
Saya ingat, dulu, semasa masih nyantri di TMI Al-Amien Prenduan, KH. Muhammad Idris Djauhari, selalu berpesan kepada kami, para santri, untuk senantiasa membaca dan belajar. Pesan ini sangat sederhana, tetapi mengandung semangat dan motivasi luar biasa bagi para santri untuk masa depan mereka yang lebih baik. “Tiada hari tanpa membaca dan belajar” adalah slogan yang kerap beliau sampaikan kepada kami.
Kiai Idris sendiri dikenal sebagai sosok cendekiawan dan intelektual pesantren yang memperoleh pengetahuan melalui metode belajar otodidak. Tidak peduli siapapun tamu besar dan penting yang berkunjung ke pondok, baik pejabat, akademisi, pemikir, dokter, pengusaha, tokoh agama, tokoh asing, dan lain sebagainya, akan terjalin permbincangan yang “nyambung” dengan beliau. Beliau mampu mengimbangi wawasan masing-masing dari mereka dalam dialog yang setara. Sehingga seolah-olah beliau menguasai banyak bidang.
Kendati Kiai Idris tidak pernah melanjutkan studi di Timur Tengah atau di luar negeri atau perguruan tinggi sebagaimana para kiai yang lain, kiprah dan peran beliau dalam pengembangan pemikiran pendidikan pesantren, khususnya pendidikan Mu’allimien, tidak terbantahkan. Beliau suka sekali “mengujicobakan” temuan-temuan beliau di dalam sistem pengajaran dan pendidikan di TMI Al-Amien Prenduan. Banyak buku ajar di TMI Al-Amien Prenduan merupakan karya beliau. Tentu saja, ini adalah hasil dari proses membaca dan belajar yang beliau lakukan terus-menerus tanpa henti.
Membaca adalah sarana menambah wawasan dan pengetahuan. Sebagian besar pelajar di sekolah-sekolah lemah dalam memahami teks. Mereka jarang dilatih membaca untuk memahami teks. Apalagi jika teks yang harus dibaca agak panjang. Anak-anak muda sekarang tidak tahan membaca artikel panjang atau buku tebal.
Penyair Taufik Ismail pernah mengeluhkan kemampuan anak-anak pelajar Indonesia dalam membaca buku. Dalam setahun rata-rata pelajar di Indonesia hanya membaca satu buah buku. Ini sungguh ironis. Padahal wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. adalah “iqra`”yang berarti “Bacalah!”
Kenapa harus “iqra`”? Kenapa bukan “ittaqi” (bertakwalah), “tawakkal” (bertawakkallah), “u’bud” (beribadahlah) “ahsin” (berbuat baiklah), “âmin” (berimanlah) atau ayat-ayat lain? Ini kembali kepada fitrah manusia sebagai makhluk yang diberi keistimewaan berupa akal, yang membedakan dirinya dengan makhluk-makhluk Allah Swt. yang lain.
Manusia harus disadarkan dulu pada fitrah kemanusiaannya. Manusia bukan Malaikat yang hanya condong ke kanan, manusia bukan Iblis yang hanya condong ke kiri, manusia juga bukan binatang yang kerjaannya hanya makan, minum, dan berkembang biak. Tetapi manusia adalah manusia, makhluk yang menduduki posisi sebagai khalifah Allah Swt. di muka bumi. Ketika Allah Swt. mengajukan amanat kepada langit, bintang-bintang, matahari, bulan, binatang, dan makhluk-makhluk lainnya untuk memakmurkan bumi, semuanya menolak, merasa tidak mampu, merasa tidak mempunyai potensi.
Tetapi tatkala amanat itu disodorkan kepada manusia, tanpa keraguan sedikit pun manusia langsung menerimanya. Sebab manusia sadar bahwa dalam dirinya tersimpan kekuatan tersembunyi maha dahsyat yang sesuai dengan amanat tersebut. Artinya, kemakmuran bumi akan terwujud kalau manusia mau menggunakan potensinya yang berupa akal untuk membaca, membaca ayat-ayat Allah Swt., baik tertulis seperti kitab-kitab suci, atau ayat-ayat tak tertulis seperti alam dan segala isinya. Tanpa ini, jangan harap manusia bisa melaksanakan fungsinya dengan baik. Allah Swt. sangat mencela manusia yang tidak mau membaca dengan menyebutnya seperti binatang (ka al-an‘âm), bahkan lebih sesat (bal hum adhall).
Jadi, semuanya harus disertai dengan membaca. Dalam beriman (âmana), misalnya, manusia harus membaca agar tahu apa itu “iman”? Kenapa harus beriman? Bagaimana cara beriman? Apa manfaat iman dalam kehidupan? Siapa yang harus diimani? Kenapa harus beriman kepada Allah SWT? Siapakah Dia? Di mana Dia berada? Seperti apa wujud-Nya?
Demikian juga dalam berbuat baik (ahsan-a), manusia harus membaca agar tahu mana yang baik dan mana yang buruk, kenapa harus berbuat baik? Apa jadinya kalau berbuat buruk? Apa jadinya kalau berbuat baik? Seperti apa batasan-batasan hal yang disebut “baik” atau batasan-batasan hal yang disebut “buruk”? Kenapa disebut “baik”? Kenapa disebut “buruk”? Pengetahuan-pengetahuan seperti ini hanya akan diperoleh melalui proses membaca.
Membaca diri (‘arrif nafsak-a), membaca fenomena-fenomena alam (sîrû fî al-ardh fa unzhurû…). Pengalaman juga termasuk proses membaca, membaca kehidupan (jarrib wa lâhizh takun ‘ârif-an). Beriman tanpa ilmu adalah sia-sia, berbuat tanpa ilmu adalah dusta. Allah SWT berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu atau mau membaca (…wa al-ladzîna ûtû al-‘ilm-a darajât).
Kalau dicermati, di dalam al-Qur`an sama sekali tidak ditemukan kata-kata seperti “al-qirâ`ah” (pembacaan), “al-‘aql” (akal), “al-fikr” (pikiran), “al-fahm” (pemahaman) atau “al-tadabbur” (perenungan)—dalam bentuk “mashdar” (akar kata). Kita hanya menemukan kata-kata “iqra`” (bacalah), “ya’qilûn” (berpikir), “yafhamûn” (memahami), “yatafakkarûn” (berpikir) atau “yatadabbarûn” (merenung), semuanya dalam bentuk “al-fi’l” (kata kerja). Berbeda dengan “al-fu`âd” (hati) atau “al-qalb” (hati) yang menggunakan bentuk “al-ism” (kata benda). Ini menunjukkan bahwa membaca, berpikir, memahami, atau merenung dalam penggunaan al-Qur`an adalah sebagai tugas (al-wazhîfah) dan aktivitas (al-‘amal), bukan sebagai alat.
Dalam masalah “al-‘aql”, misalnya, Allah Swt. berfirman, “Afalam yasîrû fî al-ardh-i fatakûn-a lahum qulûb ya’qilûna bihâ,” (Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?). Atau di ayat lain, “Wa lahû ikhtilâf al-layl wa al-nahâr afalâ ta’qilûn,” (dan Dia-lah yang [mengatur] pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?)
Kita perhatikan, kata “ya’qilûn” atau “al-‘aql” digunakan sebagai tugas dan aktivitas bagi “al-qulûb” (hati) yang merupakan otak (al-dimâgh) bersama indera-indera lainnya untuk memperoleh berbagai informasi dari lingkungan luar. Bertitik tolak dari ini, al-Qur`an kemudian menyuruh manusia untuk berpikir dan menunjukkan kepadanya bagaimana fenomena alam terjadi, “Qul sîrû fî al-ardh-i fa unzhurû kayfa bada`a al-khalq” (Berjalanlah di muka bumi. Kemudian lihatlah bagaimana alam semesta ini mulai diciptakan).
Memikirkan sesuatu tidak akan mencapai titik paripurna kecuali setelah mengetahui bagaimana sesuatu itu dimulai, bagaimana proses keberlangsungannya berikut hal-hal yang berkaitan dengannya, kemudian akan ditemukan sebuah hukum yang mempengaruhi gerakan sesuatu itu. Setelah itu dilanjutkan dengan pemfungsian atau pengaktifan melalui pengarahan, akselerasi, perlambatan, pemanfaatan atau penggunaannya bersama hukum lainnya untuk kemudian melahirkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya (sesuatu yang baru). Tahapan-tahapan ini, mulai dari gerakan dan penelitian, penemuan hukum, serta pemfungsiannya dinamakan dengan ilmu.
Jadi, akal (al-‘aql) pada dasarnya adalah anugerah Allah SWT bagi manusia tanpa makhluk-makhluk lain di muka bumi, yaitu sebagai kekuatan atau potensi terpendam (al-quwwah al-kâminah) yang siap untuk memperoleh ilmu (al-‘ulûm) dan pengetahuan (al-ma‘ârif), yang mana kekuatan tersebut ada bersamaan dengan lahirnya manusia. Perlu diperhatikan, akal bukanlah ilmu atau pengetahuan, tetapi sebagai potensi terpendam. Allah Swt. berfirman, “Kamu dikeluarkan dari rahim ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa.”
Setelah “dikeluarkan” kepada kehidupan dunia, manusia bergerak di muka bumi mempelajari, merenungi, mencari (menyingkap) dengan memfungsikan serta menggunakan potensinya tersebut. Kemudian ia melakukan penyaringan terhadap berbagai informasi yang didapatnya, mengklasifikasi, mengkategorisasi, menganalisa, menyusun, menghapus bagian-bagian yang tidak penting, menginduksi atau meneliti hingga akhirnya sampai pada informasi-informasi yang menjadi kaidah-kaidah dasar dan hukum-hukum yang akan digunakan sebagai instrumen-instrumen kognitif guna memperoleh informasi-informasi baru.
Demikianlah kehidupan manusia berlangsung, di mana pengetahuannya semakin bertambah, instrumen-instrumen kognitifnya mengalami proses pembaharuan, ketelitian dan kecermatannya semakin tajam, sehingga kemampuannya dalam menampung informasi-informasi lain juga semakin meningkat. Semua itu hanya dapat dicapai melalui proses membaca, tidak lain!!
Betapa pentingnya membaca, sampai-sampai Allah SWT harus membuat sebuah karya besar berupa “kitab suci” untuk memberi petunjuk (hudan) kepada manusia agar mau membaca. Kenapa demikian? Karena Allah SWT tahu bahwa alam dengan segenap gejalanya saja tidak cukup, makanya diperlukan bahan bacaan tertulis. Tetapi ternyata, banyak manusia tidak menyadarinya dan bahkan mengabaikannya, sehingga banyak dari mereka yang menyimpang dari sisi kemanusiaannya.
Gemar membaca dapat meningkatkan kecerdasan berbahasa. Kemajuan luar biasa dunia Barat saat ini dalam sains dan teknologi berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa, yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika. Cita rasa berbahasa merupakan sarana dasar untuk mengkomunikasikan ide dan pikiran.
Minat membaca dan belajar para santri bukan tidak diasah di pondok. Sejak pagi, saat mulai masuk kelas, siang hari mengikuti kursus sesuai dengan minat masing-masing, sore hari membaca kitab kuning (kutub al-turâts), hingga malam hari belajar bersama, mereka dilatih untuk membaca dengan mempelajari buku-buku ajar (buku-buku pelajaran) yang ditentukan pondok untuk satu tahun ajaran.
Tetapi itu tidak cukup. Ibarat membangun sebuah rumah, buku-buku ajar tersebut sesungguhnya hanya merupakan pondasi. Rumah tidak disebut rumah bila hanya berupa pondasi. Dalam sebuah bangunan rumah, pondasi memang sangat penting. Namun, agar menjadi sebuah bangunan yang utuh nan sempurna, diperlukan tembok, pintu, jendela, atap, perabotan, dan dekorasi (hiasan).
Jika para santri ingin membangun gagasan dan pemikiran yang sempurna, tidak bisa hanya mengandalkan pembacaan terhadap buku-buku ajar di kelas. Mereka harus memotivasi diri sendiri untuk membaca buku-buku lain di luar kelas untuk meningkatkan dan memperluas pengetahuan dan wawasan. Pondok sudah membangun pondasi untuk para santri. Selanjutnya adalah tugas mereka untuk mengembangkannya dengan spirit inovatif-kreatif guna mendirikan bangunan pemikiran yang paripurna.
Prinsip yang digariskan Kiai Idris sangat jelas, “I’malû fawqa mâ ‘amilû” (Buatlah melampaui apa yang telah mereka/orang-orang terdahulu perbuat). Artinya, para santri harus mampu melahirkan karya-karya baru yang kualitasnya melampaui karya-karya para pendahulu mereka. Caranya adalah dengan banyak membaca. Di sinilah pentingnya peningkatan literasi di pesantren.