
Salah satu falsafah hidup sekaligus slogan bagi para santri dan alumni TMI adalah Berjasa, Berkembang, dan Mandiri (BBM). Para masyayikh meletakkan falsafah BBM ini secara hierarkis dan tidak dapat dibolak-balik. Alasannya adalah karena beliau ingin agar para alumni mengutamakan “berjasa” terlebih dahulu daripada “berkembang” (berpikir untuk memberi daripada menerima terlebih dahulu). Berjasa dalam konteks yang lebih luas berarti mengamalkan ilmu yang diperoleh selama menyantri dan memberikan kebermafaatan yang besar kepada ummat secara luas, alih-alih mengembangkan diri yang lingkupnya lebih sempit.
Pengabdian wajib selama setahun di TMI merupakan bagian dari proses berjasa sekaligus berkembang yang dimaksud di atas. Di fase ini, langkah dan kehidupan baru sebagai alumni dimulai. Takdir pada akhirnya memilih saya untuk mengabdi di almamater sendiri, di bumi Djauhari. Seindah apapun garis kehidupan yang kita inginkan, Tuhan mempunyai takdir yang telah ditetapkan jauh sebelum manusia diciptakan. Manusia tidak memiliki kemampuan menentukan garis takdir, karena itu hak periogratif Allah. Kita menerima atau menolak, itu takkan mengubah segala ketetapan-Nya. Itu hanya akan membuang waktu dan kesempatan untuk belajar dan mengambil pelajaran dari sebuah takdir.
Lantas, bagaimana cara kita mengambil hikmah dari setiap takdir? Pertama, dengan berbaik sangka kepada Allah. Musibah, cobaan, masalah dan kesedihan adalah bentuk contoh dari takdir yang tak diinginkan. Ukuran baik dan buruk kembali pada prasangka kita sebagai manusia. Tidak ada hal buruk yang menimpa, kecuali ada kebaikan di dalamnya. Sebagaimana tidak ada hal baik yang terjadi, kecuali ada peringatan di dalamnya. Bagaimana kita menjadi kuat jika tak pernah merasakan bersusah payah?
Kedua, dengan bersyukur. Rasa syukur dapat dimanifestasikan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur mengajarkan kita agar selalu mengingat Allah dan menerima segala bentuk takdir. Bentuk syukur dalam perbuatan bisa dilakukan dengan menjadi pribadi yang tangguh. Saat kita memilih tangguh, maka hati akan tenang dan jiwa semakin kuat. Namun, saat kita memilih mengeluh, maka hati akan gelisah dan jiwa semakin lemah. Menjadi pribadi yang tangguh bukan berarti menyerah tetapi berserah.
Mengabdi adalah sebuah konsep yang sering kali dipandang sebagai tindakan yang penuh pengorbanan, kerja keras tanpa pamrih. Namun, dalam perjalanannya, mengabdi tidak hanya soal memberi, melainkan juga soal menemukan jati diri. Karena mengabdikan diri juga melibatkan pengabdian jiwa dan hati. Selama hampir tiga bulan mengabdi, saya merasakan tuntutan yang lebih besar daripada saat menjadi santri. Saya juga memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan diri agar menjadi contoh yang baik bagi lingkungan sekitar. Hal ini sekaligus menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam menjaga stabilitas daya juang (ruhul jihad) dan keikhlasan.
Ikhlas adalah tentang kesadaran diri. Ketika kita mengabdi dengan ikhlas, kita tidak hanya memberikan yang terbaik bagi orang lain, tetapi juga menemukan bagian-bagian diri kita yang mungkin belum kita kenal. Mengabdi dengan keikhlasan hati adalah langkah pertama dalam menemukan jati diri, karena kita belajar menerima kekuatan dan kelemahan kita secara utuh. Proses ini memang tidak mudah, sesekali mungkin merasa kecewa dan lelah. Di saat-saat seperti inilah kita diuji sebagai bagian dari perjalanan kehidupan. Di sinilah kita menemukan bahwa ikhlas bukanlah tentang hasil, tetapi tentang perjalanan itu sendiri. Jati diri kita tidak ditemukan dalam kemudahan, melainkan dalam setiap kesulitan yang kita hadapi. Karena sejatinya, mengabdi itu adalah bentuk cinta—bukan hanya untuk orang lain—kepada diri kita sendiri.
Ketika ikhlas menjadi pondasi kita dalam mengabdi, maka falsafah BBM di atas, akan dengan mudah kita jalani. Dan bukan tidak mungkin, dengan keikhlasan mengandi, kita juga akan menemukan jati diri kita yang selama ini tersembunyi. Selamat menempuh proses pencarian jati diri untuk kita semua yang sedang mengabdi.