Islam bukan hanya sebagai agama bermuatan doktrin dan teologi, namun di dalamnya juga menitiberatkan pada keadaban kehidupan manusia. Islam Indonesia bisa terus berkembang, salah satunya dikarenakan adanya peran dan kontribusi pesantren. Eksistensi pendidikan karakter di pesantren dalam kesehariannya, salah satunya dikarenakan adanya pendidikan kepanduan dan kepramukaan di dalamnya. Maka wajar kalau kemudian pesantren dinilai bukan hanya sekadar sekolah asrama, namun pesantren menjadi tempat pengajaran karakter dan nilai-nilai keislaman.

Kalau selama ini ada anggapan, pramuka dapat membentuk karakter siswa. Hal tersebut bukan omong kosong. Ini yang penulis rasakan, setelah menggeluti dunia pramuka saat masih nyantri di TMI Al-Amien Prenduan. Sejak dari kelas 2 sampai kelas 4 TMI, penulis bergabung dengan regu khusus (resus) Mahapatih. Salah satu regu populer di masanya. Terbukti, saat penulis duduk di kelas 3, resus Mahapatih menjadi juara umum pada acara Temu Akrab Pramuka Santri Se-Indonesia (TAPSINDO) tahun 2003 dalam rangka acara Kesyukuran Setengah Abad Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Tak kalah pentingnya, dari pramuka itulah penulis mulai menyadari akan orientasi pendidikan sepanjang hayat.

Setidaknya, penulis benar-benar merasakan tumbuhnya mental berani tampil di muka publik, mudah bergaul dengan teman, dan tak kalah pentingnya, tumbuhnya jiwa kepemimpinan dalam diri penulis. Dari sejak kelas 1 sampai kelas 6, penulis aktif dalam organisasi shof. Saat duduk di kelas 5, penulis diamanahi menjadi Ketua Umum Organisasi Santri (organtri) ISMI. Suatu pengalaman berharga bagi penulis. Di sisi lain, penulis selama nyantri juga aktif dalam kegiatan keilmuan, menjadi anggota Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), menjadi anggota Kajian Wara’al Qitor (KWQ), dan kegiatan keilmuan lainnya. Dari hal itulah, penulis seringkali menjadi utusan shof dalam perlombaan debat, dongeng, bercerita, pidato, MC, maupun cerdas cermat. Proses asah itulah yang penulis terima selama nyantri di TMI Al-Amien Prenduan. Tak jarang, penulis seringkali ikut rombongan delegasi saat akan berlomba ke luar pondok. Kenangan indah yang tak terlupakan. Tentu jasa para mentor, dari kalangan asatiz dan muallimien, asih dan asuh mereka tak terhitung jasanya bagi penulis.

Saat duduk di kelas 6 TMI, setelah menjabat sebagai ketua umum ISMI. Suatu hari, berawal dari iseng akan menulis biografi TRIMURTI Al-Amien (Kiai Tidjani, Kiai Idris dan Kiai Maktum). Setelah surat disampaikan ke ketiga kiai tersebut. Beberapa hari berselang, penulis bersama inisiator penulis lainnya (Wahid Hasyim, teman seangkatan), dipanggil oleh Kiai Idris ke kediaman beliau. Kiai Idris menyampaikan, agar penulisan biografi yang akan dilakukan, ditulis secara berurutan, disarankan agar kiai yang akan ditulis sudah wafat. Alasan beliau, karena biografi yang baik, menceritakan dari kelahiran sampai akhir hayat. Untuk itu, menurut Kiai Idris agar penulisan dimulai dari Kiai Tidjani, lalu Kiai Idris, dan dilanjutkan penulisan biografi Kiai Maktum. Ini insting kewaliaan Kiai Idris dalam memprediksi urutan ajal kematian. Sebagaimana diketahui, Kiai Tidjani wafat terlebih dahulu pada tahun 2007, dilanjutkan oleh Kiai Idris pada tahun 2012, dan Kiai Maktum wafat pada tahun 2015.

Atas arahan Kiai Idris itulah, kami berdua menyampaikan surat kepada Kiai Tidjani sesuai apa yang disampaikan oleh Kiai Idris. Surat tak kunjung direspon oleh Kiai Tidjani, karena di tahun itu, kegiatan Kiai Tidjani begitu padat. Sesekali, kami bertanya kepada salah seorang putra beliau, Lora Abdullah Muhammadi, kebetulan adik kelas di TMI. Menurut ceritanya, bahwa pengajuan penulisan biografi, Kiai Tidjani masih melakukan istikharah. Keputusan baru ada, setelah istikharah dan hasilnya dinilai bagus. Hampir 3 bulan penantian tersebut. Penulisan biografi, dimulai, bersamaan dengan Kiai Tidjani yang baru datang dari Maroko, dalam rangka acara Tarekat Tijaniyah, amaliyah tasawuf yang digelutinya.

Penulis mengamati, ijtihad Kiai Tidjani istikamah menjadi pengamal salah satu tarekat, karena kesadaran beliau tentang dampak sains modern telah menimbulkan problema-problema serius bagi kehidupan manusia. Namun bukan dalam artian, Kiai Tidjani antipati terhadap kemajuan, terbukti Kiai Tidjani telah berhasil dalam eksperimen konstruksi kurikulum di Ma’had Tahfidh Al-Qur’an (MTA) yang menyandingkan IMTAQ dan IPTEK dalam integrasi kurikulumnya. Apa yang dilakukan oleh Kiai Tidjani, sebagai pengamal tarekat dan inisiator pendidikan integrasi IMTAQ dan IPTEK, merupakan bukti bahwa kehidupannya merupakan ekspedisi spritual dan intelektual sebagai seorang ulama. Ijtihad semacam inilah sebenarnya yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan-tantangan zaman secara dialogis dengan mengatur keseimbangan antara pendidikan hati, akal, dan realitas empiris.

Awal mula kami berdua melakukan wawancara, insting kewaliaan Kiai Tidjani mulai tersibak. Beliau mengatakan kepada penulis, bahwa nantinya penulislah yang akan menulis beberapa hal tentang pondok pesantren Al-Amien Prenduan. Bukan hanya sebatas penulisan biografi para kiainya. Tak ayal, sebelum penulisan biografi rampung, Kiai Tidjani memberikan tugas kepada penulis untuk menulis sejarah pondok pesantren Al-Amien Prenduan dalam rangka Milad Hijri dan Haul Masyayikh tahun 2007, dan Kiai Tidjani langsung yang memberikan kata pengantarnya. Beberapa naskah makalah seminar, kliping kegiatan, catatan tangan dan berkas lainnya, diberikan oleh Kiai Tidjani kepada kami berdua. Menyelam sambil minum air, di satu sisi kami melakukan penulisan biografi Kiai Tidjani, di sisi lain, Kiai Tidjani juga memerintahkan penulisan sejarah pondok.

Kebanggaan tersendiri bagi penulis, saat Kiai Tidjani dirawat di rumah sakit Jakarta tahun 2007. Konon, ada beberapa alumni Al-Amien yang sudah menjadi penulis nasional, menyampaikan hasratnya untuk menulis biografi Kiai Tidjani, namun beliau menolak dengan alasan karena saat bersamaan, penulisan sedang berlangsung, dan itu dipercayakan oleh beliau kepada kami berdua, yang saat itu masih duduk di kelas 6 TMI. Namun sayang, penulisan biografi baru rampung, setelah beberapa bulan Kiai Tidjani wafat.

Kembali kepada hasil istikharah yang dilakukan oleh Kiai Tidjani tentang layak tidaknya penulis menulis biografi penulis, ternyata memiliki korelasi yang seirama dengan riwayat kajian akademik yang penulis lakukan. Saat penulis melakukan penelitian skripsi S1, kajian penulis tentang Kiai Tidjani, yang kemudian terbit menjadi buku berjudul, “Ulama Negosiator Pesantren,” diterbitkan di Yogyakarta dengan kata pengantar sosiolog dari Nijmegen Belanda, Prof Huub de Jonge. Pada saat penulis mengerjakan tesis S2, penulis mengkaji tentang Kiai Idris, juga alhamdulillah diterbitkan, berjudul, “Sang Konseptor Pesantren,” diterbitkan di Yogyakarta dengan kata pengantar dari Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Faisal Ismail. Pada saat studi S3, penulis mengangkat kajian tentang pengamalan tarekat Tijaniyah di pondok pesantren Al-Amien Prenduan, dari masa Kiai Djauhari, Kiai Tidjani sampai Kiai Ahmad Fauzi. Alhamdulillah disertasi tersebut juga terbit, dan yang membahagiakan bagi penulis, disertasi tersebut menjadi trilogi. Yaitu, pertama berjudul, “Aktualisasi Tasawuf Tarbawi,” Buku kedua berjudul, “Tiga Muqaddam Tijaniyah,” dan buku ketiga berjudul, “Konstruksi Pesantren Tranformatif.” Dan mendapat kehormatan ketiga buku tersebut dilaunching di pondok pesantren Al-Amien Prenduan. Sebuah penghargaan dan kebahagiaan yang besar bagi penulis.

Bukti insting kewaliaan kiai Al-Amien lainnya yang dialami oleh penulis, saat penulis baru selesai studi S1 di IDIA Prenduan tahun 2011. Secara bersamaan, penulis mendapat tawaran pengabdian dari salah seorang guru di TMI, yang kebetulan di lembaga mertuanya di Jakarta membutuhkan guru pengabdian yang sudah sarjana. Maka penulis memberanikan diri pamit boyong ke Kiai Idris selaku pimpinan pondok kala itu. Alasan penulis karena akan melanjutkan studi S2 di UIN Syarif Hidayatullah, sekaligus mengabdi di lembaga yang dimiliki oleh keluarga ustaz TMI tersebut. Namun apa alasan Kiai Idris menolak. Menurut beliau, kalau sama-sama mengabdi di lembaga pesantren dan swasta, mending melanjutkan pengabdian di pesantren Al-Amien Prenduan saja. Alasan kedua, kalau sama-sama ke UIN, mending ambil di UIN (dulu masih IAIN) Sunan Ampel Surabaya saja. Dan alasan ketiga, menurut Kiai Idris, nanti jodoh penulis juga orang Prenduan, lantas ngapain ke Jakarta, kalau pada akhirnya akan hidup dan menetap di Prenduan? Tahun 2013 menjadi bukti kebenaran insting kewalian yang dimiliki oleh Kiai Idris. Di tahun 2013, setahun setelah Kiai Idris meninggal, penulis mendapat jodoh dengan gadis asal Prenduan, Ilfiatul Marhamah binti Muhammad Syamrawi. Penulis saat ini, menetap dan tinggal di Prenduan, sebagaimana prediksi Kiai Idris.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.