“Kullu nafsin dzaiqatul maut”

Hingga saat ini kita semua percaya dan tak menolak, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Tumbuhan yang hijau tak perlu layu untuk mengering. Hewan yang sehat, tak perlu sakit untuk kemudian mati. Begitu juga dengan manusia, bila telah masanya kematian tak perlu aba-aba untuk datang dan malaikat tak akan mengulur waktu dalam menunaikan tugasnya.

“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un”

Kita adalah milik Allah dan hanya kepadanya tempat kita kembali. Satu hari yang lalu, kalimat itu bergema dengan penuh rasa pilu, mengiringi kepergian sosok maha guru yang teramat dicinta dan digugu. Kepergiannya bukan hanya menyesakkan kalbu, namun juga menyisakan rindu pada tiap-tiap kenangan dan kebersamaan penuh ilmu.

Kali pertama kami mengenalnya, kami sebut beliau “Kiai Ghaddul Bashar”. Julukan tersebut bukan tak berdasar. Sudah tak dapat dipungkiri bahwa sebagian santri yang belum mengenal gurunya, ia akan menyebut guru tersebut dengan maddah yang diajarkan seperti “ustadzah hadits”, “ustadz fiqh” dan lain sebagainya. Tapi tidak dengan guru satu ini. kami menyebutnya “Kiai Ghaddul Bashar” karena setiap kali beliau mengajar, tak pernah sekalipun beliau menatap kami secara langsung. Beliau lebih sering mengarahkan pandangannya ke arah langi-langit atau dinding di belakang kelas.

Dua tahun lamanya kami merasakan manisnya belajar bersama beliau. Dan merupakan suatu kebanggan bagi kami, saat kami tahu bahwa kitab Ushul Fiqh yang selama ini kami pelajari adalah karangan beliau, dan kami belajar pada pengarang kitab tersebut secara langsung. Dua tahun adalah waktu yang teramat singkat untuk menyelami kedalaman ilmu beliau khususnya dalam masalah fiqh wa usuluhu.

Lalu kemarin sebuah pesan datang yang mengatakan bahwa beliau telah berpulang pada sang ilahi Rabbi. Rasa tak percaya masih mendominasi. Kami coba mencari, barangkali ada nama yang sama dengan KH. Mujammi’ Abdul Musyfi. Namun nyatanya kami hanya berusaha menolak sebuah kenyataan, yah kenyataan yang teramat menyakitkan.

Tak pernah ada kata baik-baik saja dalam kehilangan. Apalagi ia adalah seorang ulama, guru juga ayah yang faqih dan selalu sabar dalam mengajarkan ilmunya pada santri-santrinya. Dari beliau kami mengenal ushul wal furu’ juga memperdalam pengenalan halal wal harom dan cara mengambil hukum yang sesuai dengan kaidah. Kata pepatah “harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. Dan hari ini kami menjadi saksi KH. Mujammi’ Abdul Musyfi jasadnya mungkin sudah tertutup dalam pelukan tanah, namun namanya akan selalu kami kenang abadi dari kitab yang telah beliau karang serta ilmu dan kenangan yang telah beliau torehkan.

Tak terpikir bahwa secepat ini, namamu akan tersebut dalam al-Fatihah bersama para almarhumin kiai. Sosokmu yang penuh wibawa kan selalu kami kenang dan petuahmu yang penuh dengan rasa cinta akan selalu kami patrikan. Terimakasih atas segala ilmu dan hikmah yang telah engkau ajarkan. Semoga engkau ridha pada kami para santrimu kiai. Dan semoga Allah kembali mempertemukan kita di surganya nanti. Amiin ya Rabbal Alamiin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.