
Untuk menjalani kehidupan sehari-hari, harusnya kita membekali diri dengan skill, atau dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya keahlian, keterampilan, kecakapan dan sebagainya. Apalagi pada zaman sekarang yang serba modern, era di mana teknologi, informasi dan komunikasi yang semakin berkembang pesat, membekali diri baik itu dengan soft skill atau hard skill, sangatlah dibutuhkan terlebih dalam dunia pekerjaan.
Kita tidak bisa bergantung hanya pada kepintaran, atau nilai akademik saat di jenjang pendidikan. Karena pintar saja tidak cukup. Kita harus menyertai kepintaran dengan keterampilan. Soft skill bisa diartikan; keterampilan, kemampuan, atribut pribadi yang dapat memudahkan seseorang dalam berkomunikasi dan bersosial. Kemampuan ini lebih sulit untuk diukur, contoh; kepemimpinan/leadership, problem solving, komunikasi, etos kerja, adaptasi, kreativitas, dan lain-lain.
Sedangkan hard skill, keterampilan yang bisa kita pelajari, kita kembangkan dan lebih mudah untuk diukur, contoh; desain grafis, marketing, bahasa asing, penggunaan perangkat lunak (word, excel, power point) dll. Kurang lebih seperti itu yang saya baca di Internet.
Nah! Jika kita sadar, keterampilan-keterampilan ini akan sangat berguna mengantarkan kita untuk bisa menjalani hari-hari dengan baik. Bahkan, hewan pun hidup dengan berbekal skill. Mereka akan kalah bersaing, menjadi lemah dan bisa saja binasa jika tidak memiliki keterampilan. Jika salah satu keterampilan saja hilang dari mereka, maka mereka akan kesulitan untuk bersaing dan bertahan hidup. Seekor burung yang menetas dan tumbuh di tangan manusia, akan kesusahan beradaptasi saat dilepasliarkan ke habitat aslinya.
Singa yang dibesarkan di kebun binatang akan kalah bersaing jika dilepaskan ke hutan sabana dengan lion pride (kawanan singa) lain yang tumbuh dan dibesarkan oleh alam. Mereka tidak bisa berburu, tidak tahu bagaimana caranya mencari makan, tidak tahu apa saja predator yang mungkin bisa memangsa mereka, insting mereka tidak akan setajam kawanan lain di habitat asli. Sebab di tangan manusia, makanan mereka selalu tersedia tanpa perlu bersusah payah, dalam kandang tidak ada saingan atau predator alami yang bisa memangsa mereka.
Coba kita lihat bagaimana seorang Cristiano Ronaldo, di usia yang tak lagi muda (40 tahun), usia yang sudah bukan lagi dalam masa keemasannya, masih mampu bersaing dengan pemain lain yang masih muda, yang notabene sedang dalam masa prime (terbaik), di usia emas, ya walaupun tidak bermain di liga top Eropa, bahkan bisa membawa Timnas Portugal juara UEFA Nations League, sedangkan pemain lain di usia yang sama atau yang seangkatan, tidak sedikit yang sudah gantung sepatu.
Boleh jadi itu karena Ronaldo sebagai atlet sepakbola selalu konsisten, punya dedikasi dan kerja keras untuk mengasah skill-nya, menjaganya agar selalu dalam top performance, dan meninggalkan hal-hal yang bisa menghambat karir sepak bolanya. Berbicara soal bakat, mungkin Ronaldo — bukan Ronaldo “botak” Brasil–kalah dari Lionel Messi, tapi sebagai atlet, boleh saya bilang Ronaldo lebih unggul dari pemilik 8 trofi Ballon d’Or itu.
Betapa banyak wonderkid–pemain muda dengan bakat besar–dalam dunia sepakbola yang digadang-gadang akan menjadi the next Messi, the next CR7, the next Neymar dan the next lainnya berkat skill, bakat dan keahlian yang mereka miliki. But unfortunately, they don’t have the same dedication and hard work as C. Ronaldo, mereka tidak memiliki skill untuk memaksimalkan potensi dan talenta yang mereka punya. Lalu seiring dengan berjalannya waktu, mereka menghilang dari peredaran, tidak pernah mencapai ekspektasi yang diharapkan oleh publik, bak ditelan bumi. Karena bakat dan talenta saja tidak cukup.
Barangkali, kita pernah mengalami atau menyaksikan rekan kita dulu yang saat di bangku sekolah, di kampus, mempunyai kecerdasan (intelektual), selalu mendapatkan prestasi, dan tidak pernah degradasi ke kelas bawah, tetapi ketika terjun ke dunia luar mereka bingung dan tidak tahu harus bagaimana karena tidak punya keterampilan, baik itu keterampilan teknis (hard skill) maupun keterampilan sosial (soft skill), atau mereka tidak mengembangkan dan mengasah lagi keterampilan-keterampilan yang mereka miliki.
Malah rekan kita yang tidak pernah ranking, tidak berprestasi, selalu berada di kasta kedua, tapi dengan skill yang dimiliki, mereka mampu bersaing dan menghadapi tantangan dunia luar dengan cukup sukses. Kita, sebagai muslim dan santri sepatutnya lebih mawas diri supaya menjadi muslim, pun menjadi santri yang terampil agar tidak kalah bersaing dengan yang lainnya di luar sana, karena pintar saja tidak cukup.
Orang yang hanya pintar tapi tidak punya skill atau keahlian menonjol, boleh saya ibaratkan sebagai singa tapi tidak bisa berburu, atau burung tapi tidak bisa terbang. Atau seperti wonderkid dengan talenta dan bakat yang besar tapi tidak pernah diasah, seperti yang termaktub dalam nushūsh dan insyā Allāh kita hafal di luar kepala “al-’ilmu bilā ‘amalin ka asy-syajari bilā tsamarin” ilmu tanpa amal laksana pohon tanpa buah.
Di pondok kita ini, kita dididik dan difasilitasi agar memiliki skill dengan menyediakan beraneka ragam kegiatan untuk bisa kita ikuti dan dapat mengasah keterampilan kita, di antaranya; ada komdas (kompetensi dasar) dan kompil (kompetensi pilihan). Semuanya bergantung pada kita, para santri: apakah kita mau memanfaatkan kesempatan yang tersedia untuk terus mengasah dan mengembangkan keterampilan yang kita punya.
Andaikan kita tidak bisa atau sulit menemukan hard skill yang bisa kita perdalam, setidaknya kita harus bisa menguasai beberapa soft skill untuk membantu kita dalam berkomunikasi dan bersosial. Pintar memang penting, tapi bukan satu-satunya faktor dalam meraih kesuksesan, memiliki dan menguasai suatu skill bisa jadi lebih krusial, karena pintar saja tidak cukup.