Berbicara kualitas guru, TMI merupakan lembaga yang mengkader alumninya menjadi guru-guru yang dapat mencerdaskan umat. Secara umum tugas guru memang mencerdaskan umat, hanya saja pendidikan yang disampaikan di TMI merupakan pendidikan para guru. Jadi guru dididik dengan sedemikian rupa supaya tidak melakukan kesalahan sedikitpun dalam pengajarannya. Hal itu bisa dilihat dari penerapan program amaliah tadris nihai’e.

Tuntutan itu berlaku sampai kapanpun selama jiwanya masih ada. Pandangan menjadi seorang guru merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan. Guru bukanlah profesi melainkan sebuah jiwa, di manapun, kapanpun dan menjadi siapapun haruslah menjadi seorang guru yang selalu menebar kebaikan. Karena hakikat seorang guru memang menebar kebaikan, bukan keburukan. Oleh karenanya kita dituntut menjadi malaikat dalam wujud manusia, kendati hal itu mustahil dilakukan, namun semboyan menjadi malaikat saat melakukan pengajaran tetap harus dilaksanakan dengan baik. Itu artinya seorang guru harus memiliki persiapan yang mantap saat hendak mengajar, sebab itulah pembuatan I’idad al-tadris menjadi urgen setiap harinya.

Bisa dibayangkan misalnya, seorang guru masuk ke dalam kelas tanpa ada kemampuan yang memadai dalam pengajarannya. Kira-kira dia bisa mencetak murid-murid yang berkualitas atau tidak? Sedangkan almamater kita menghendaki kualitas tinggi di setiap alumninya. Para murid dituntut berusaha keras menaikkan standar akademik nya, upaya mencetak kader-kader umat berkualitas. Sayangnya terkadang sebagian guru belum menaikkan kualitas pengajarannya, bahkan ada guru yang justru tidak disukai oleh muridnya karena berbagai alasan.

Berangkat dari sebuah kejadian, seorang guru menemui kondisi kelas, hanya dihuni empat orang, tepat jam pelajarannya. Tentu saja ini masalah, ada yang harus diperbaiki dari kondisi tersebut. Entah karena anak didik nya memang kurang sopan, atau dari pengajaran gurunya yang tidak disukai, sehingga murid-murid lebih memilih tidak masuk kelas di saat jam pelajarannya. Setelah kejadian itu ditelusuri lebih lanjut, ternyata para murid tidak mendapatkan hasil yang puas dari pengajarannya, justru malah tertekan setiap pelajaran tersebut. bagaimana tidak, Seorang guru mengajar dengan kemampuan yang minim sedang yang dibicarakan lebih banyak membahas soal pelanggaran. Lebih-lebih, santri yang ketiduran atau tidak mengumpulkan tugas dianggapnya alpa saat pelajaran berlangsung.

Tentu saja santri akan berpikiran bahwa tidak masuk kelas lebih baik menurutnya, sebab masuk kelas pun akan dianggap alpa jika ketiduran, sedang mau mengerjakan tugas tidak paham dengan yang diajarinya. Kondisi ini tidak menggambarkan semua guru seperti itu, hanya segelintir saja. Namun imbasnya tetap akan dirasakan oleh semuanya saat kamisan berlangsung. Tentu tekanan yang didapatkan para guru saat kumpul kamisan akan membuat geram yang lainnya, padahal seringkali yang hadir pada saat kamisan itu adalah guru-guru yang rajin dan taat akan ketetapan pondok.

Sebenarnya yang mau dibahas kali ini bukanlah kamisan atau sebuah tekanan yang akan diberlakukan nanti, melainkan kesadaran seorang guru menaikkan standar kualitas pengajaran dirinya dengan baik, guna mewujudkan harapan pondok yakni mencetak kader-kader umat terbaik nantinya. Dengan menaikkan standar kualitas gurunya maka murid bisa menaikkan kualitas durinya juga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.