Aturan yang mengekang, keharusan untuk belajar mandiri, tuntutan untuk mengaji berbagai kitab, hidup membosankan dan beragam asumsi kurang mengenakkan biasanya akan muncul tiba-tiba jika mendengar kata “santri” ataupun “pesantren”. Memang tidak semuanya, hal demikian akan datang dari orang-orang yang memang berprasangka buruk terhadap kehidupan pesantren. Tapi tak masalah. Mungkin orang-orang itu memang belum pernah mendapat pemahaman yang sedikit lebih menarik tentang “keunikan” hidup di pesantren.

Di pesantren, segala perawakan akan saling dipertemukan. Santri yang baik akan bertemu dengan yang nakal, yang rajin akan berteman dengan yang malas, yang pintar akan mengajak belajar temannya yang kecerdasannya di bawah rata-rata, yang kaya akan berbagi dengan yang “kurang mampu”, yang berjiwa pemimpin juga akan berdiri menggandeng kawan-kawannya yang siap untuk belajar bersama. Semuanya pasti akan bersatu padu hingga berhasil menyandang title ALUMNI.

Dari sekian banyak watak dan latar belakang santri, menurut saya, ada satu lagi model santri yang bisa menjadikan santri lain lupa bahwa mereka sedang hidup dalam keseriusan menuntut ilmu, butuh konsentrasi yang penuh, ketaatan pada perintah pengurus, asatidz dan juga kiai. Dengan adanya satu santri ini, segala hal yang mungkin terasa berat untuk dijalani akan terlupakan sesaat, sekedar untuk mengusir penat. Perkenalkan, santri humoris.

Biasanya, dalam satu angkatan, santri model seperti ini tidak banyak jumlahnya, hanya segelintir. Walaupun begitu, ia menempati posisi yang sangat penting dalam hiruk pikuk kehidupan pesantren, paling tidak, di angkatannya sendiri.

Seperti kisah dari santri yang satu ini. Ia bahkan dikenal oleh santri lintas angkatan, bahkan ustadz beserta kiainya. Ia merupakan santri terpandang, meskipun baru masuk ke pondok barunya, setelah memutuskan pindah dari sekolah sebelumnya. Ia pintar, anak seorang kiai, suka membaca buku berbahasa asing, dan tentunya humoris

Dia adalah Abdurrahman ad-Dakhil atau yang lebih kita kenal dengan Gus Dur. Ya, presiden keempat Indonesia sekaligus cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Saat baru pertama kali menginjakkan kaki di Pesantren Tegalrejo Magelang, ia bahkan sudah menjadi buah bibir. Bagaimana tidak, santri baru, namun disambut dengan penuh penghormatan oleh kiai pengasuh pesantren, Kiai Chudlori.

Di pesantren itu ia dikenal dengan santri yang penuh humor. Berbagai cerita lucu ia kisahkan pada teman-temannya di waktu senggang, atau di sela-sela menghafal Jurmiyah dan Alfiyah. Banyak dari cerita jenaka yang dia dapat dari buku-buku yang ia baca, atau memang dari pengalamannya sendiri. Salah satunya adalah seperti kisah berikut ini.

Suatu hari, sore ba’da Ashar, para santri mengaji kitab dengan kiainya di depan mihrob masjid. Kegiatan rutin ini berjalan khidmat, diwarnai dengan suara-suara burung yang sedang menunggu senja, atau suara “Oooh…” santri yang baru saja memahami sesuatu dari apa yang diajarkan kiai. Di penghujung kegiatan itu, fokus santri yang sedang menyimak sedikit hilang lantaran di luar, ada seorang penjual daging yang sedang menjajakan dagangannya,

“Daging…. daging… murah… murah….,” teriaknya berulang kali hingga para santri di masjid bubar karna pengajian telah usai.

“Daging… daging…,” Teriakan itu kembali terdengar, membuat salah satu santri tidak tahan. Ia pun beranjak dari tempat duduknya, juga berteriak kepada si penjual daging karena merasa terganggu,

“Bang……!! abang ga punya otak ya?”

“Gak ada… gak jual otak, adanya cuma daging.”

Teman-temannya yang dari tadi menyimak cerita itu pun tertawa terbahak-bahak mendengar akhir cerita yang di luar perkiraan. Ada yang sampai sakit perut, karena biasanya setelah itu ada lagi cerita nyeleneh dari Gus Dur muda.

Semenjak ada Abdurrahman di pesantren itu, entah mengapa, pesantren menjadi lebih berwarna. Banyak kawan bahkan kakak kelasnya datang menemuinya hanya untuk mendengar cerita nyeleneh.

Dalil Menyontek

Selain lucu, Gur Dur kecil juga terkenal nyeleneh, penuh misteri, namun masuk akal, lebih tepatnya di luar nalar. Seperti ketika kalender pesantren sampai pada masa ujian. Tak ada yang aneh dengan ujian pertamanya di pesantren itu. Sejak lembar soal dibagikan, semua santri tampak bagitu serius menjawab soal-soal itu. Termasuk Gus Dur muda. Semuanya tenang, senyap, tanpa suara bising.

Namun, ketenangan di ruang ujian itu berubah menjadi ketegangan. Konsentrasi para santri seketika buyar sesaat setelah sang pengawas ruangan berteriak,

“Abdurrahman, kamu menyontek?” Ya, Gus Dur yang kita kenal sebagai orang yang cerdas bahkan pernah “tertangkap” sedang mencontek. Dan kalian tahu apa jawaban Gus Dur? Dengan “entengnya” dia menjawab;

“Tidak, saya tidak mencontek, saya hanya membuka buku,” tentu ini mengundang gelak tawa seisi ruangan. ‘Itu kan sama aja, Gus.’ ‘kacau,’ ‘payah,’ mungkin begitu dalam benak santri lain.

Tapi tunggu, dia punya alasan yang bahkan membuat si pengawas berdiri mematung.

“Sama saja! Sudah tau, kan, menyontek itu dilarang.”

“Tapi di sini tidak ada perintah dilarang menyontek,” sambil ia tunjukkan lembar soal pada ustadz pengawas, meyakinkan bahwa menyontek itu boleh.

“Dalam kaidah fiqih kan begini ustadz,” lanjutnya “Al-ashlu fi al-asyya’ al-ibahah hatta yadulla ad-dalil ‘ala tahrimihi (segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang mengaharamkannya), berarti menyontek kan tidak masalah, ustadz, kata yang membuat soal saja boleh.”

Begitulah warna-warni di pesantren. Penjara suci ini tidak semengerikan apa yang orang-orang kira. Di dalamnya pasti ada orang-orang humoris semacam Gur Dur. Coba perhatikan dan ingat-ingat siapa di angkatan kita yang paling humoris. Orang yang biasanya meski berdiri saja sudah lucu, celotehannya ditunggu-tunggu. Pasti ada bukan?

One thought on “Santri Humoris

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.