Indonesia sebagai negara hukum memiliki komitmen yang kuat dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk hak-hak penyandang disabilitas. Disabilitas adalah istilah yang mencakup berbagai kondisi yang dapat membatasi kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu atau berpartisipasi dalam interaksi sosial. Ini mencakup kondisi fisik, mental, sensorik, dan intelektual yang bisa berlangsung sementara atau permanen. Penyandang disabilitas mungkin memerlukan alat bantu atau penyesuaian tertentu untuk menjalani hidup mereka dengan setara dan mandiri. Komitmen Indonesia terkait penyandang disabilitas terlihat dari berbagai undang-undang dan peraturan yang telah diterbitkan untuk melindungi dan mendukung penyandang disabilitas. Misalnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan yang sama di berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan partisipasi dalam kehidupan politik. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) yang menunjukkan komitmen internasional dalam melindungi hak-hak penyandang disabilitas.

Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai sekitar 11,7 juta orang yang menunjukkan bahwa disabilitas bukanlah masalah yang bisa diabaikan. Ini mencerminkan perlunya perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat untuk memastikan bahwa hak-hak penyandang disabilitas terlindungi dan terpenuhi. Dengan jumlah yang signifikan ini, kebijakan inklusif dan aksesibilitas yang lebih baik harus menjadi prioritas, termasuk dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan kesehatan. Peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang disabilitas juga diperlukan untuk mengurangi stigma dan diskriminasi yang masih sering dihadapi oleh penyandang disabilitas.

Meskipun undang-undang di Indonesia telah mengatur tentang kesamaan HAM bagi penyandang disabilitas, namun pada faktanya penyandang disabilitas sering kali merasa dikucilkan karena adanya stigma dan diskriminasi yang masih kuat di masyarakat. Meskipun ada berbagai upaya untuk meningkatkan inklusi, kenyataannya banyak penyandang disabilitas yang menghadapi hambatan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Di lingkungan kerja, mereka mungkin mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan yang setara atau menghadapi perlakuan yang tidak adil dari rekan kerja. Dalam lingkungan pendidikan, anak-anak dengan disabilitas sering kali tidak mendapatkan dukungan yang memadai dan merasa terpinggirkan. Selain itu, aksesibilitas yang buruk terhadap fasilitas umum dan transportasi juga menghambat partisipasi aktif mereka dalam masyarakat. Semua faktor ini berkontribusi pada perasaan terisolasi dan tidak diterima, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas sering merasa dikucilkan karena stigma dan diskriminasi yang masih kuat di masyarakat, meskipun ada upaya untuk meningkatkan inklusi. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 15% populasi dunia mengalami disabilitas dan banyak di antaranya menghadapi diskriminasi sosial dan ekonomi. Survei Kesehatan Nasional (Riskesdas) di Indonesia juga mengungkapkan bahwa penyandang disabilitas sering mengalami pengucilan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di lingkungan pendidikan dan pekerjaan. Lebih dari 60% penyandang disabilitas yang diwawancarai oleh Yayasan Penyandang Disabilitas Indonesia (YPDI) merasa tidak diperlakukan secara adil dalam masyarakat.

 Masalah kesejahteraan juga menjadi tantangan bagi penyandang disabilitas. Pada tahun 2020 jumlah disabilitas mencapai 28,05 juta orang, atau sekitar 10,38% dari populasi nasional. Namun, hanya 73,2% penyandang disabilitas yang memiliki jaminan kesehatan, meskipun cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 81,3% dari total penduduk. Di sektor pendidikan, sekitar 30% anak difabel tidak memiliki akses pendidikan, dan dari 2,2 juta anak penyandang disabilitas, sekitar 660.000 di antaranya belum dapat mengenyam pendidikan. Dalam dunia kerja, hanya 9% dari 8 juta angkatan kerja penyandang disabilitas yang terserap sebagai tenaga kerja. Selain itu, partisipasi sekolah dasar anak difabel lebih rendah 13,5% dibandingkan anak tanpa disabilitas yang mencapai 97,9%. Data ini menunjukkan masih banyak tantangan yang perlu diatasi untuk memastikan aksesibilitas dan kesetaraan bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Upaya yang lebih kuat dan konsisten diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar inklusif dan ramah disabilitas.

Pemerintah harus mempermudah pelayanan akses bagi penyandang disabilitas dan memberikan pendidikan inklusifitas untuk memastikan bahwa semua individu, tanpa memandang kemampuan fisik atau mental mereka, memiliki kesempatan yang setara dalam masyarakat. Memudahkan aksesibilitas tidak hanya meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas tetapi juga memungkinkan mereka berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Tanpa akses yang memadai, mereka akan terus menghadapi hambatan yang menghalangi partisipasi mereka. Selain itu, pendidikan inklusif sangat penting untuk memupuk potensi dan bakat semua anak, termasuk anak-anak dengan disabilitas, sejak usia dini. Melalui pendidikan inklusif, penyandang disabilitas dapat menerima dukungan dan penyesuaian yang mereka butuhkan untuk mencapai prestasi akademis dan pengembangan pribadi. Dengan demikian, langkah-langkah ini bukan hanya soal keadilan sosial tetapi juga investasi jangka panjang dalam membangun masyarakat yang lebih kuat dan inklusif, di mana setiap individu dapat berkontribusi secara optimal.