“Kembali ke adagium di atas, saya iseng mengajukan pertanyaan retoris pada kepala saya sendiri. “Kalau sang tupai ternyata tak pandai melompat, haruskah ia berhenti dan meminta tumpangan pundak pada kawan tupai lainnya?”. Saya pikir tentu kan ada kisah semacam itu; melompat adalah bagian integral dari eksistensi tupai itu sendiri.”

Prolog. Beberapa hari yang lalu, kawan saya mengirimkan salah satu unggahan @rainnyclen__ yang berisi kisah pendek tentang domba dan serigala. Tulisan itu lumayan keren dan saya tertarik untuk membaca unggahan lain salah satunya kisah Istana dan Pangeran Bungsu. Usut punya usut, ternyata tulisan yang ia buat justru terinspirasi dari “dapur rumah” milik si penulis itu sendiri, disampaikan lewat story Instagram-nya. Saya buru-buru mencatat ide: bagaimana caranya membuat tulisan yang menarik lewat hal-hal yang sederhana. Akhirnya lahirlah tulisan saya ini.

Pembaca pernah mendengar “Sepandai-pandai tupai melompat, jatuh juga.”? Adagium lokal ini kedengarannya familiar bagi hampir semua orang. Di pondok misalnya, barangkali beberapa santri pernah melihat tupai yang tengah melompat di antara pepohonan di depan Mabna Al-Wathan meski momen “jatuhnya” jarang bahkan hampir tak pernah tampak.

Secara umum, substansi yang dapat dicerna adalah bahwa sehebat-hebatnya seseorang, tak menutup kemungkinan peluang untuk gagal. Bila kebetulan pembaca pernah menjadi delegasi di salah satu lomba pondok “Cipta Puisi – TMI Menulis” misalnya, tentu probabilitas atau peluang kemungkinan untuk menang adalah satu banding enam, ada enam delegasi shof yang bertanding di sana.

Peluang itu akan semakin kecil bila bertanding di laga yang lebih besar. Pada 2019 silam saya pernah mengikutsertakan diri untuk Olimpiade Matematika tingkat MA se-Jawa. Saya lolos pada babak penyisihan Regional Madura di MAN 1 Pamekasan, sebelum akhirnya benar-benar tereliminasi pada babak semifinal di Kampus UINSA Surabaya. Matematika yang saya persiapkan jauh panggang dari api bila dibandingkan dengan lembar soal yang dibagikan.

Pengalaman penyisihan itu justru memunculkan paradoks bahwa “Sebodoh-bodoh tupai melompat, belum tentu jatuh juga”. Pasca informasi hasil semifinal disampaikan oleh HIMAPTIKA, saya menyimpulkan kepada guru pendamping dan beberapa mahasiswa seangkatan di sana (Alumni TMI 2018) bahwa saya hanya kebetulan cap-cip-cup “memenangkan” peluang 2:24 di babak penyisihan. Trik itu saya dapati ketika Ustaz Rosi mengajari kami cara membaca peluang. Saya tak benar-benar menguasai Matematika bila dibandingkan dengan kawan saya yang mengirim unggahan @rainnyclen__ tadi.

Kembali ke adagium di atas, saya iseng mengajukan pertanyaan retoris pada kepala saya sendiri. “Kalau sang tupai ternyata tak pandai melompat, haruskah ia berhenti dan meminta tumpangan pundak pada kawan tupai lainnya?”. Saya pikir tentu takkan ada kisah semacam itu—melompat adalah bagian integral dari eksistensi tupai itu sendiri.

Namun dalam realitanya, barangkali pembaca menemukan representasi dari “tupai” yang tak pandai bahkan enggan “melompat”. Orang-orang seperti ini secara umum punya karakteristik tidak tahu dan tak mau tahu. Tak mahir pada suatu bidang namun di sisi lain enggan belajar. Perilaku dependen mereka adalah manifestasi dari ketergantungan pada orang lain, bersembunyi di balik slogan “Manusia Makhluk Sosial”. Dalam satu utas saya bahkan mengatakan; “Manusia-manusia yang enggan mencoba menggali potensinya adalah entitas yang tak layak memperjuangkan kelanjutan hidupnya.” Bukankah lebih baik menanamkan prinsip hidup: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia?.”

Saya percaya bahwa setiap manusia dilahirkan dengan potensi bakat yang ia miliki. Determinasi yang tinggi berbanding lurus dengan peluang kesuksesan seseorang. Selebihnya adalah bagaimana nilai peluang kegagalan itu dikompres sekecil mungkin dengan terus belajar. Mengutip perkataan Hasan Al-Banna dalam Majmu’at Rasā’il Al-Imām As-Syahīd Hasan Al-Banna.

إِذَا صَدَقَ الْعَزْمُ وَضَحَ السَّبِيلُ، وَ أَنَّ الأُمَّةَ الْقَوِيَّةَ الإِرَادَةِ إِذَا أَخَذَتْ فِي سَبِيلِ الْخَيْرِ فَهِيَ لَا بُدَّ وَاصِلَةٌ إِلَى مَا تُرِيدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى، فَلْتَتَوَجَّهُوا وَ اللَّهُ مَعَكُمْ.

Jika tekad itu jujur (kuat), niscaya jelaslah jalannya. Dan sesungguhnya umat yang kuat tekadnya, jika ia menempuh jalan kebaikan, maka ia pasti akan sampai pada apa yang diinginkannya, insya Allah Ta’ala. Maka hadapilah, dan Allah bersamamu.

Soal peluang, bahkan orang pintar sekalipun punya potensi kegagalan. Bila tak mahir pada bidang tertentu, keharusan untuk berusaha takkan pernah gugur. Ketimbang menjadi tupai yang enggan melompat, mengapa tidak mulai belajar melompati ranting terdekat? Satire sederhananya: “Minimal tidak menyusahkan kawan lain“.

Saya punya harapan agar TMI kembali memarakkan dinamika ilmu eksakta khususnya matematika lewat amplifikasi jurusan MIPA di kelas V dan VI, revitalisasi kelompok minat SIGMA dengan penjaringan anggota baru lewat rekapitulasi nilai rapor, adopsi kurikulum terbaru dan lain sebagainya.

Program-program itu mulai diintensifkan dengan tujuan untuk menyatukan para Thalib-Thalibah yang cerdas logis-matematis dalam satu komunitas, mencetak Mudarris-Mudarrisah matematika yang mumpuni, serta melahirkan Muttafaqquh fid-dien yang intelek. Tentu senang sekali melihat santri-santri TMI Al-Amien Prenduan mampu bersaing mulai dalam ajang Kompetisi Sains Madrasah (KSM) bahkan International Mathematical Olympiad (IMO) nantinya.

Stigma bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit perlu dihilangkan, sebab bagaimanapun juga matematika akan tetap ada dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan beberapa Dirosat Islamiyah seperti Fiqh Mu’amalah dan Faroidh juga menghadirkan konsep matematika dalam pembelajarannya.

Sebagai penutup, adagium “Sepandai-pandai tupai melompat, jatuh juga” tampaknya menarik untuk  diekstensifikasi lebih luas, seluas sebaran pepohonan di pondok dalam kacamata sang tupai. Ia punya otonomi penuh untuk menentukan kelanjutan hidupnya: belajar melompat dari ranting terkecil hingga dahan terbesar, dan menutup peluang kemungkinan tertangkap basah jatuh oleh santri Tsanawiyah yang memperhatikannya lamat-lamat.

Maka pesan saya: “Jangan jadi tupai yang tak pernah ada dalam kisah.”