Seorang kawan di masa kuliah dulu mengharamkan peminjaman buku-bukunya oleh siapapun dengan alasan apapun. Saya atau kawannya yang manapun, jika memiliki kepentingan dengan salah satu buku yang dimilikinya, hanya diizinkan untuk membaca di tempat. Tentu saja tempat itu, yang merupakan kamar kos miliknya, tidak dibuka setiap saat. Saya kira kawan saya ini adalah pecinta buku yang habis-habisan. Sebagai pemilik buku, ia lebih garang dari pada petugas perpustakaan manapun yang pernah saya temui.

Orang-orang memang mencintai buku dengan banyak cara. Jika buku itu milik sendiri, maka salah satu cara mencintainya adalah, seperti yang dilakukan kawan saya tadi, dengan tidak meminjamkannya kepada orang lain. Tapi jika buku itu milik orang lain, maka ekspresi paling banal dari cinta kita terhadapnya adalah meminjamnya lalu berupaya agar kita tidak perlu lagi mengembalikannya.

Saya punya kawan yang lain lagi. Dulu, ia tinggal di kota yang berbeda sehingga tidak setiap waktu saya bisa mengunjunginya. Tetapi setiap kali saya berkabar hendak berkunjung ke tempat tinggalnya, ia selalu melakukan satu hal yang sama. Disembunyikannya semua buku yang dianggapnya berharga di dalam lemari bajunya, lalu dikuncinya lemari itu rapat-rapat. Saya tahu hal itu belakangan. Pantas saja, saya selalu heran melihat koleksi bukunya sangat sedikit padahal ia dikenal sebagai kutu buku dalam pengertiannya yang maksimal. Rupanya, sebagai alumnus Al-Amien, ia khawatir saya tertarik kepada salah satu bukunya, lalu ia sungkan untuk tidak meminjamkannya atau menghadiahkannya kepada saya. Bukan tanpa alasan ia khawatir. Saya pernah, bersama seorang kawan yang lain, meminjam buku Theories of Society miliknya dan baru mengembalikannya setelah berbulan-bulan. Apa boleh buat, buku itu memang tebal dan ditulis dalam bahasa Inggris. Butuh waktu lama untuk membacanya. Selain itu, diam-diam saya juga berharap dia lupa atau luluh, lalu tidak lagi menagih buku itu untuk dikembalikan. Ternyata itu tidak berhasil.

Saya yakin,saya tidak sendirian. Banyak juga orang yang seperti saya: tetap berupaya mencari cara untuk memiliki buku-buku terbaik meski tidak mampu membelinya. Saat menelusuri bahan-bahan untuk menulis catatan berjudul “Plagiat” pekan lalu, saya menemukan cerita tentang Ibn al-Khasysyāb, seorang pakar Hadis dan Bahasa Arab dari Baghdad yang hidup pada abad ke-6 Hijriah. Ia dikenal sebagai pembaca buku yang hebat, bisa duduk berjam-jam di tempat seburuk apapun jika ada buku yang menarik minatnya. Tetapi ia juga tersohor sebagai peminjam buku yang selalu memiliki cara untuk tidak mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya. Ketika ditanya oleh para pemilik buku-buku tersebut, ia punya jawaban standar: “Buku itu ada di antara tumpukan buku-buku lain. Sulit sekali mencarinya.” Di samping itu, ia memiliki kebiasaan lain yang juga unik. Jika kebetulan menemukan sebuah buku bagus yang dijual dengan harga mahal, maka ia akan mencari kesempatan untuk merusak buku tersebut. Tentu di bagian-bagian yang tidak mengganggu. Atau di bagian-bagian yang bisa ia perbaiki kemudian. Lalu,ia akan menunjukkan kerusakan yang dibuatnya sendiri itu dan mendesak sang penjual untuk memberikan buku tersebut dengan harga yang jauh lebih murah. Entah apa ada pengaruhnya, yang jelas koleksi buku Ibn al-Khasysyāb menjadi berlimpah. Di akhir hayatnya, Ibn al-Khasysyāb yang membujang sepanjang hidupnya itu memilih untuk mewakafkan seluruh bukunya demi kepentingan masyarakat luas.

Bahwa ada bagian-bagian tertentu dari kisah-kisah di atas yang tidak perlu ditiru, saya sepakat. Tapi saya juga ingin menunjukkan bahwa soal pinjam meminjam buku beserta segenap tetek-bengeknya ini adalah bagian dari peradaban literasi kita yang kaya. Dalam karyanya yang terkenal, al-Jāmiʿ li Akhlāq al-Rāwī wa al-Sāmiʿ, al-Khathīb al-Baghdādī mengkhususkan dua bab tentang persoalan pinjam meminjam buku ini. Satu bab berisi anjuran untuk meminjamkan kitab kepada siapapun yang membutuhkannya serta celaan kepada orang-orang yang pelit dalam hal itu. Lalu satu bab berikutnya tentang anjuran untuk segera mengembalikan buku pinjaman dan larangan untuk menahannya terlalu lama. Karya yang ditulis kira-kira pada abad ke-5 Hijriah ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mau meminjamkan koleksi buku miliknya atau yang enggan mengembalikan buku yang dipinjamnya sudah ada sejak dulu, dan al-Baghdādī tidak menyukainya. Di antara para ulama yang dikutip pernyatannya oleh al-Baghdādī, untuk menyebut satu contoh, ada Sufyān al-Tsaurī yang menyatakan bahwa siapapun yang enggan meminjamkan buku miliknya akan ditimpa oleh salah satu dari tiga bencana: dibuat lupa terhadap ilmunya, atau mati dengan membawa ilmu yang tidak bermanfaat, atau kehilangan buku-bukunya. Itu jelas ancaman yang sungguh serius.

Ada satu buku lain yang menarik. Ditulis di zaman kita ini oleh Muḥammad Khayr Ramadhān Yūsuf. Judulnya: Ādāb Iʿārah al-Kitāb fī al-Turāts al-Islāmī. Sebuah tulisan ensiklopedis tentang bagaimana sikap para ulama di masa lalu terhadap persoalan pinjam meminjam buku. Karena temanya memang agak jarang dibahas secara khusus, maka data yang berlimpah dalam buku ini tentu dihimpun dengan susah payah. Tetapi hasilnya sepadan. Di salah satu bagian dari buku ini, Yūsuf mengklasifikasi tujuh motif para ulama meminjamkan buku koleksi mereka. Sementara di bagian yang lain, ia juga mencantumkan empat hal yang menjadi alasan sebagian ulama untuk tidak meminjamkan buku-buku mereka. Lalu ada satu hal lain yang membuat buku ini menjadi lebih menarik. Di bagian akhir, Yūsuf melampirkan dua risalah yang ditulis oleh para ulama di masa lalu tentang pinjam meminjam buku. Risalah pertama ditulis oleh Abū Bakr al-Yazdī (w. 429 H.), berjudul Juzʾ fīhi ʿĀriyyah al-Kutub. Sementara risalah kedua ditulis oleh, lagi-lagi, al-Suyūthī (w. 911 H.), berjudul Badzl al-Majhūd fī Khizānah Maḥmūd.

Risalah terakhir yang ditulis oleh al-Suyūthī ini menarik karena tema sentralnya tentang perpustakaan, tempat kita biasa meminjam buku dengan leluasa. Alkisah, di masa al-Suyūthī, ada sebuah perpustakaan terkenal yang terletak di Madrasah al-Maḥmūdiyyah di Mesir. Selain karena dikunjungi oleh banyak pelajar dan ulama terkenal di masanya, perpustakaan ini juga dikenang lantaran kasus tuduhan al-Sakhāwī tentang tindakan plagiat oleh al-Suyūthī. Perpustakaan ini dikabarkan menjadi sumber manuskrip-manuskrip anonim yang kemudian oleh al-Suyūthī disalin dan diklaim sebagai karya-karyanya. Tetapi risalah Badzl al-Majhūd yang ditulis al-Suyūthī bukanlah tentang plagiat. Ia mengomentari larangan peminjaman buku yang diberlakukan di Perpustakaan al-Maḥmūdiyyah. Menurut al-Suyūthī, meski larangan tersebut didasarkan kepada syarat yang ditetapkan oleh pemberi wakaf buku di perpustakaan tersebut—dan syarat itu sah berdasarkan hukum fikih, namun ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang membuat larangan tersebut bisa dibatalkan. Seluruh bagian dari risalah pendek yang ditulis al-Suyūthī ini dicurahkannya untuk menegaskan pendapatnya bahwa koleksi buku di Perpustakaan al-Maḥmūdiyyah dan di perpustakaan-perpustakaan lainnya seharusnya boleh dipinjam keluar dengan syarat-syarat tertentu sepanjang itu tidak berbahaya bagi pemeliharaan dan keberlangsungan buku-buku tersebut.

Risalah al-Suyūthī itu mengembalikan ingatan saya kepada perpustakaan-perpustakaan kita. Beberapa tahun belakangan ini, saya mencari cara untuk mengelola perpustakaan-perpustakaan di Pondok secara lebih serius. Termasuk di antaranya, mencari pustakawan. Ternyata tidak mudah. Tapi bukan itu saja. Seorang alumnus yang juga pustakawan mengingatkan saya bahwa masih ada yang lebih sulit. Jika pustakawan sudah didapat, jika perpustakaan sudah dikelola dengan baik, maka yang lebih sulit adalah membuat para santri membanjiri perpustakaan-perpustakaan kita dengan antusias. Oke, saya setuju. Maka saya ingin perpustakaan Pondok tidak saja dikelola oleh orang yang mencintai buku dengan hebat, tapi juga sekaligus bisa menularkan kecintaan itu kepada orang lain, kepada para santri, kepada kita semua. Dengan itu, perpustakaan-perpustakaan kita akan menjadi tempat kita leluasa membaca dan meminjam buku, menyalurkan cinta kita kepadanya, membuatnya beredar di rayon, di kelas, di masjid, di dapur, dan di seluruh penjuru, lalu mengembalikannya dalam kondisi terjaga dan tepat waktu.

One thought on “Meminjam Buku

  1. Dzikry says:

    Terimakasih Pak Kyai. Tulisan Antum selalu saya tunggu… Sangat mudah dipahami oleh awam seperti saya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.