Tulisan ini terinspirasi dari tausiah salah seorang Ustaz senior di lembaga TMI Al-Amien Prenduan, saat memimpin rapat evaluasi pekanan “Rabuan”. Rapat yang diikuti oleh seluruh Ustazah pengabdian dan beberapa guru senior ini, menjadi ajang evaluasi sekaligus menimba pengetahuan tentang etos kerja, dan integritas guru di TMI Al-Amien dalam melejitkan kinerja.

Saat itu, salah satu pembahasan yang muncul adalah seputar “wibawa”. Dalam bahasa Arab disebut haibah. Beliau menyampaikan, bahwa wibawa bisa menjadi perantara utama berjalannya suatu sistem dalam organisasi dan komunitas. Khususnya di lembaga pendidikan, seperti di pesantren kami.

Salah satu kalimat dari tausiah yang beliau kutip dari kitab Ihya’ Ulumuddin, yang hingga kini melekat di kepala saya, kira-kira berarti begini: “Apabila wibawa orang tua runtuh dalam kehidupan rumah tangga, wibawa seorang pengajar luntur dalam lingkungan sekolah, dan wibawa seorang pembesar (pemimpin) jatuh dalam sebuah komunitas, maka hilanglah makna dari sebuah perkumpulan itu.”

Pendidikan yang berlangsung di pesantren, adalah pendidikan yang bertumpu pada laku sosial. Para santri diarahkan untuk mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama. Sayang kepada adik-adik mereka. Hormat kepada yang lebih tua. Tentu kondisi ini selaras dengan falsafah yang seringkali disampaikan oleh para kiai, bahwa jadilah seorang pemimpin yang ditaati, atau makmum yang senantiasa taat (kepada pimpinannya).

Pemimpin dalam konteks pendidikan di pesantren, tentu bisa ditarik ke dalam banyak sisi; mudir bagi bagian di bawahnya; wali kelas bagi anak didiknya; musyrif kamar bagi anggota kamar; Ketua-ketua bagi anggota kelompoknya. Di sinilah mereka bisa mengambil peran, dengan wibawa yang mereka miliki. Namun sayangnya, sebagian besar memahami wibawa dalam tampilan luar saja. Padahal, wibawa bukan tentang suara yang keras, ekspresi yang kaku dan menyeramkan, atau larangan ini-itu yang justru menjauhkan seseorang dari nilai wibawa itu sendiri.

Sejatinya, wibawa lahir dari hati yang tenang, ilmu yang matang, dan akhlak yang meneduhkan.  Ia laksana aroma bunga: tak terlihat, tapi terasa. Ia tidak dibangun dalam sehari, tidak pula bisa diminta secara instan. Ia tumbuh pelan-pelan, melalui konsistensi dan istiqamah dalam kebaikan dan keteguhan suatu prinsip. Di pesantren, para santri sering kali lebih mudah terinspirasi oleh tindak laku (uswah) seorang guru daripada kata-katanya. Oleh karenanya, keteladanan menjadi fondasi utama dalam membangun wibawa.

Berguru pada Sang Rasul

Tidak perlu jauh-jauh mencari analogi untuk membenarkan hal di atas. Rasulullah SAW adalah contoh terbaik dalam hal keteladanan. Dalam banyak riwayat, beliau digambarkan sebagai sosok yang begitu lembut, tetapi juga sangat tegas. Para sahabat mencintai dan menghormatinya, bukan karena beliau sering marah-marah. Tapi karena mereka melihat kejujuran, keberanian, integritas dan kasih sayang yang tulus dari dalam diri beliau. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya. Maka, akhlak mulia inilah yang melahirkan wibawa, bukan kekuasaan atau ancaman.

Ketika seorang guru konsisten dalam ibadah, menjaga lisannya, dan adil dalam memperlakukan santri, maka wibawa itu datang dengan sendirinya. Santri akan merasa aman sekaligus segan. Mereka tahu bahwa gurunya bukan hanya sekadar pintar, tapi juga layak dicontoh.

Inilah yang pernah ditanamkan oleh Imam Malik, ketika ia berkata bahwa sang ibu menyuruhnya belajar adab sebelum belajar ilmu. Sebab ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kepongahan. Sementara adab bisa membuat seseorang dihormati, bahkan sebelum ia dikenal ilmunya. (Eh, tapi adab itu harus ‘ala ilmin wa bashirotin juga lho!)

Namun, bukan berarti guru harus selalu lembut dan mengalah. Dalam banyak kesempatan, ketegasan sekali-kali dibutuhkan. Ketegasan di sini bukan berarti keras dan kasar. Lagi-lagi, kita kembali belajar dari kisah Rasulullah SAW, saat menghadapi seorang Arab Badui yang kencing di dalam Masjid. Para sahabat marah dan hendak menghentikannya. Rasulullah SAW malah menyuruh mereka membiarkannya selesai, lalu membersihkan tempat itu. Kemudian beliau menjelaskan kepada Arab Badui tersebut dengan lembut, bahwa masjid bukan tempat untuk buang air. Kisah ini, bisa kita jadikan pelajaran, bahwa ketegasan bisa disampaikan dengan cara yang tenang dan berakhlak.

Selain itu, dua kunci penting dalam menjaga wibawa adalah adil dan konsisten. Tentu ini sangat relevan bagi dunia pesantren. Jika ada peraturan, maka tegakkan pada siapa pun yang melanggar. Tanpa pandang bulu. Nabi Muhammad pernah menegaskan hal ini dalam kisah wanita bangsawan Quraisy yang kedapatan mencuri. Banyak yang menginginkan agar ia dimaafkan. Tapi Rasulullah bersabda: “Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku akan memotong tangannya.” Begitulah prinsip keadilan yang melahirkan penghormatan sejati.

Wibawa bukan soal ingin dihormati, tapi karena memang pantas dihormati. Di pesantren, wibawa adalah fondasi yang membuat ilmu menjadi berkah, adab menjadi kuat, dan hubungan guru dan santri tetap hangat, meski diliputi disiplin dan peraturan. Tapi begitulah cara pesantren untuk membentuk santri menjadi pribadi yang berakhlak, berilmu, tangguh dan berkarakter.

Jadi, bagi siapa pun yang terjun dalam dunia pendidikan pesantren, jangan terburu-buru merasa bahwa wibawa hanya bisa dibangun lewat gaya bicara atau aturan yang keras saja. Mulailah dari diri sendiri dengan memperbaiki niat, menjaga adab, memperkuat ilmu, dan terus meneladani Sang Rasul, Pendidik Agung yang wibawanya senantiasa dikenang sepanjang zaman.

One thought on “Membangun Wibawa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses