Indonesia adalah negara hukum yang memiliki berbagai peraturan dan undang-undang untuk melindungi lingkungan dan alam. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, menetapkan kerangka hukum untuk perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selain itu, Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi berbagai perjanjian internasional terkait perubahan iklim, seperti Perjanjian Paris, yang menunjukkan komitmen negara ini dalam memerangi pemanasan global. Mengingat dampak signifikan pemanasan global terhadap kehidupan manusia dan ekosistem, sudah menjadi tanggung jawab negara untuk mengambil tindakan yang tegas dan berkelanjutan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, mempromosikan energi terbarukan, dan mengimplementasikan kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan.

Data suhu rata-rata permukaan bumi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren pemanasan global yang terus meningkat. Pada tahun 2024, suhu rata-rata mencapai 1,55°C, meningkat dari 1,42°C pada tahun 2023 dan 1,35°C pada tahun 2022. Sebelumnya, pada tahun 2021 dan 2020, suhu rata-rata masing-masing adalah 1,29°C dan 1,02°C. Tren ini sudah terlihat sejak tahun 2015, di mana suhu rata-rata terus naik dari 0,87°C hingga puncaknya di 1,02°C pada tahun 2016. Peningkatan suhu ini disebabkan oleh aktivitas manusia seperti kendaraan dan pabrik limbah pabrik industri.

Penelitian dan data ilmiah menunjukkan bahwa luas es di kutub semakin menyusut dari tahun ke tahun akibat pemanasan global. Berdasarkan data dari National Snow and Ice Data Center (NSIDC), es di Kutub Utara mencapai titik terendahnya dalam dekade terakhir. Pada bulan September 2020, luas es laut di Arktik tercatat hanya 3,74 juta kilometer persegi, jauh di bawah rata-rata jangka panjang. Penurunan ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan liar di kutub, seperti beruang kutub yang kehilangan habitat mereka, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan level permukaan laut yang bisa berdampak pada wilayah pesisir di seluruh dunia. Tak hanya itu, penelitian menunjukkan bahwa es di Antartika juga mengalami penyusutan yang signifikan akibat pemanasan global. Data dari NASA dan National Snow and Ice Data Center (NSIDC) menunjukkan bahwa lapisan es di Antartika Barat kehilangan massa dengan cepat, berkontribusi pada kenaikan permukaan laut global. Dari tahun 2002 hingga 2020, es di Antartika kehilangan sekitar 2.720 gigaton es. Penyusutan es ini berdampak pada ekosistem lokal, termasuk habitat bagi spesies seperti penguin dan anjing laut, serta mempercepat kenaikan permukaan laut yang mengancam wilayah pesisir di seluruh dunia.

Kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar fosil seperti bensin dan diesel, menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) dan nitrogen oksida (NOx) dalam jumlah besar. Gas-gas ini terperangkap di atmosfer dan meningkatkan efek rumah kaca, yang menyebabkan suhu rata-rata bumi terus meningkat. Dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan jumlah kendaraan di jalan raya seiring dengan urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi telah memperparah masalah ini. Selain itu, polusi udara dari kendaraan juga berdampak negatif pada kesehatan manusia, menyebabkan penyakit pernapasan dan kardiovaskular.

Carbon tax yang mencakup sektor transportasi adalah solusi efektif untuk mengurangi dampak pemanasan global. Dengan menerapkan pajak karbon pada bahan bakar fosil seperti bensin dan diesel yang digunakan oleh kendaraan, carbon tax mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca dari salah satu sumber utama polusi. Pajak ini memotivasi masyarakat untuk beralih ke moda transportasi yang lebih ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik, transportasi umum, dan sepeda, yang semuanya menghasilkan lebih sedikit atau bahkan nol emisi karbon. Selain itu, pendapatan dari carbon tax dapat dialokasikan untuk mendukung infrastruktur hijau dan pengembangan teknologi transportasi berkelanjutan, mempercepat transisi menuju sistem transportasi yang lebih efisien dan bersih.

Negara-negara yang menerapkan carbon tax telah menunjukkan hasil yang positif dalam mengurangi emisi karbon. Finlandia, sebagai pionir sejak 1990, dan Norwegia yang memberlakukan pajak serupa pada tahun yang sama, masing-masing telah melihat penurunan emisi signifikan tanpa merugikan pertumbuhan ekonomi. Swedia, dengan tarif pajak yang mencapai $119 per ton emisi karbon, telah berhasil mendorong penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi. Kanada, yang memulai carbon tax pada 2019, mengalokasikan pendapatan pajak untuk mendukung program energi hijau dan infrastruktur berkelanjutan. Pengalaman dari negara-negara ini membuktikan bahwa carbon tax adalah solusi efektif untuk mengurangi dampak pemanasan global melalui pengurangan emisi gas rumah kaca dan mendukung transisi menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan.