Belajar di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, tidak sekadar bagaimana santri belajar kepada para kiai dan guru di pesantren tersebut. Namun, sebenarnya bisa lebih dari itu semua. Tahun 2000, merupakan awal saya mondok di TMI Al-Amien Prenduan, dari sejak kelas Syu’bah Tamhidi sampai kelas 4, saya selalu dipercaya menjadi anggota Dewan Perwakilan Santri (DPS), sejenis lembaga legislatif, yang mewakili para santri dalam organisasi Ikatan Santri TMI, yang dikenal dengan nama ISMI.

Di lembaga DPS inilah, saya benar-benar merasakan bagaimana pendidikan yang berorientasi pada knowledge co-creation, suatu pendekatan kerja manajemen modern yang sudah diterapkan di pesantren TMI Al-Amien Prenduan sejak lama. Knowledge co-creation merupakan pendekatan kolaboratif yang tidak hanya menjembatani pengetahuan antara pengetahuan akademis dan birokratis, namun juga menciptakan kebijakan yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan. Di banyak negara maju, pendekatan ini sudah banyak digunakan, misalnya di Inggris dengan Cross-Government Trial Advice Panel, di Australia dengan Expert Panel, di Finlandia dengan Hack for Society, dan di Belanda dengan proyek Small but Beautiful.

Praktik knowledge co-creation saya dapatkan sejak tahun 2000, saat saya aktif sebagai anggota DPS ISMI. Misalnya, pada saat perumusan dan penyusunan Garis-garis Besar Kebijakan Organtri (GABKO) ISMI TMI. Hasil rumusan GABKO itulah yang kemudian dijalankan oleh pengurus ISMI periode selanjutnya. Pada proses perumusan GABKO itulah, semua unsur di dalamnya punya hak untuk bersuara dan menyampaikan pendapatnya, baik dari  perwakilan santri, calon pengurus, mantan pengurus, guru atau kiai, semuanya ikut serta terlibat di dalamnya secara kolaboratif, yang nantinya akan disahkan oleh direktur TMI. Saat menjabat sebagai Ketua DPP ISMI tahun 2005, saya mengimplementasikan visi misi saya kampanye sebagai Ketua DPP ISMI, yang kemudian dijalankan dengan GABKO yang sudah disahkan untuk dijalankan. Benar-benar pengalaman berorganisasi dan berdemokrasi yang real dalam hidup saya.

Knowledge co-creation, tidak hanya saya dapatkan saat menjadi santri. Namun saat saya menjadi guru pengabdian di TMI Al-Amien Prenduan, sekaligus sebagai mahasiswa plus IDIA (saat ini UNIA). Dari awal mengabdi tahun 2006, saya ditempatkan di lembaga Pusat Studi Islam Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Pusdilam merupakan salah satu biro di bawah Yayasan Al-Amien Prenduan, yang diresmikan oleh Menteri Agama RI kala itu, Prof. KH. Said Agil Husin Al-Munawar, pada tahun 2003. Pusdilam bertanggung jawab dalam bidang kajian, penelitian dan pengembangan di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.

Pada tahun pertama mengabdi di Pusdilam dan awal kuliah di IDIA, banyak pengalaman kolaborasi yang dijalankan dalam hidup saya. Misalnya, sebagai guru abdi TMI, saya mendapat amanah mengajar mata pelajaran Matematika untuk kelas 1 Intensif TMI. Salah satu murid yang saya ajar, ada yang punya kelebihan di bidang bacaan kitab turats, ia adalah Miski (sekarang dosen di kampus UIN Malang). Di kelas, saya mengajar Matematika kepada semua peserta didik, termasuk kepada Miski, namun di malam hari, saya belajar beberapa kitab turats kepada Miski. Awalnya Miski menolak, namun karena saya beralasan bagaimana sejarah hubungan guru-murid-guru, yang terjadi pada sosok Kiai Hasyim Asy’ari yang belajar kepada Kiai Kholil Bangkalan, namun sepulang Kiai Hasyim Asy’ari dari Makkah, Kiai Kholil lah yang datang ke Tebuireng untuk belajar kitab hadis kepada beliau.

Sebagai mahasiswa Semester Satu IDIA dan staf di Pusdilam. Kala itu, lembaga Pusdilam, mendapat tugas untuk penelitian dan penulisan sejarah Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan atas intruksi dari KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA., sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Kerja kolaborasi di Pusdilam, saya bersama para senior, baik dari dosen IDIA (salah satunya Ustaz Hamzah F Harmi, alumni UGM Yogyakarta), Direktur Pusdilam (kala itu dijabat oleh Ustaz Lukman Hakim, alumni Al-Azhar Mesir), dan para peneliti senior lainnya. Alhamdulillah, buku sejarah rampung dengan judul, “Lintasan Sejarah Al-Amien Prenduan,” kata pengantar buku tersebut ditulis oleh Kiai Tidjani Djauhari sebagai Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Pengalaman kerja penelitian yang membanggakan bagi hidup saya, yang masih semester 1­­­­—S1 IDIA Prenduan.

Sepeninggal Kiai Tidjani, maka kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan digantikan oleh KH. Muhammad Idris Jauhari. Pada masa kepemimpinan beliau, penelitian dan penulisan sejarah dilanjutkan. Bahkan kala itu, kami seringkali melakukan konsultasi penulisan sejarah kepada KH. Dr. Ghozi Mubarok, MA. Bahkan kala itu, kami mendapat banyak ilmu tentang kepenulisan sejarah saat mengundang Guru Besar Sejarah Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Ali Mufrodi, pada acara workshop penulisan sejarah. Saya begitu senang, karena di Pusdilam, saya tidak hanya mengabdikan diri kepada lembaga tersebut, sebagai aktualisasi dari berjasa, namun saya benar-benar diasah sehingga dapat berkembang di dalamnya.

Tahun ini, saya diamanahi untuk menjadi penanggung jawab Kelompok Ilmiah Remaja di TMI. Saya sangat bergembira dengan amanah suci ini, karena saya yakin, dalam prosesnya saya akan melakukan kerja kolaborasi dengan para santri, para pengurus, dan para guru lainnya. Amanah tersebut, tidak hanya sekadar wujud dari berjasa, tapi saya akan lebih berkembang dengan ilmu yang akan saya dapatkan. Saya benar-benar yakin, bahwa saya akan menemukan guru dan ilmu baru, baik ilmu dari kalangan santri yang akan saya bina, guru pengabdian yang akan bersama saya dalam bekerja dan berkolaborasi, atau bahkan saya sangat berharap ilmu dan ridho serta doa baik dari para guru senior dan kiai, sehingga saya akan benar-benar bisa mengembangkan ilmu yang saya miliki saat ini. Semoga saya oleh Allah diberikan ‘ilmun nāfi‘ dan bisa menjalankan amanah dari guru tercinta, Kiai Idris Jauhari yang sering disampaikan kepada seluruh alumni TMI, tentang pentingnya berjasa, berkembang dan mandiri.