
Dalam fiqih, dua qullah dikenal sebagai ukuran minimal air yang tidak mudah ternajisi, yaitu sekitar 270 liter. Namun, jika dikaji secara simbolik dan spiritual, dua qullah dapat dipahami sebagai batas kematangan jiwa—ketika seseorang, khususnya santri, telah mencapai kestabilan batin dan kekuatan mental yang tidak mudah terpengaruh oleh najis-najis moral dan najis sosial zaman.
Refleksi ini berangkat dari pemahaman Ilmu Nafs dalam Islam—sebuah cabang pengetahuan tentang struktur, dinamika, dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Dalam dunia pesantren, proses pembentukan jiwa santri sangat erat dengan disiplin, adab, serta spiritualitas. Maka, menjadi santri “dua qullah” berarti menjadi pribadi yang kokoh, matang, dan bijak dalam komunikasi serta pergaulan, baik secara vertikal dengan Allah, maupun horizontal dengan sesama.
Simbol Dua Qullah: Jiwa yang Tangguh dan Tidak Mudah Ternajisi
Dalam hadits Nabi SAW:
“Jika air mencapai dua qullah, maka tidak akan mengandung najis.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Secara simbolik, dua qullah menggambarkan kapasitas ruhani yang besar dan stabil. Santri yang mencapai “dua qullah” adalah ia yang telah menjalani proses pemurnian jiwa (tazkiyah), dan tidak mudah ternajisi oleh hawa nafsu, fitnah dunia, atau provokasi sosial.
Ilmu Nafs membagi jiwa manusia ke dalam beberapa tingkatan, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:
1. Nafs al-Ammarah (jiwa yang memerintah kepada keburukan):
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan…”
(QS. Yusuf: 53)
2. Nafs al-Lawwamah (jiwa yang mencela diri):
“Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela (diri sendiri).”
(QS. Al-Qiyamah: 2)
3. Nafs al-Mutma’innah (jiwa yang tenang):
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.”
(QS. Al-Fajr: 27-28)
Santri yang istiqamah menempuh jalan tazkiyah, menahan amarah, menjaga lisan, dan mendidik hawa nafsu akan bertahap naik dari ammarah menuju mutma’innah. Di titik inilah santri bisa dikatakan mencapai maqam “dua qullah” secara spiritual.
Pesantren bukan hanya tempat mencari ilmu, tetapi juga ruang uji bagi jiwa. Santri berhadapan dengan keterbatasan fasilitas, gesekan antarindividu, ketaatan mutlak kepada kiai, dan rutinitas padat. Namun semua itu merupakan madrasah nafs.
Dalam teori psikologi transpersonal (yakni psikologi yang berorientasi pada spiritualitas), tantangan batin adalah bagian penting dari proses individu mencapai “kebijaksanaan ruhani”. Ini sejalan dengan konsep mujahadatun nafs dalam Islam.
Kiai dan ustadz bukan hanya pengajar, melainkan juga pembimbing ruhani. Santri belajar bagaimana sabar dalam kritik, tawadhu dalam kelebihan, dan ikhlas dalam beramal—ini semua fondasi utama komunikasi islami yang sehat dan bersih dari ego.
Komunikasi dalam Islam bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi mencerminkan keadaan hati. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).”
(QS. Al-Isra’: 53)
Santri yang matang jiwanya akan berbicara dengan hikmah (qaulan baligha), lemah lembut (qaulan layyina), dan tidak mudah reaktif. Ia mampu diam dengan bijak ketika kata-kata tak lagi menenangkan. Inilah buah dari proses menjadi “dua qullah”—saat jiwa dan lisan telah tersambung dalam hikmah dan kasih.
Penutup Menjadi Santri Dua Qullah di Zaman Bising
Zaman ini bising: suara-suara media, debat tak beradab, dan opini tanpa ilmu. Maka pesantren, sebagai kawah candradimuka ruhani, harus terus mencetak santri dua qullah—pribadi dengan jiwa besar, hati tenang, dan lisan yang menyejukkan.
Menjadi santri bukan hanya menghafal kitab, tapi juga menghafal diri; bukan hanya belajar “muhadhoroh”, tapi juga belajar diam, sabar, dan berbicara dengan adab. Sebagaimana air dua qullah yang tidak mudah terkena najis, semoga kita menjadi jiwa-jiwa yang kuat di tengah arus, namun tetap jernih dan menenangkan.
