Apa yang muncul di benak kita saat mendengar atau membaca nama “Muhammad Al-Fatih”? Ya, “Sang penakluk Konstantinopel.” Nama itu menjadi abadi dalam goresan tinta sejarah peradaban Islam berkat prestasi gemilangnya memporak-porandakan Kekaisaran Bizantium sekitar 572 tahun yang lalu, meruntuhkan kekuatan terbesar Kristen Timur dan membuka jalan peradaban baru adalah sebuah pencapaian ikonik. Maka, tidak berlebihan kiranya. Jika penulis beranggapan bahwa tidak ada satu pun kepemimpinan dalam dunia Islam yang mampu menandingi kehebatan dan prestasi yang berhasil ia torehkan.

Kita memang tidak pernah hidup satu periode dengan Muhammad Al-Fatih apalagi menyaksikan kejadian bersejarah secara langsung. Karena rentang waktu antara periode kita saat ini dan periode penaklukan Konstantinopel terpaut sangat jauh maka mengenalnya pun sekedar melalui literatur-literatur dan karya audiovisual  yang  mengangkat kisahnya kepemimpinannya yang ada saat ini, meski demikian kita patut merasa bangga sebab Islam pernah memiliki figur pemimpin yang begitu patriotik dan visioner. Pribadinya bukan sekedar menjadi sebuah simbol kejayaan Islam dimasa lalu, namun juga inspirasi lintas generasi. Faktanya, tidak sedikit dari para orang tua masa kini yang menisbatkan nama anaknya kepada Muhammad Al-Fatih, yang sejatinya adalah sebuah bentuk pengharapan agar kelak dapat meneladani sosok pemimpin yang berbasis iman, ilmu, dan keteguhan hati. Dan sampai saat ini, nama Muhammad Al-Fatih selalu menjadi tema menarik untuk dikaji dalam berbagai aspek.

Disisi lain, peristiwa bersejarah yang terjadi pada 29  Mei 1453 bukan persoalan pencapaian militer semata, melainkan sebuah realitas atas kebenaran sabda Nabi Muhammad SAW: “Konstantinopel akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad) salah satu aspek yang menjadikan matan tersebut menarik adalah Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai identitas pemimpin ataupun periode penaklukan. Beliau hanya memberikan indikasi umum yang mengandung isyarat bukan identitas sebab dengan demikian hadis diatas menjadi semacam janji kenabian terbuka sebuah peluang sejarah yang dapat diperebutkan oleh siapa pun yang memiliki visi, iman, dan tekad.

Perlu dicatat bahwa keberhasilan Muhammad Al-Fatih bukan sebuah fenomena “keajaiban instan”  yang terjadi begitu saja seiring adanya sabda Nabi bukan pula akibat penisbatan dirinya pada status sosial ataupun faktor genetik kepemimpinan yang mengalir dalam dirinya. melainkan buah dari proses panjang, perjuangan tanpa henti, pendidikan serius, visi besar. faktor pendukung utama dibalik kesuksesannya adalah sosok sang ayahandanya Sultan Murad II, sebagai sosok ayahanda bertekad untuk menyiapkan putra mahkotanya agar dapat menjadi sosok pemimpin yang merealisasikan sabda Nabi Muhammad SAW. pola asuh yang penuh perhatian dan pendidikan yang sistematis Sultan Murad II  tidak hanya membekali Muhammad Al-Fatih pengetahuan agama dan strategi militer melainkan berbagai bidang ilmu lainnya sebut saja matematika dan geografi, banyak manuskrip dan sumber sejarah yang mengkisahkan semangat dan keseriusan hati upaya Sultan Murad II dalam mencari guru terbaik untuk sang putranya, Muhammad Al-Fatih. Upaya diatas mencerminkan betapa pentingnya pendidikan dalam membentuk sosok pemimpin besar seperti Al-fatih

Bagaimana jika Seandainya jika Sultan Murad II, ayah Muhammad Al-Fatih, tidak pernah melakukan upaya apapun seperti yang telah disampaikan diatas. Cukup bersandar pada faktor internal yang melekat pada dirinya, status sosial dan genetik. Apakah putranya akan tetap memiliki kemampuan dan dapat merealisasikan sabda Rasulullah?  Maka, bukan sebuah kemustahilan jika sang penakluk Konstantinopel justru lahir di tempat lain dan mungkin saja di Madura.

Ironisnya dalam konteks prestasi “penakluk Konstantinopel” tersebut, tidak sedikit dari kalangan ummat Islam masa kini hanya sekedar dapat membanggakan kejayaan Islam masa lalu: “Jauh sebelum barat menjadi adidaya seperti sekarang. Islam sudah pernah menguasai bahkan separuh dunia dibawah kepemimpinan Al-Fatih, Kita ini pernah menjadi umat terdepan dalam ilmu, budaya, dan kekuatan militer coba kita buka sejarah penaklukan Konstantinopel”. Apakah itu cukup? Tentu tidak. Sebab, jika sekedar dapat membanggakan sejarah tanpa berusaha menciptakan kembali kejayaan baru, sama halnya dengan fans-fans yang senantiasa membanggakan trofi lama. Ya wajar saja, Kalau masa kini hampa prestasi masa lalu akan terus diungkit-ungkit.

Menurut hemat penulis, kejayaan Islam di masa lalu sejatinya dapat diulang atau bahkan diciptakan kembali dengan berbagai strategi yang dapat diaplikasikan, salah satu diantaranya adalah memanfaatkan keunggulan yang dimiliki oleh ekosistem pesantren baik dalam aspek pembinaan moral, pendidikan maupun penguatan komunitas. Outputnya di harapkan dapat menghasilkan pribadi yang tidak sekedar unggul dalam bidang keagamaan melainkan juga unggul dalam berbagai bidang keilmuan lainya. representasi nyata tercermin dalam misi yang diemban Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan adalah sebuah usaha dan upaya dalam rangka mewujudkan cita-cita mulia “izzil Islam wal Muslimin”. Oleh karenanya, senantiasa kami nantikan kelahiran ‘Al-Fatih’ masa kini sebab kami percaya bahwa Al-Amien pondokku bagaikan ibu kandungku akan melahirkan pribadi-pribadi religius yang mampu beradaptasi dan berkontribusi nyata dalam segala aspek dinamika global layaknya Muhammad Al-Fatih penakluk Konstantinopel.