Kiai Djauhari Chotib (w. 1971) adalah seorang Kiai tarekat yang berpikiran terbuka dan sangat antusias pada faham pembaharuan. Meski hidup di wilayah yang cukup jauh dari perkotaan, geliat Kiai Djauhari dalam mempelajari nilai-nilai pembaharuan Islam tidak pernah pudar. Adalah al-Manar, majalah yang menjelma ‘sayap’ dan menerbangkan beliau menggapai mimpi-mimpi tentang modernisasi Islam. Lalu mimpi itu dilanjutkan oleh para putranya dan diwujudkan dalam bentuk nyata berupa berdirinya pesantren yang cukup disegani di tanah Madura: Tarbiyatul Muallimin Al-Islamiyah (Al-Amien Prenduan). Tentu saja, mengajarkan nilai-nilai pembaharuan Islam kepada masyarakat yang kadung ‘asyik’ pada pola tradisional bukanlah hal mudah. Terlebih, unsur-unsur pembaharuan itu masih sarat akan identitas kaum koloni yang belum lama pergi dari pertiwi.

Secara umum, maksud dari pembaharuan Islam sendiri adalah bagaimana nilai-nilai ajaran Islam yang diajarkan Nabi Muhammad dapat diapilkasikan secara relevan dengan konteks kekinian. Ini menjadi penting untuk dapat mengangkat Islam pada level dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Dalam aspek sosial pendidikan misalnya, kemampuan bahasa Inggris menjadi sangat penting dimiliki oleh seorang muslim, meski, secara historis penutur asli bahasa tersebut pernah memberikan trauma yang mendalam sebagai gerombolan koloni yang pernah menjajah dunia. Tetapi, terkungkung dalam ketakutan tersebut akan membuat umat Islam terjebak dalam stagnasi. Maka semangat pembaharuan adalah mempelajari ‘senjata’ musuh dalam rangka melakukan perlawanan-perlawanan kepada mereka dengan cara elegan

Langkah Awal: Mengkader Putra-putranya Ke Gontor

Memilih Gontor sebagai tempat nyantri anak-anaknya adalah keputusan yang cukup menggemparkan dan mendobrak kebiasaan yang sudah ada kala itu. Masyarakat Madura kadung terbiasa mengaji makna gandul ala santri salaf selama puluhan tahun, Kiai Djauhari membidas batas itu dengan mengirim anak-anaknya ke Gontor yang kala itu adalah ikon pendidikan pesantren Modern. Ketiga putra beliau: Tijani, Idris dan Maktum kesemuanya diantar oleh Kiai Djauhari untuk ngudih kaweruh kepada Kiai Imam Zarkasyi selaku pengasuh Gontor. Kiai Djauhari memandang pemuda Islam masa depan harus pandai berdiplomasi, menjalin relasi, cakap dalam leadership dan berwawasan global. Untuk mewujudkan profil pemuda yang demikian, bagi Kiai Djauhari, Gontor adalah tempat paling realistis.

Seiring berjalannya waktu, ketiga putra beliau dalam masa pendidikannya termasuk santri yang prestisius. Kaderisasi yang beliau pola sedemikian rupa berjalan sangat memuaskan. Tijani muda lulus sempurna, lalu melanjutkan kuliah di Madinah, dan diambil menantu oleh Kiai Imam Zarkasyi. Pada puncaknya K. Tijani menjadi Sekjen Robitha Alam Islamy, organisasi Islam terbesar di dunia. Sedangkan Maktum kecil, melanjutkan studi s1 di Madinah dan berlanjut s2 di Mesir. Sementara Idris muda, sesudah purna Pendidikan di Gontor, beliau memutuskan pulang ke Madura, merawat mimpi ayahnya dengan membangun pondok bernama Tarbiyatul Muallimin Al-Islamiyah. Saat itu, Idris muda yang masih berusia 19 tahun menjadi single fighter yang bertarung dalam mewujudkan impian bapaknya, sembari menunggu dua saudaranya kembali untuk ikut bersinergi bersama.

Gelombang Konflik: Penolakan Masyarakat pada Pesantren

Sebagai hal yang baru muncul dan terlahir, TMI dengan nilai-nilai pembaharuan yang diusung tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Kelompok muslim tradisionalis yang sudah nyaman dengan nilai-nilai mereka, tidak terima dengan gagasan pembaharuan yang mereka nilai melenceng itu. Santri sudah terbiasa bersarung, kenapa harus berjas dan berdasi? Bukankah itu busana penjajah? Santri sudah cukup berbahasa Arab, kenapa harus belajar Bahasa Inggris? Bukankah itu Bahasa koloni? Apa pentingnya belajar orasi dan pendidikan pramuka? Pertanyaan itu bertubi-tubi mendesing mewarnai hari-hari awal berdirinya Tarbiyatul Muallimien al-Islamiyah (TMI).

Kehadiran TMI dengan penekanan pada penguasaan bahasa asing, dipadu dengan cara berbusana khas birokrat, dikuatkan keterampilan pidato yang diasah berapi-api, oleh kaum tradisionalis kala itu dianggap sebagai manifestasi dari penjajah. Ketakutan traumatik sebagai imbas dari bangsa yang pernah dijajah benar-benar dalam. Menyikapi ini, Kiai Idris muda menjawab ketakutan itu dengan ‘produk’ dan ‘output’ yang mumpuni. Santri-santrinya dididik secara keras, genetika kedisiplinan Gontor melekat kuat dalam alur pikirnya. Bagi beliau, jumlah alumni kecil tapi berkualitas, lebih baik daripada besar tanpa kualitas. Maka alumni pertama sejumlah 11 orang menjadi rekfleki perdana yang akan dinilai oleh masyarakat saat itu. Hasilnya? Masyarakat terkagum-kagum. Terkagum melihat sebuah pondok mampu melahirkan seorang pemuda dengan penguasaan keagamaan, kepemimpinan, orasi dan linguistik yang mumpuni.

Akhir yang Mengharukan: Hasil dari Kontinuitas Perjuangan

Semangat pembaharuan yang bermula dari majalah al-Manar dan secara kronologis diimplementasikan dengan menyantrikan anak ke pondok modern, berlanjut mendirikan pesantren yang tumbuh dengan DNA pembaharuan adalah gelombang historis yang mengagumkan. Yang lebih mencengangkan pondok TMI saat itu dikawal oleh seorang pemuda 19 tahun bernama Idris Djauhari.

Selama bertahun-tahun kepercayaan masyarakat semakin kuat. TMI seolah “menggaransi” kemampuan dua bahasa yang ciamik bagi siapapun yang nyantri disini. Nama harum TMI semakin mewangi manakala kaka dari Kiai Idris, yaitu Kiai Tijani datang dari Makkah pada tahun 1990. Beliau pulang membawa ‘oleh-oleh’ berupa koneksi yang melimpah. Sokongan dari dermawan timur tengah mengalir deras, menjadikan mimpi membangkitkan semangat pembaharuan semakin menyala. Dengan penuh cinta, jabatan pengasuh dialihkan kepada sang kakak.

Mimpi Kiai Djauhari semakin menjadi-jadi ketika putra yang terakhir ia kader, Maktum Jauhari, kembali ke Madura setelah merampungkan pendidikan S2 di Al-Azhar University. Kiai Maktum Djauhari, pulang dari Kairo, dari kota dimana mimpi-mimpi Sang Bapak tercetus, pulang dari kota tempat lumbung semangat pembaharuan itu lahir dan bersinar. Kiai Maktum pulang dari Kairo, tempat gesekan pemikiran Rasyid Ridha-M. Abduh beradu dan diperbincangkan. Kehadirannya semakin menguatkan nilai-nilai pembaharuan di sebuah pesantren, yang dulu dididirikan di tengah masyarakat yang sangat tradisionalis dan cukup berat menerima unsur modernitas.

Hingga hari ini, Kiai Tijani, Kiai Idris dan Kiai Maktum menjadi profil dan figur akan mimpi-mimpi besar Kiai Djauhari tentang kemajuan Islam. Ketiganya adalah bukti dari suksesnya kaderisasi dalam mewujudkan mimpi-mimpi ayahnya. Kiai Djauhari wafat sekitar tahun 1971, TMI yang dibina oleh Kiai Idris belum terlalu mapan hari itu. Kiai Djauhari saat wafatnya, mungkin tak menyana TMI akan sebesar ini.

Tapi dalam keyakinan imajiner, seluruh santrinya menyakini Kiai Djauhari sedang tersenyum manis di atas sana. Melihat kaderisasi yang ia canangkan atas anak-anaknya berjalan sempurna. Tidak ada yang mampu membendung Kiai Djauhari membawa semangat perubahan itu dari Mesir menuju Prenduan, menuju wilayah dengan mayoritas muslim tradisionalis. Kiai Djauhari mengajarkan kita untuk berani bermimpi; Bermimpilah, persiapkan bekal sebaik mungkin untuk mewujudkannya. Jika bukan dirimu, mungkin anak-cucumu yang akan mengawal mimpi-mimpimu menjadi nyata. Gusti Allah mboten sare. Wallahu A’lam.