Ada momen-momen tertentu dalam kehidupan yang terus hidup dalam ingatan, menolak usang oleh waktu. Kala itu tanggal 11 Juli 2004, salah satunya adalah saat saya, Dafir Munawar Sadat, di awal-awal pengabdian di pondok pesantren Al-Amien Prenduan mendapat kehormatan mendampingi Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, KH. Moh. Tidjani Djauhari, M.A., dalam perjalanan muhibbah ke Pulau Kangean, Sumenep. Saya masih menjadi sekretaris pribadi beliau saat itu, sekaligus bertugas di bagian rumah tangga Pimpinan. Kegiatan ini bukan sekadar kunjungan biasa, tetapi sebuah perjalanan spiritual, sosial, dan emosional yang kaya akan makna baik sebagai santri, sebagai pengabdi, maupun sebagai anak daerah yang pulang kampung membawa sang kiai.

Muhibbah itu bermula dari undangan menghadiri Haflatu Takhrij di Pondok Pesantren Raudhatul Amien, Pajanassem, Kangayan, yang diasuh oleh Kiai Husen Arjas—salah satu alumni Al-Amien yang dikenal berdedikasi tinggi. Dalam rombongan, turut serta Ustadz Jakfar Sodiq (Kepala Sekretariat Yayasan), Ustadz Musleh Wahid (Biro Alumni), dua ustadz tahfidz, dan saya sendiri.

Namun, rencana awal itu berubah secara mengejutkan namun menyenangkan: sekelompok santri tahfidz yang baru saja menjuarai lomba pramuka di Sumenep menyampaikan laporan langsung kepada Kiai Tidjani. Beliau menyambutnya dengan senyum kebapakan yang khas, dan dengan spontan memutuskan membawa mereka serta dalam muhibbah ini. Itulah sosok beliau—selalu tahu bagaimana menghargai jerih payah santri. Kepemimpinan beliau tak hanya tegas dalam prinsip, tapi juga penuh kasih dan penghargaan.

Kami berangkat dari pelabuhan Kalianget sekitar pukul 9 pagi. Kapal menembus laut luas dan baru bersandar di pelabuhan Kangean tengah malam. Tanggal 12 Juli 2004 Rombongan tiba di pulau Kangean disambut hangat oleh para penjemput dan dikawal konvoi menuju Arjasa, tempat kami beristirahat di kediaman Sayyid Salim Alhiduan. Pagi harinya, kami takziah ke rumah almarhumah Ustadzah Nurus Hardianti di desa Kalikatak.

Seusai takziah, rombongan menuju kampung halaman saya di Desa Angon-Angon. Saya masih ingat betul momen saat kami berkumpul di Masjid An-Noer Karang Bunga. Di hadapan masyarakat, Kiai Tidjani menyerahkan wakaf mushaf Al-Qur’an 30 juz langsung kepada takmir masjid, yang tak lain adalah orang tua saya sendiri. Itu adalah momen haru sebuah pertemuan antara pribadi dan pengabdian, antara keluarga dan tugas.

Agak siang kami bergerak menuju PP. Raudhatul Amien. Setelah beristirahat, malamnya kami menghadiri acara wisuda santri akhir sekaligus peresmian laboratorium komputer. Kiai Tidjani tampil seperti biasa: tenang, penuh wibawa, dan kata-katanya menyentuh hati. Saya melihat para hadirin begitu antusias, karena Kiai bukan hanya membawa ilmu, tetapi juga aura ketulusan dan keberkahan.

Pagi berikutnya di tanggal 13 Juli 2004 kami sempatkan mampir ke rumah kakak saya di Desa Laok Jang-jang untuk sarapan pagi, sebelum akhirnya berangkat menuju Pelabuhan Batu Guluk dan kembali ke daratan utama. Menjelang Magrib kami tiba di Kalianget dan langsung menunaikan salat berjamaah di Masjid Agung Sumenep. Dari sana, kami melanjutkan perjalanan pulang ke Pondok tercinta, Al-Amien Prenduan.

Perjalanan itu lebih dari sekadar catatan fisik di atas peta. Ia adalah perjalanan batin yang mengikat saya lebih dalam pada figur Kiai Tidjani. Beliau adalah pemimpin yang tidak hanya mengatur, tapi juga mendidik dengan teladan dan cinta. Kini, setelah beliau wafat, saya hanya bisa berdoa: semoga Allah menempatkan beliau bersama para ulama dan sholihin di surga-Nya. Amin

Pulau Kangean menjadi saksi, betapa perjalanan seorang kiai bukanlah hanya urusan dakwah, tapi juga perihal membina, membesarkan, dan mempererat tali silaturahmi dengan masyarakat, dengan alumni, dan dengan santri-santri kecil yang menjadi harapan masa depan. Dan saya, sebagai bagian kecil dalam perjalanan itu, akan terus mengenangnya sebagai pelajaran hidup yang tak ternilai.
Terima kasih Kiyai.