سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat-ayat) Kami di cakrawala dan dalam diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka, bahwa Dia-lah kebenaran itu.
(QS. Fussilat: 53)

Di dalam kehidupan, manusia berkelindan di antara dua tanda: tanda tanya dan seru. Tanda tanya melambangkan pencarian, keraguan, dan kehendak untuk memahami. Sementara tanda seru adalah keterkejutan, penemuan, dan keinsafan. Antara keduanya, terdapat tanda-tanda ayat Allah, yang bertebaran di segenap penjuru langit dan tersembunyi dalam palung terdalam jiwa manusia.

Tanda tanya dan tanda seru, bukan sembarang tanda. Keduanya merupakan isyarat eksistensial: bahwa manusia hidup dalam rentang perenungan dan keterpanaan atas kehadiran Allah dalam keberadaan segala sesuatu.

Ayat sebagai Tanda

Ayat bukan sekadar gabungan huruf-huruf yang tertulis dalam mushaf Al-Qur’an. Ayat bisa jadi segala bentuk tanda yang Allah hadirkan untuk dibaca, direnungi, dan ditadabburi. Ia bisa berupa lafadz, bisa pula berupa fenomena alam, pengalaman hidup, perasaan yang menggetarkan, ataupun kenyataan yang menohok kesadaran.

Ayat-ayat Allah terbentang di hamparan semesta. Lihatlah, bagaimana matahari terbit dan tenggelam dengan teratur. Planet-planet beredar pada porosnya. Air menguap, jatuh sebagai hujan lalu meresap ke dalam bumi, dan memancar sebagai mata air yang memberi kehidupan. Bukankah semua itu adalah “ayat” dari Allah dalam bahasa kosmik?

Segala bentuk gerak alam yang tampak oleh mata telanjang, merupakan “ayat semesta” yang dapat membuat seseorang bertanya-tanya, bermenung dan berpikir, bahwa ada kekuatan besar yang menggerakkan itu semua.  

Tak hanya di jagat semesta, ayat-ayat Allah juga bersemayam dalam diri manusia. Pertumbuhan manusia dari bayi hingga dewasa, proses seorang bayi merangkak dan berjalan, merupakan bagian dari ayat-ayat yang ada dalam diri manusia. Uban yang mulai tumbuh, langkah kaki yang melemah, tubuh yang membungkuk adalah pesan-pesan yang sunyi, namun tegas: bahwa waktu kepulangan sudah dekat.

Dalam surah al-Rum, Allah menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah, lalu menjadi kuat, dan kembali lemah. Ini adalah siklus kehidupan—ayat eksistensial—yang mengingatkan bahwa segala yang ada adalah fana. Hanya Allah yang kekal.

Kata “Ayat” dalam Al-Qur’an

Kata “ayat” dalam Al-Qur’an, disebutkan sebanyak 382 kali, yang terdiri atas: pertama, bentuk mufrad (tunggal) sebanyak 86 kali ( مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ ), kedua, bentuk tatsniyah (ganda) satu kali ( وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ ), dan ketiga, bentuk jamak sebanyak 292 kali ( وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ).

Para ulama tafsir mengidentifikasi, bahwa istilah “ayat” dalam Al-Qur’an memiliki banyak lapisan makna. Tergantung maksud dan konteksnya. Beberapa di antaranya: pertama, memiliki makna dalil atau bukti rasional. Seperti dalam QS. Fussilat: 39, yang artinya kurang lebih: dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah bahwa engkau melihat bumi itu kering dan tandus, maka apabila kami turunkan hujan di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Ayat tersebut mengandung hubungan sebab akibat yang benar-benar membuka penalaran rasio manusia tentang musim yang terjadi di bumi.

Kedua, mengandung makna ayat-ayat yang tertulis dalam al-Qur’an. Dalam QS. al-Baqarah: 106, misalnya, Allah berfirman: ayat yang Kami nasakh (batalkan) atau kami jadikan (manusia) lupa padanya, pasti akan Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Ayat di sini, berarti seluruh atau sebagian ayat yang tertulis dalam al-Qur’an.

Ketiga, mengandung makna mukjizat para nabi. Dalam QS. al-A’raf: 102, Allah berfirman: kemudian Kami utus Musa setelah mereka dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan) Kami kepada Fir’aun dan pemuka kaumnya. Tanda-tanda (kekuasaan) yang dimaksud tentu merupakan mukjizat yang Allah berikan kepada Musa untuk menghadapi Fir’aun.

Keempat, mengandung arti pelajaran dan hikmah. Misalnya dalam QS. Maryam: 21, Allah berfirman: dia (Jibril) berkata, “Demikianlah!”  Tuhanmu berfirman, “Hal itu mudah bagi-Ku, dan agar kami menjadikannya suatu tanda (kebesaran Allah) bagi manusia sebagai rahmat dari Kami. 

Kelima, memiliki makna hukum syariat. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 242, yang artinya: Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti.  

Keenam, memiliki arti tanda konkret dari peristiwa sejarah atau alam. Hal tersebut, sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam QS. Saba’: 15 berikut: Sungguh pada kaum Saba’ ada suatu tanda (kebesaran dan kekuasaan Allah) di tempat mereka berdiam.

Ketujuh, mengandung makna al-Qur’an sebagai satu kesatuan petunjuk. Allah menjelaskan  dalam QS. al-Jatsiyah: 8 yang berbunyi: … yang mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya, akan tetapi ia tetap sombong seakan tidak mendengarnya.

Dengan demikian, makna “ayat” di dalam al-Quran, begitu luas dari teks hingga realitas, dari kitab hingga semesta, dari wahyu verbal hingga fenomena eksistensial.

Semiotika Ayat

Dalam filsafat modern, ada sebuah disiplin ilmu yang disebut semiotika: ilmu tentang tanda. Dalam semiotika, tanda adalah segala sesuatu yang bisa mewakili makna: kata, gambar, suara, isyarat, bahkan diam. Dalam konteks ini, “ayat” Allah adalah bentuk tanda-tanda tertinggi yang memiliki makna ilahiah.

Ayat adalah simbol dan bahasa Tuhan yang tersembunyi dalam realitas. Maka membaca ayat, bukan hanya membaca teks. Tapi juga membaca hidup. Ketika seseorang mengalami musibah, kehilangan, atau bahkan kebahagiaan yang tak terduga, semuanya bisa menjadi “ayat” yang perlu ditafsirkan.

Namun tidak semua orang mampu membaca tanda-tanda ini. Hanya mereka yang mau berhenti sejenak, merenung, dan bertanya yang akan diberi “kunci” untuk menafsirkan ayat-Nya.

Tubuh manusia sendiri adalah kitab yang tak kalah agungnya. Ia adalah makhluk yang dikaruniai akal, rasa, kehendak, memori, dan kesadaran. Dalam diri manusia, terdapat tanda-tanda yang bisa membawanya pada perjumpaan dengan Allah, jika ia bersedia menggalinya.

Refleksi diri, introspeksi, dan perenungan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan ruhani. Ia adalah jalan untuk memahami bahwa hidup ini penuh makna, dan bahwa makna itu hanya dapat ditemukan ketika kita membaca ayat-ayat-Nya dalam diri.

Selain makhluk yang berpikir, manusia juga merupakan makhluk pembaca. Namun, apakah yang ia baca? Apakah hanya layar-layar duniawi, yang penuh dengan tontonan yang jauh dari tuntunan? Ataukah ia juga membaca langit, bumi, dan batinnya sendiri?

Tanda tanya dan tanda seru adalah pertanyaan sekaligus pernyataan. Di antara tanda tanya pencarian dan tanda seru keterkejutan, ayat-ayat Allah hadir sebagai jawaban. Ia hadir sebagai panggilan untuk pulang, sebagai cahaya bagi yang tersesat, dan sebagai makna bagi yang merasa hampa.

Maka jadilah pembaca. Bacalah ayat-Nya di antara huruf dan di antara peristiwa. Bacalah Dia di antara langit dan jiwamu. Karena sesungguhnya, di antara kita dan Tuhan, hanya ada satu hal: ayat yang belum terbaca.