Pada hari Kamis yang lalu, 15 September 2022, saya berkesempatan silaturahmi ke salah satu teman karib KH. Maktum Jauhari, Pak Mustafa Abd. Rahman, wartawan senior Kompas untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika, di kawasan Hay Asyir, Kairo. Kunjungan tersebut tidak dimaksudkan secara mendetail membahas tentang lika-liku kehidupan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir). Rencana awalnya, saya dengan Ilham Rojabi, Ketua IKBAL Korda Kairo, hanya ingin menyerahkan titipan ke beliau yang diberikan salah satu penasihat IKBAL, Ust. Falahuddin Qudsi, MA.

Keluarga IKBAL sendiri pernah silaturahmi ke kediaman beliau pada tahun 2017 saat Idul Adha. Pada momen tersebut, Pak Mus, panggilan akrab untuk beliau, banyak bercerita tentang keakraban beliau dengan Kiai Maktum saat sama-sama menjadi mahasiswa. Sedangkan pada tahun 2016, beliau juga pernah menjadi narasumber bersama KH. Ahmad Fauzi Tidjani pada acara Dialog Kemaduraan di sekretariat Fosgama Mesir. Sepertinya, para senior IKBAL terdahulu memiliki keakraban tersendiri dengan beliau sejak lama.

Nah, saya merasa bahwa pertemuan Kamis kemarin berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Pertemuan kali ini, lebih banyak membahas Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) dan keadaan teman-teman IKBAL Korda Kairo terkait prestasi akademiknya di kampus. Menarik memang. Seperti yang saya singgung sebelumnya, bahwa pertemuan ini tidak sengaja mengarah pada pembahasan yang serius. Malah niat awal kami, hanya ingin menyerahkan titipan saja lalu pamit pulang. Namun nyatanya, kami asyik mengobrol panjang-lebar hingga menghabiskan waktu 1,5 jam.

Muadalah Pondok

Perkiraan pada November 2021, KH. Ahmad Fauzi Tidjani berkunjung ke Mesir bersama beberapa rombongan kiai dari Indonesia. Salah satu tujuan kunjungan beliau waktu itu adalah memperpanjang pengurusan muadalah (penyetaraan ijazah) pondok dengan Universitas al-Azhar Kairo, yang sudah non-aktif sejak 2004. Terkait proses muadalah ini, saya tidak berhak membahasnya di sini. Menariknya, ijazah yang dimuadalah dengan al-Azhar menjadi kebahagiaan tersendiri bagi pondok tentunya. Banyak keuntungan jika pondok telah rampung mengurus proses muadalah ini. salah satunya, pondok dapat mengirim lulusannya ke al-Azhar tanpa melalui rentetan seleksi yang diadakan oleh Kemenag RI. Sebagai gantinya, pondok mendapat keistimewaan untuk mengadakan seleksi mandiri di lingkungan pondok sendiri. Pondok Modern Darussalam Gontor termasuk yang sering mengadakan seleksi mandiri ke Mesir tiap tahunnya.

Saya rasa bukan hanya pondok yang turut berbahagia dengan adanya muadalah ini. Tentu, para alumninya dan IKBAL di Kairo turut merasakan kebahagiaan tersebut. Selain kemudahan dalam mengadakan seleksi mandiri, juga ada penguatan diplomasi pendidikan antara pondok dengan beberapa universitas yang berada di luar negeri, khususnya al-Azhar Kairo. Selanjutnya, pondok juga dapat menyeleksi alumni-alumni terbaiknya secara independen, objektif dan transparan. Hingga harapannya, jauh dari praktik ‘titip nama’ atau ‘asal meloloskan’ mahasiswa baru yang dianggap kurang kompeten di bidang tersebut. Tentu praktik semacam ini marak terjadi pada seleksi di tahun-tahun sebelumnya.

Dalam obrolan bersama Pak Mus, kami turut mengabarkan bahwa pondok sedang menyelesaikan proses muadalah tersebut. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, berapa jumlah alumni yang akan diloloskan jika muadalah sudah berada di tangan? Ini menjadi pertanyaan pribadi yang saat itu masih menggantung. Saya rasa teman-teman IKBAL juga memiliki pertanyaan yang sama. Karena ini menyangkut kualitas alumni ketika menempuh pendidikan di Al-Azhar Kairo.

Sebagai informasi, bahwa mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Kairo hingga saat ini, perkiraan sudah menyentuh angka 12.000. Tentu ini menjadi kuantitas yang ‘tidak sehat’ semenjak terjadi gelombang pengiriman mahasiswa pada 2017. Pada masa sebelum 2017, pengiriman mahasiswa dari hasil seleksi Kemenag berkisar 400-650 setiap tahunnya. Nah, pada 2017 pertama kalinya pengiriman mahasiswa Indonesia ke Mesir berjumlah 1500, hingga pernah pada 2018 mencapai 2000. Pada  tahun 2021 kemarin, jumlahnya sudah tidak bisa ditekan ke angka 400-650 lagi. Angka yang cukup fantastis, memang. Tentu kuantitas sedemikian banyaknya, menimbulkan pelbagai persoalan. Semisal hal yang tampak di permukaan adalah angka kenaikan tingkat mahasiswa Indonesia per-tahun yang sering dipertanyakan, pengurusan visa dan tentunya kualitas yang dihasilkan.

Menariknya, dari kuantitas yang tidak sehat tadi, dalam rentang lima tahun ke belakang muncul pelbagai kritikan dan saran dari pemangku jabatan di lingkup Masisir, baik PPMI Mesir dan KBRI Kairo. Salah satu upaya yang ingin diketengahkan adalah memperbaiki sistem seleksi dari hulunya, agar tidak menjadi bumerang di kemudian hari nanti. Baik tahapan seleksi yang dilakukan oleh Kemenag, PUSIBA Indonesia (Pusat Studi Bahasa Arab) atau pondok-pondok yang memegang ijazah muadalah dari al-Azhar nantinya. Termasuk pondok kita, Al-Amien Prenduan.

Cita-cita

Beberapa kali kesempatan dalam acara Silaturahmi Bulanan yang rutin diagendakan oleh IKBAL Korda Kairo, penasihat kami senantiasa memberi wejangan terkait belajar dan meneruskan cita-cita pendidikan para kiai di pondok. Salah satu motivasi teman-teman adalah Kiai Maktum Jauhari yang menamatkan jenjang magisternya di al-Azhar. Kunjungan Kiai Ahmad Fauzi Tidjani pada tahun 2021 kemarin, juga sempat memberi nasihat kepada santri-santrinya agar terus menyelesaikan program pendidikannya di al-Azhar hingga jenjang yang lebih tinggi. Pun, beberapa teman yang pernah sowan ke Kiai Ghozi Mubarok Idris juga diberi wejangan untuk jangan puas sampai jenjang S1 saja, kalau bisa menyelesaikan juga jenjang magister dan doktoralnya.

Sebagai anggota aktif IKBAL, tentu kami mengamini harapan dan doa tersebut. Dari jumlah 120-an anggota, sekitar 10-15% anggota IKBAL yang saat ini melanjutkan program magister dan doktoralnya di Al-Azhar. Saya rasa, semenjak IKBAL Korda Kairo didirikan pada 1995 hingga saat ini, masih satu orang senior kami yang tengah menulis disertasinya di Al-Azhar dengan konsentrasi bidang Perbandingan Madzhab, yakni Ust. Agus Burhanuddin, MA. Sedangkan untuk teman-teman yang sedang proses menulis tesis dan menyelesaikan Tamhidi di S2 kurang lebih sebanyak 13 alumni. Tentu ini angka yang cukup kecil, jika melihat kuantitas anggota IKBAL yang kian meningkat tiap tahunnya.

Kemungkinan, pertimbangan terbesar dari teman-teman IKBAL terkait program magister dan doktoral di al-Azhar adalah tingkat kesulitannya. Selain itu juga, masa pendidikan yang berbeda dengan universitas di Indonesia atau kawasan Timur Tengah lainnya. Normalnya, mahasiswa dapat menyelesaikan program magister dalam waktu dua tahun saja. Namun, di al-Azhar untuk jenjang magister sendiri minimal ditempuh empat sampai lima tahun, ini belum dihitung dengan ‘molor’-nya dikarenakan pelbagai hal. Tentu ini bukan hanya pertimbangan dari anggota IKBAL sendiri, namun pertimbangan umum yang dipikirkan oleh mahasiswa Indonesia di Kairo.

 Sebagaimana yang disampaikan di atas, bahwa kuantitas yang besar belum tentu menghasilkan kualitas yang diinginkan. Problematika mahasiswa di sini sudah cukup terlihat dari dampak yang diciptakan oleh kuantitas yang tidak sehat. Jika hanya asal mengirim mahasiswa dan tidak memperbaiki sistem seleksi dari hulunya, tentu merusak citra al-Azhar sebagai salah satu kampus rujukan untuk belajar Islam. Salah satu dampak konkritnya, beberapa mahasiswa Indonesia yang lolos ke Mesir belum baik dalam penguasaan materi diktat kuliah, terutama membaca kitabnya. Hal ini menambah deretan panjang angka ketidaklulusan mahasiswa di sini.  

Awal 2022 kemarin, saya bersama beberapa teman IKBAL pernah diminta senior untuk memberikan bimbingan belajar kepada mahasiswa yang tidak naik tingkat. Kurang lebih ada tujuh orang, kesemuanya bukan anggota aktif IKBAL. Dari proses bimbingan tersebut, saya mencoba mengarahkan bagaimana cara memahami diktat perkuliahan. Ironinya, dari hasil pembacaan saya, bahwa dari ketujuh mahasiswa tersebut masih kurang cakap kemampuan membaca dan memahami diktat tersebut. Setelah saya amati, ini merupakan dampak nyata adanya proses seleksi pada tahun 2021 yang ‘asal’ memberangkatkan. Lalu, bagaimana dengan yang lainnya? Saya rasa cukup banyak. Tersebab, persoalan ini cukup senter dikritik di tengah-tengah forum diskusi.

Tentu cita-cita para kiai akan terlaksana dengan baik pada suatu hari nanti, jika pondok memiliki regulasi seleksi mandiri. Atau jika belum rampung proses muadalahnya dalam waktu dekat ini, setidaknya pondok memberikan arahan bagi alumninya yang dianggap mampu secara kualifikasi keilmuannya dan memang bersungguh-sungguh ingin belajar. Harapannya, untuk mengirimkan alumninya yang memang sudah tidak meraba lagi bagaimana caranya menghadapi diktat perkuliahan yang kesemuanya berbahasa Arab. Terutama kecakapan dalam membaca dan memahaminya. Karena, jika hanya memperbanyak kuantitas, tanpa diriingi kualitas yang memadai, khawatir hanya menambah problematika yang akhir-akhir dialami oleh Masisir.

Setidaknya dari proses tersebut, dapat menekan jumlah ketidaknaikan tingkat atau bahkan mencetak banyak alumni yang memiliki kapasitas sebagai cendekiawan muslim. Mungkin, menghasilkan alumni Al-Amien Prenduan yang banyak lulus di jenjang magister dan doktoral di Al-Azhar adalah sebuah bonus yang patut disyukuri. Namun, tidak dapat dimungkiri, bahwa menyiapkan mental alumni Al-Amien Prenduan yang akan berangkat ke Kairo dengan kecakapan yang memadai adalah satu hal lain yang mesti dititikberatkan. Meski hanya menyelesaikan di al-Azhar jenjang S1 saja, penguasaan ilmu agamanya sudah memadai melampaui jenjangnya.

Saya sering kali melempar angan ke beberapa teman yang sedang melanjutkan jenjang magister di al-Azhar. Bahwa untuk IKBAL sendiri saat ini prioritas ke depannya adalah mendukung alumninya untuk berbondong-bondong meneruskan cita-cita para kiai. Butuh berapa alumni Al-Amien Prenduan yang harus menyelesaikan jenjang magister dan doktoral di al-Azhar? 20 kah atau 30 atau 50? Saya rasa ini bukan hanya persoalan angka dan ‘gagah-gagahan’ belaka. Namun, persoalan membangun mental alumninya perlu dimulai sejak awal untuk siap banyak membaca dan berkutat dengan kitab-kitab perkuliahan yang cukup kompleks ketika tiba di Kairo. Tentu, memperbaiki keluarga sendiri membutuhkan kerja sama yang konkrit di berbagai lapisannya. Terutama mencoba merealisasikan salah satu cita-cita pendidikan para kiai di pondok sedikit demi sedikit ke depannya di Kairo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.