
“Tidak ada keberhasilan yang datang secara tiba-tiba. Ia adalah gugus dari doa, usaha, dukungan, dan keberanian melangkah.”
Kalimat itu seolah tercermin dalam sosok Dimas Fahrozy, alumni TMI tahun 2025. Dalam masa baru pengabdiannya, ia berhasil menunjukkan bahwa pengabdian bukanlah penghalang untuk berkarya lebih luas.
Namun, pengabdian tak pernah membuatnya berhenti menapak. Di tengah rutinitas mengajar dan membimbing, Dimas tetap aktif mengukir prestasi. Di antara torehan yang berhasil ia ukir: Juara 2 Debat Bahasa Arab dalam kompetisi MUNAYA 7 tingkat Nasional, Juara 1 Debat Bahasa Arab dalam ajang Mahrojan Arabi di Universitas Negeri Malang, terpilih sebagai Duta Pelajar Juara Indonesia Provinsi Jawa Timur Batch 6, serta dinobatkan sebagai Winners Putra Duta Pesona Indonesia Batch 2, dan masih disusul oleh deretan prestasi lainnya.
Deretan prestasi itu tak diraih dengan mudah. Siapa sangka, di balik semua itu, tersimpan kisah panjang tentang keberanian melawan keraguan, tentang semangat yang tak mau padam meski diterpa keraguan, dan tentang seorang santri yang tak pernah lelah mencoba menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
“Salah satu tantangan terbesar saya dalam mengikuti duta adalah rasa tidak percaya diri,” ungkap Dimas jujur. Ia harus bersaing dengan 360 pelajar dari seluruh provinsi di Indonesia. Ia menyadari bahwa banyak dari mereka berasal dari sekolah umum dengan potensi dan bakat yang tentunya lebih sempurna daripada dirinya yang hanya berada di Pesantren. “Tapi saya berusaha menepis kekhawatiran itu. Saya yakinkan diri saya bahwa saya bisa. Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak?” tegasnya.
Berbeda dengan lomba debat. Menurut Dimas, tantangan yang ia hadapi tak terlalu berat karena ia sudah memiliki dasar dalam dunia perdebatan dan public speaking. Bahkan sejak duduk di kelas 1 sampai 3 MTs, ia fokus mendalami Bahasa Arab, lalu beralih ke Bahasa Inggris ketika memasuki jenjang aliyah. Hanya saja, yang cukup menantang adalah penggunaan Bahasa Arab dalam debat tingkat mahasiswa.
Sebagai santri yang lebih fasih berbahasa Inggris, kadang ia masih terbata-bata ketika berbicara dalam Bahasa Arab. “Kadang kalau mau ngomong Arab, yang muncul di kepala justru kosakata Bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya,” tuturnya. Namun berkat latihan yang intens dan dukungan dari partner-nya, Ustadz Ilham Safaris dan Eldho Pranthara, ia bisa melewati tantangan itu.
Meski memiliki dasar yang kuat dalam dunia perdebatan, penggunaan Bahasa Arab dalam lomba tingkat mahasiswa tetap menjadi tantangan tersendiri bagi-nya. Sebagai individu yang lebih terbiasa dengan Bahasa Inggris, ia kerap mengalami kebingungan saat berbicara, di kala hendak merangkai kalimat bahasa Arab, karena justru kosakata Inggris yang lebih dulu muncul di benaknya. Namun berkat latihan yang konsisten serta dukungan dari dua partner-nya, Ustadz Ilham Safaris dan Eldho Pranthara, ia berhasil melewati hambatan tersebut.
Yang paling menantang justru datang dari ajang Duta Pelajar Juara dan Duta Pesona Indonesia. Di ajang tersebut Dimas harus mampu bersaing dalam hal pengetahuan umum, hal yang tidak terlalu ditekankan di pesantren. Ia harus mengulang pelajaran-pelajaran sains yang dulu pernah ia pelajari semasa SD.
“Dalam hal ini saya harus belajar dan mengulang pelajaran kembali khususnya di bidang sains. Namun itu tidaklah menjadi hambatan bagi saya karena semenjak SD saya kerap kali mengikuti OSN (Olimpiade Sains Nasional) bidang MIPA dari tingkat Kecamatan hingga lolos tingkat Provinsi. Tentunya saya masih ingat betul dasar-dasar dalam pengetahuan. Dan untuk kesemuanya itu, tinggal bagaimana saya meningkatkan dan mengembangkan-nya,” ungkapnya.
Hidup Itu adalah Pilihan
Bagi Dimas, hidup adalah soal pilihan. Di antara sekian banyak jalan yang terbentang, manusia hanya diminta untuk memilih: apakah ingin sukses atau gagal, maju atau mundur, melangkah atau diam. Ia selalu meyakini bahwa kesempatan tak datang dua kali. Dan andai pun datang kembali, kesempatan itu hanya menyapa mereka yang tak pernah lelah berusaha.
Kepada para santri, Dimas berpesan untuk tidak mudah menyerah ataupun berputus asa. Setiap hari menurutnya, adalah peluang baru untuk belajar dan tumbuh menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Ia meyakini bahwa setiap santri memiliki potensi unik dalam dirinya.
Sementara untuk para alumni, Dimas berpesan agar terus belajar dan berinovasi. Dunia terus bergerak, dan jika kita tidak ikut berkembang, maka kita akan tertinggal. “Selalu amalkan ilmu dan pengalaman yang didapat selama di Pesantren. Itu bekal kita ketika terjun ke masyarakat. Dan satu hal lagi, sebagaimana pesan Alm. KH. Muhmmad Idris Djauhari; “Jangan jadi anak yang hilang. Selalu kaitkan hati kalian ke pondok. Mengingat pondok berarti tahu berterima kasih.”
Dimas Fahrozy adalah bukti hidup bahwa keterbatasan bukan tembok, melainkan sebuah batu loncatan. Dari bilik Pesantren yang sunyi, ia menapak langkah membawa harapan, mengabdi dalam diam, berprestasi dalam terang. Sosoknya kini jadi cermin bagi banyak santri: bahwa mimpi tak pernah mengenal ruang sempit, dan pijakan bisa ditemukan, bahkan di tanah yang sederhana. (El)