konsep penilaian akademik yang bersifat numerik saja. Alih-alih berharap adanya “fastabiqul khoirot” di sana justru yang didapati malah kecurangan-kecurangan yang terjadi selama pelaksanaan ujian seperti contek-menyontek maupun sogok-menyogok, naudzubillah.
Saya pernah mendapati pernyataan menarik dari Albert Einstein. “Semua orang adalah jenius. Tetapi jika anda menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, seumur hidupnya ia akan percaya bahwa ia bodoh.” Ada banyak pendapat populer mengenai metafora tersebut sekalipun konteks di atas memang tidak sepenuhnya dapat diterima begitu saja sebab “ikan” dengan keterbatasan fisiknya yang memang tidak dapat memanjat tidak dapat disejajarkan dengan manusia. Sepanjang seseorang tidak memilik keterbatasan fisik dan akal tentunya ia juga bisa memiliki kemampuan-kemampuan lainnya. Tetapi kesimpulan yang dapat saya cerna adalah bahwa setiap orang punya kemampuan di bidang masing-masing dan bisa saja memiliki lebih dari satu kemampuan.
Howard Gardner seorang pakar pendidikan sekaligus psikolog asal Amerika Serikat dalam bukunya “Frame of Mind” menulissuatu teori belajar yang masyhur yaitu “Multiple Intellegence” atau kecerdasan majemuk. Ia menjelaskan mengenai jenis kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing orang. Jenis-jenis kecerdasan itu antara lain: kecerdasan linguistik (bahasa), kecerdasan logika dan matematika, kecerdasan musik, kecerdasan jasmani (kinestetik tubuh), kecerdasan visual spasial, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan naturalis dan tambahan terakhir kecerdasan eksistensialis. Ia memandang bahwa kecerdasan adalah alat ukur belajar yang mana tidak didasarkan pada nilai atau skor tes standar semata.
Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah sebagai salah satu lembaga yang ada di dalam lingkungan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan menerapkan proses pendidikan yang berlangsung selama 24 jam dalam satu program yang dikemas dalam bentuk “Core & Integrated Curriculum”. Guna mewujudkan visi dan misinya, maka TMI mengembangkan program kompetensi pilihan (KOMPIL) mengingat bahwa setiap santri memiliki maziyyah yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan untuk melahirkan muslim yang multiterampil serta mampu mengaktualisasikan eksistensi dirinya dengan maksimal sesuai dengan harapan Alm. KH. Muhammad Idris Jauhari; “Saya ingin para santri percaya diri dengan kelebihan dirinya ketika pulang ke masyarakat kelak.”
Masing-masing kompil tersebut bisa didapati di berbagai ekstrakurikuler/kelompok minat yang ada. Sudah menjadi hal yang lumrah ketika masa-masa orientasi santri baru, para mu’allim mengumpulkan seluruh santri, baik yang shighar maupun kibar pada hari tertentu dalam rangka pemilihan kelompok minat yang dibantu oleh mudabbir masing-masing di setiap penjuru Masjid Jami’. Hari-hari berikutnya, para mudabbir berlomba-lomba menempel poster/flyer ‘Open Recruitment” di tempat-tempat yang mereka anggap strategis.
Maka tidak heran bila selama menyantri di TMI, saya mendapati banyak kakak kelas yang hebat pada bidang-bidang tertentu, terlepas dari kelasnya yang tinggi maupun rendah, bahkan beberapa di antaranya banyak menguasai kemampuan bidang bermacam-macam hingga di-cap sebagai multitalenta. Saya rasa TMI dengan segala keramah-tamahannya terhadap eksplorasi minat dan bakat para santri pantas untuk disebut sebagai Pusat Pengembangan Kecerdasan Majemuk atau Multiple Intellegences Development Center. Tidak, tidak ada santri yang bodoh, mereka semuanya cerdas di bidang masing-masing, dan TMI dengan segala kelompok minatnya mampu menjadi wadah dan media bagi mereka yang ingin menyalurkan dan mengembangkan potensinya secara maksimal.
“Pondok sudah menyiapkan macam-macam kunci, selebihnya tinggal kamu yang membuka pintu-pintunya nanti.” Ungkapan seperti itu seringkali saya dengar entah ketika berbincang dengan mu’alliem ataupun para ustadz ketika saya masih duduk di bangku TMI. Maka seiring dengan doa para masyayikh dan guru-guru, kita semua berharap dari kelompok FKN lahir ulama-ulama yang mutafaqquh fi ad-dien, dari kelompok SIGMA maupun ASC lahir ilmuwan muslim terkemuka, dari kelompok SALAM maupun IDEALPEND lahir seniman, desainer, fotografer dan videografer yang mampu berdakwah menyebarluaskan budaya Islam, dari kelompok Firtalia maupun PEC lahir alumni yang mampu mengarungi luasnya dunia dengan kemampuan berbahasanya, dari kelompok HORAS lahir para atlet bertaraf internasional, dari kelompok KOPASS ALPEND lahir mujahid-mujahid fii sabiilillah. Dan masih banyak lagi.
Dari Al-Amien Prenduan, li ‘izzil islam wal muslimien…