Di tengah hiruk-pikuk politik modern, seringkali agama terjebak dalam stereotip. Bahkan oleh sebagian pihak, Islam seringkali digambarkan sebagai simbol kekuasaan, sementara sebagiannya lagi mengusungnya sebagai tameng identitas. Namun, barangkali yang luput dari sorotan publik ialah sisi etis dan nilai-nilai luhur yang telah dibawa Islam ke tengah panggung kepemimpinan politik. Persoalannya bukan lagi, “Bisakah Islam dan politik bersatu?”, melainkan, “Etika apa yang dihadirkan Islam di tengah dunia kekuasaan yang kerap gersang nilai?”

Islam bukan sekadar agama yang mengatur ibadah penganutnya. Islam adalah sistem hidup yang lengkap, dari shalat hingga tata kelola negara. Dalam akar sejarah, Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang Nabi, seorang pemimpin yang merajut suku-suku di Madinah, merangkai konstitusi multikultural (Piagam Madinah), dan menetapkan kebijakan berlandaskan keadilan, musyawarah, serta perlindungan bagi yang lemah. Dalam diri beliau, kekuasaan tidak dilihat sebagai alat dominasi, melainkan amanah yang dibebankan untuk menegakkan kemaslahatan.

Namun, warisan mulia itu tak jarang tercerabut dari praksis politik hari ini. Kepemimpinan yang lahir dari nafsu buta kekuasaan, kekuasaan yang dijalankan tanpa nurani, dan jabatan yang diperebutkan dengan tipu daya seolah menjadi kelaziman. Krisis ini, lebih dari sekadar krisis politik, melainkan penyakit akhlak yang menggerogoti sendi-sendi bangsa. Dan di tengah carut-marut inilah Islam menawarkan penawar.

Konsep kepemimpinan dalam Islam berpijak pada dua pilar: iman dan amanah. Seorang pemimpin dalam Islam adalah “khalifah” bukan penguasa yang bertindak semau diri, melainkan pengelola bumi atas nama Allah SWT. Tugasnya bukan sekadar memutuskan, namun turut memastikan bahwa keputusan itu selaras dengan nilai keadilan dan kemaslahatan umat.

Surat An-Nisa’ ayat 58 menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” Ayat ini bukan sekadar pesan, melainkan prinsip dasar negara yang beretika.

Dalam banyak hadis, Rasulullah menekankan bahwa kekuasaan adalah tanggung jawab, bukan kemuliaan. Dalam riwayat Imam Bukhari, Nabi bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah, “Janganlah kamu meminta jabatan, karena jika diberikan karena permintaan, kamu akan dibiarkan. Tapi jika diberikan tanpa permintaan, kamu akan dibantu.” Ini menjadi tamparan bagi budaya politik transaksional yang menjadikan kekuasaan sebagai komoditas yang diperjualbelikan,  di mana jabatan dihargai dengan angka dan loyalitas dibeli dengan imbalan.

Adapun kepemimpinan dalam Islam tidak bisa lepas dari prinsip musyawarah (syura). Seorang pemimpin bukan diktator yang merasa paling benar, melainkan penjaga ruang dialog. Musyawarah adalah akar demokrasi dalam kerangka Islam dan menjadi alat kendali yang mencegah kezaliman serta mendekatkan pemimpin pada suara rakyat.

Namun, realitas di dunia modern ini, Islam sering kali tak seindah idealnya. Banyak pemimpin berselimutkan jubah agama demi suatu kehormatan, tetapi lupa pada akhlak kepemimpinan sejati. Politik identitas tumbuh subur, sementara keadilan, kejujuran, dan welas asih justru terpinggirkan. Oleh karenanya, menggali kembali nilai-nilai Islam untuk merajut peradaban politik yang beretika dan berpijak pada keadilan, bukan lagi sebuah pilihan, melainkan kewajiban yang tak terelakkan.

Kepemimpinan yang ideal dalam Islam bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Nabi Muhammad SAW mencontohkan, bahwa kekuasaan harus berpihak pada yang lemah, menjunjung tinggi keadilan tanpa tebang pilih, dan berani mengambil keputusan berdasarkan moral, bukan lagi sekedar untung-rugi politik.

Oleh karenanya, tugas kita bukan hanya memilih pemimpin, tetapi juga mencetaknya. Dan proses ini dimulai dari mendidik generasi muda, untuk memandang politik sebagai ibadah, kekuasaan sebagai kitab amanah yang harus dijaga, dan kepemimpinan sebagai jalan untuk memperbaiki dunia untuk mengembalikan Islam dalam satu payung kekuasaan.