Ada sebuah kisah, izinkan saya untuk menceritakannya…

“Dahulu kala di sebuah kerajaan agung hiduplah seorang Maharaja agung, ia dicintai oleh rakyatnya karena wataknya yang mengasihi dan menyayangi. Suatu hari Maharaja mengirim surat maklumat kepada rakyatnya untuk mengunjungi istananya, mereka begitu bergembira mendengarnya dan segera membalas surat itu. Namun ada salah seorang hamba sahaya yang sangat arogan dan enggan menanggapi surat itu, ia berniat untuk tidak ikut menghadiri pertemuan agung itu. Entah kenapa alasannya. Namun akhirnya karena desakan kawan-kawannya, ia akhirnya ikut pergi menuju istana meskipun dengan rasa sedikit terpaksa.

Ketika hampir semua orang, rakyat di sana menikmati jamuan pertemuan itu justru hamba sahaya itu sendiri merasa begitu jenuh dan enggan berlama-lama di sana. Namun beruntunglah beberapa kawan-kawannya membujuknya untuk duduk sedikit lama di sana. Pada akhir pertemuan itu, seperti biasanya pada akhir pertemuan agung, sang Maharaja turun dari singgasananya dan menghampiri satu-persatu rakyatnya untuk mendengarkan permintaan mereka. Para rakyat begitu antusias berceloteh kepada Maharaja perihal keinginannya maupun kebutuhannya masing-masing. Hingga ketika tiba tepat di meja hamba sahaya itu, ia justru hanya berbicara seadanya saja lantas kemudian beranjak pergi keluar dari istana itu. Sang Maharaja hanya tersenyum dan kemudian lanjut berpindah ke meja di sebelahnya.

Beberapa hari kemudian, sang Maharaja mengemas segala barang-barang yang dipinta oleh rakyatnya. Tak lupa ia mengetuk pintu seraya menaruhnya di depan rumah-rumah mereka, para rakyatnya menerimanya dan mengucapkan terima kasih yang banyak, sang Maharaja kemudian melanjutkan ke rumah lainnya. Tak lupa pula Sang Maharaja mengirimkan permintaan hamba sahaya itu sesuai yang diucapkan sebelumnya . Hamba sahaya yang mendengar ketukan pintu itu kemudian keluar dari rumahnya dengan berwajah muram dan mengambil beberapa permintaan lantas kemudian masuk kembali tanpa sepatah ucapan terima kasih.

Maharaja itu kembali tersenyum dan melanjutkan perjalanannya.”

Ihkwani wa akhwati fillah, kisah di atas hanyalah kisah fiktif belaka yang tidak benar-benar terjadi. Namun kisah ini saya tulis sejak lama berdasarkan kisah nyata yang saya tujukan untuk refleksi diri saya pribadi. Maharaja tadi sebenarnya merepresentasikan posisi Allah subhanahu wa ta’ala dan kita semua berperan sebagai rakyat atau hambanya. Kisah di atas menggambarkan tentang proses penghambaan kita dalam beribadah mulai dari panggilan Allah SWT yakni adzan, dilanjutkan dengan shalat berjamaah dan diakhiri dengan dzikrullah serta do’a.

Barangkali kita adalah satu dari sekian hamba Allah yang terlalu arogan untuk menyapanya di sela-sela waktu hidup yang Ia anugerahi. Akan ada beragam alasan untuk menunda-nunda untuk berjumpa dengan-Nya mesti sedikit terlambat.  Terlalu sombong kita berpijak di atas bumi-Nya hingga lupa bahwa kita tiada apa-apa tanpa-Nya.

Pekerjaan, harta, jabatan. Hal-hal duniawi yang menjanjikan ketenangan dan kebahagiaan semu kita kejar begitu ambisius tanpa mengenal lelah hingga lambat sekali untuk sesekali menghamparkan sajadah. Lupa meminta kepada Allah SWT bahwa sejatinya ketenangan dan kebahagiaan hakiki bersumber dari-Nya.

Kesibukan-kesibukan memaksa hati kita untuk enggan berlama di rumah-Nya, enggan menyampaikan doa-doa kepada-Nya, lantas kemudian kita sering kali mempertanyakan kenapa hidup ini begitu hambar rasanya, mengapa hidup ini berjalan semu ala kadarnya. Kita terlalu egois mementingkan diri sendiri hingga seakan-akan kita tidak membutuhkan Allah SWT.

Barangkali Allah dengan sifat Rahman-Nya begitu sayang dengan kita dengan sedikit memberikan teguran, rasa sadar dan penyesalan akan kita yang melangkah terlampau jauh dari Allah SWT. Barangkali Allah dengan sifat Rahim-Nya begitu cinta dengan kita memberikan hidayah lewat washilah teman-teman yang gemar mengingatkan kita untuk kembali pada Allah SWT.

Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana wahablana min landunka rahmatan innaka anatal wahhab.

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Karunia.” (QS. Al-Imron: 8)

Barokallahu fiikum.