
Saya menemukan tumpukan dokumen berharga. Dokumen bertulisan tangan. Sudah lecak. Sebagian tulisan tangan itu memudar, terkena tumpahan air. Aroma pena dari masa lampau menguar. Begitu saya pegang, serbuk-serbuk kertas dari dokumen itu menggapai-gapai udara. Tanda, usianya tidak muda lagi. Jutaan detik jarum jam, boleh jadi berputar, membersamainya. Bisa jadi, beberapa sudah dilupakan oleh pengirimnya. Dan bahkan ditinggalkan oleh penerimanya. Tumpukan dokumen itu, berisi surat-surat dari beberapa murid Kiai Idris.
Di balik berlembar kertas yang tampak biasa itu, saya merasakan interaksi antara murid dan guru yang sangat luar biasa. Begitu organik. Bahkan bagian yang salah tulis, ditimpa dengan stip-x. Sebagian besar ditulis oleh alumni yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Misalnya, di salah satu titimangsa surat itu, tertera: “Islamabad, 25 Nov ‘90”. Lengkap dengan nama dan tanda tangan pengirimnya. Sebagian lain, ditulis secara personal dan memuat sekelumit pertanyaan tentang persoalan hidup dan kehidupan.
Saya tahu, bahwa Kiai Idris menyimpan perhatian besar terhadap pentingnya sebuah dokumen. Dalam suatu kesempatan, misalnya, saya diminta untuk mengarsipkan memo bertulis tangan—yang ditulis di atas sebidang kertas berukuran mini dan berisi pesan singkat yang sangat penting dan mendesak—kisaran dua puluh tahun silam. Dari sinilah, saya belajar bahwa dokumen bukan sekadar kebutuhan administratif. Ia adalah fondasi legal dari keteraturan.
Sejak lahir, manusia sudah terhubung dengan dokumen sebagai legal formal identitas bagi dirinya. Begitu lahir, namanya akan tercatat dalam akta kelahiran. Dari dokumen sah inilah, akan ia peroleh dokumen-dokumen selanjutnya. Sekolah, akan ia peroleh dokumen ijazah. Bekerja, akan ia terima dokumen kontrak. Menikah, ada buku nikah. Bahkan ketika meninggal, namanya tercatat dalam surat kematian.
Dalam setiap tahapan penting hidup, butuh sebuah dokumen yang menjadikan eksistensi manusia diakui. Tanpa dokumen, seseorang bisa kehilangan identitas. Bahkan kehilangan hak untuk bisa mengakses layanan kehidupannya. Pendek kata, dari lahir hingga meninggal, manusia diiringi oleh dokumen.
Kadang kita menganggap hanya dokumen yang memuat legal formal seperti akta kelahiran dan ijazah, bagian penting dari hidup kita. Namun, kita tidak terbiasa menganggap penting, arsip semacam: kapan pertama kali kita datang ke pondok; kapan momen-momen tertentu yang mesti kita tulis, kita catat dan kita simpan; apa saja hal penting dari dawuh para kiai selama kita mondok. Sehingga luput dari arsip dan catatan kita. Kita baru sadar belakangan, bahwa banyak hal yang kita lewatkan setelah menjadi alumni.
Mari kita tengok, bagaimana dokumen mampu menavigasi sejarah. Upaya Nabi Muhammad SAW dalam meletakkan dasar hukum dan tata pemerintahan untuk masyarakat Madinah yang beragam, termaktub dalam dokumen bernama Piagam Madinah (Shahîfat al-Madînah). Piagam Madinah mengatur hubungan antar kelompok, baik kaum Muslimin, Yahudi, dan kelompok lain, dalam menjamin kebebasan beragama, dan menetapkan kewajiban bersama dalam menjaga keamanan dan stabilitas di kota Madinah.
Kembali ke dokumen awal. Surat-surat yang ditulis oleh para alumni kepada Kiai Idris, saya kira bukan sekadar surat biasa. Bukan sekadar bertanya kabar dan berbagi pesan. Tapi di dalamnya terjalin dialog intelektual antara murid dan guru.
Saya coba nukil sebagian kecil dari isi surat itu:
“… hampir sekitar dua tahun setengah, Nanda belajar di Islamabad. Suatu masa yang relatif lama. Banyak hal dan pelajaran yang Nanda temui. Terutama mengenai praktik-praktik keislaman. Nanda betul-betul menemukan suasana dimana Islam dipahami sebagai kehidupan, bukan sebagai bahan kajian. Obrolan di tengah-tengah mahasiswa dalam hidup keseharian mereka lebih bersifat ilmiah amaliah, bukan ilmiah intelektual…” (ditulis oleh Amir Faishol Fath & Samson Rahman, saat menjadi mahasiswa di Universitas Internasional Islamabad)
Surat itu seakan mengandung kekuatan—yang kelak—turut menentukan arah hidup pengirimnya. Jika dalam jarak yang cukup jauh saja, komunikasi antar murid dan guru mengandung nilai-nilai intelektual yang mendalam, saya tidak bisa membayangkan bagaimana saat keduanya berhadap-hadapan.
Dari sini, banyak pelajaran yang kita peroleh, hal yang seharusnya terjalin dalam komunikasi antara murid dan guru. Dokumen yang berupa surat itu menjadi bukti. Menjadi catatan sejarah dan melegalkan status, yang bukan sekadar cerita dari mulut ke telinga yang seringkali kita dengar seperti dongeng.
Sadar Arsip di Era Digital
Jika dulu, dokumen hanya dapat kita temui dalam bentuk catatan tertulis di atas kertas—seperti surat-surat di atas—hari ini tantangan kita lebih berat lagi dalam kerja-kerja pengarsipan dokumen. Hari ini, dokumen bisa berupa file PDF dan audio-visual yang tersimpan dalam folder digital. Ia adalah representasi formal dari rekam jejak yang tidak boleh disepelekan.
Transformasi digital membawa kemudahan baru dalam pengelolaan dokumen. Banyak institusi kini mulai mengadopsi tanda tangan digital, sistem e-arsip, dan identitas elektronik. Hanya saja, ini juga menimbulkan tantangan baru: keamanan data, otentikasi identitas, dan keandalan sistem penyimpanan digital yang hingga saat ini menjadi isu yang tak bisa diabaikan.
Dengan dokumen-dokumen penting kini tersimpan secara daring, kesadaran akan pentingnya proteksi digital—seperti enkripsi, backup berkala, dan sistem otorisasi yang ketat—menjadi hal yang mutlak. Agar tidak terjadi kesenjangan akses dan pemahaman terhadap dokumen digital.
Ironisnya, kesadaran akan pentingnya dokumen sering kali muncul terlambat—ketika sudah dibutuhkan. Padahal, membangun kesadaran sejak dini tentang pengarsipan, validitas dokumen, dan legalitasnya, bisa mencegah banyak persoalan di masa depan.
Lembaga pendidikan seharusnya lebih aktif dalam mengedukasi seluruh elemen di dalamnya, akan pentingnya mengelola dokumen secara teratur. Termasuk mengenali dokumen yang harus dijaga seumur hidup.
Pada akhirnya, dokumen adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Ia merekam pencapaian, mencatat hak, serta menjadi alat untuk meraih kesempatan. Mengelolanya bukan hanya soal kerapihan administrasi, melainkan bentuk tanggung jawab atas perjalanan hidup itu sendiri. Karena dalam dunia yang bergerak cepat dan sistem yang makin kompleks, siapa yang mampu menjaga dokumen dengan baik, dialah yang akan lebih siap mencatat “sejarah” di masa depan.
Prenduan, Mei 2025