
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah banyak menyebutkan kata Khauf dengan berbagai term, mulai dari Fi’il Madhi “khiftukum”, Fi’il Mudhari’ “yakhaafuuna”, Fi’il Amri “wa khaafuuni”, Fi’il Nahyi “laa takhaf”, Ismul Fa’il “Khaifan” dan Ismul Mashdar “al-khauf”.
Adanya ragam term khauf ini tentunya menunjukkan bahwa pada setiap termnya, khauf memiliki beberapa makna dan penggunaan yang berbeda-beda. Menariknya, kata Khauf yang secara bahasa sering kita pahami dengan takut sehingga cenderung untuk dihindari, saat disandingkan dengan Allah SWT (takut kepada Allah SWT), justru rasa takut tersebut malah mendorong hamba untuk semakin dekat dengan Allah SWT bahkan menyandarkan hidupnya sepenuhnya kepada Dzat yang ditakuti.
Khauf disandarkan dengan lafadz Allah juga memiliki makna bahwa seorang hamba berpasrah penuh kepada Allah SWT, mencukupkan Allah SWT baginya dan sepenuhnya yakin bahwa hanya Allah SWT yang mampu menjadi penolongnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ismail ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim saat menafsirkan surah Ali Imron ayat 175 fa laa takhaafuuhum wa kahafuunii in kuntum mu’miniin.
Dalam konteks jihad saat itu, para sahabat Rasulullah SAW diingatkan untuk tidak peduli sebesar apapun kekuatan musuh yang akan mereka hadapi. Cukuplah rasa takut itu hanya kepada Allah SWT, dan dengan adanya Khauf telah terbukti mendorong para sahabat untuk melangkah ke medan jihad dengan penuh keyakinan dan keberanian. Khauf yang menyelimuti hati mereka sungguh telah membuat mereka sepenuhnya hanya bergantung kepada Allah SWT.
Tidak hanya dalam jihad, dalam hal ibadah lainnya pun jika seseorang yang telah dipenuhi rasa takut kepada Rabbnya akan senantiasa bertambah rasa takutnya saat ia beribadah kepada Allah SWT. Seseorang yang sampai pada kedudukan Khauf, tidak akan memalingkan pandangannya kepada selain Allah SWT termasuk memalingkan wajahnya kepada amal kebaikan yang telah diperbuat.
Syekh Mahmud Al-Ghurab dalam kitab Rasailu Ibnu Arabi menyebutkan bahwa Imam Muhyiddin Ibnu Arabi saat dirinya berada di maqam Khauf ia pun takut untuk melihat bayangannya sendiri karena khawatir hal tersebut menjadikannya penghalang dengan Allah SWT.
Hal itu tentu tidak berlebihan, karena Khauf menjadikan seorang hamba benar-benar ingin semakin mendekat. Semakin ingin mendekat, artinya tidak berpaling walau sesaat dengan selain yang ingin didekati. Inilah hebatnya Khauf, tidak seperti rasa takut pada umumnya yang membuat lari dari yang ditakuti karena yang ditakuti diyakininya mendatangkan keburukan.
Dari itu, seorang hamba yang mendahulukan Khauf diatas Raja‘ “harapan” telah menempatkan diri di tempat yang benar. Karena Khauf bukan berarti berburuk sangka kepada Allah SWT. Imam Ad-Dardiri menyebutkan dalam Kharidatul Bahiyyah ” wa ghallibi al-khaufa ala ar-rajaa’i # wa sir limaulaka bila tanaa’i” Menangkanlah rasa takutmu kepada Allah SWT melebih rasa harapmu kepadaNya. Teruslah berjalan menuju Allah SWT tanpa berpaling dari jalan yang lurus.
Raja’ atau mengharap rahmat Allah SWT menjadi yang utama saat sudah berada di ambang pintu kematian atau dimana seseorang terjatuh dalam lobang maksiat maka jangan berputus asa dari rahmat Allah SWT. Di saat inilah Raja’ harus lebih dominan.
Namun dalam kehidupan sehari-hari, agar terhindar dari maksiat dan keburukan lainnya, tingkatkanlah Khauf kepada Allah SWT melebihi Raja’ itu sendiri. Begitu juga dalam saat beribadah dan melakukan ketaatan lainnya untuk senantiasa meningkatkan Khauf agar tidak bersandar pada amal dan hanya bersandar pada Allah SWT. Demikianlah Syekh Yusri menjelaskan dalam kitabnya Al-Futuhatul Al-Yusriyah fi Syarhi Aqaidi Al-Ummati Al-Muhammadiyati, tentang bagaimana membesarkan Khauf diatas Raja’ seperti disebut oleh imam Ad-Dardiri.
Kemudian dalam kitab yang sama pula Syekh Yusri menukilkan perkataan Imam Ibnu Athailah Asakandari yang menyebutkan, jika saat lalai engkau besarkan Raja’mu kepada Allah dan saat taat engkau besarkan rasa khaufmu, maka saat itulah engkau benar-benar bergantung kepada-Nya. “amma law zaada rajaauka ‘inda at-taqshiiri wa zaada khaufuka ‘inda at-tha’ati fa anta mu’tamidun ala Allahi”.
Khauf pasti akan menuntun seorang hamba hanya benar-benar bersandar kepada Allah SWT tidak kepada selain-Nya. Meskipun seorang hamba bertambah kuat dalam beramal, akan bertambah kuat pula rasa takutnya kepada Allah SWT. Begitulah Khauf menjadikan seorang hamba semakin dekat dan terus mendekat dengan Allah SWT.
Terus mendekatnya seorang hamba yang sampai pada Khauf karena mereka telah dikaruniai surga di dunia sebelum surga di akhirat, yakni surga mampu menikmati manisnya ibadah. Dari itu Imam Al-Qusyairi dalam kitabnya Lathaaiful Isyarat menjelaskan tafsir surah Ar-Rahman ayat 46 “wa liman khaafa maqaama rabbihi Jannatani“, bahwa 2 surga yang dijanjikan Allah SWT bagi hamba yang takut akan bagaimana kedudukannya kelak dihadapan Allah SWT, adalah 2 surga yang nyata dalam arti surga yang sebenarnya.
Imam Al-Qusyairi menjelaskan “bal jannatani ala al-haqiqati, mu’ajjalatun fi ad-dunya min halaawati at-tha’ati wa muajjalatun fi al-khirati wa hiya jannatu as-tsawāb“. Dua surga itu adalah nyata, surga pertama didahulukan saat di dunia dengan mampu menikmati manisnya ibadah dan surga kedua diakhirkan kelak di akhirat yaitu surga sebagai balasan kebaikan.
Sekarang mari kita sederhanakan dengan realitas kehidupan di zaman sekarang dimana seorang hamba sampai pada Khauf. Khauf sebagaimana yang telah dijelaskan, yakni mampu menjadikan seorang hamba memiliki fokus tingkat tinggi dengan Allah SWT, fokus yang mampu menyingkirkan apapun selain Allah SWT.
Hal tersebut dapat terjadi karena Khauf benar-benar menyadarkan seorang hamba tidak hanya pada tingkat akal namun juga tertanam dalam lubuk hati yang terdalam bahwasanya keselamatan hamba di dunia dan akhirat termasuk juga dimasukkannya seseorang kedalam surga semata-mata karena rahmat Allah SWT.
Dan rahmat Allah SWT merupakan tujuan utama agar keselamatan dunia maupun akhirat hanya akan didapatkan dengan terus melaksanakan peritahNya serta menjauhi laranganNya, menjaga diri dalam ketaatan kepada Allah SWT, senantiasa membersamai Allah dan ikhlas dalam beramal.
Hamba yang belum sampai pada Khauf akan merasa sulit untuk senantiasa menjaga semua amalan di atas, fokus dan tidak berpaling dari Allah SWT bukanlah perkara yang mudah di zaman sekarang, dimana kehidupan zaman sekarang lebih banyak menimbulkan harapan-harapan duniawi yang membuat seseorang terjebak dalam angan-angan yang panjang. Disinilah jalan untuk sampai pada Khauf terhalang, yaitu terhalang oleh gemerlapnya dunia.
Halangan gemerlap dunia bisa dihancurkan dengan sering mengingat kematian, yaitu dengan meyakini bahwa umur bisa berhenti kapan saja membuat seseorang tak jatuh dalam angan-angan yang panjang. Rasulullah SAW pun juga mengingatkan ummatnnya untuk banyak mengingat “penghancur dan pemutus segala kenikmatan yaitu mati.”
Setelah meninggalkan gemerlap dunia, dan mulai rajin beramal, penghalang selanjutnya ialah masih suka menghitung dan bangga dengan amalannya, jalan memperbaikinya adalah merawat rasa Khauf hingga sepenuhnya sadar dimana posisi seorang hamba di hadapan Allah SWT.
Sebagai hamba di hadapan Allah SWT, saat beramal bukan karena kebaikan diri sendiri, akan tetapi semata-mata hanya karena Allah SWT. Kuasa, Kehendak, Ilmu, dan Perbuatan Allah SWT sematalah yang mampu membuat seseorang beramal. Saat itulah Khauf akan mulai dapat dirasakan. Dan jika Khauf yang sudah mulai terasa dapat dirawat dan dijaga maka selamatlah seorang hamba.
Ingatlah, bahwasanya Khauf sendiri juga merupakan natijatul iman yakni buah dari iman, iman yang dijaga, dipelihara dan dirawat. Surah Ali Imron ayat 175 yang dibahas sebelum ini juga menegaskan hal tersebut dengan memiliki pengakhiran ayat “wa khaafuunii in kuntum mu’minin” dan takutlah kalian kepadaku jika kalian beriman. Maka hanya mereka yang menjaga, memelihara dan senantiasa merawat imannyalah yang mampu sampai pada Khauf.