Seperti hari-hari sebelumnya, loper koran pondok pesantren (ponpes) tidak pernah absen melemparkan koran Radar Madura ke teras kantor Idarah ‘Ammah TMI (Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah), tempat saya ngantor setiap pagi. Headline besar mengenai berita internasional maupun politik kerap kali menarik perhatian saya menjadi salah satu topik berita yang saya minati dalam beberapa bulan terakhir.

Menurut kacamata saya, koran punya status yang unik. Berbeda dengan handphone maupun televisi yang hanya boleh digunakan oleh asatidz. Koran merupakan salah satu media yang merakyat di lingkungan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Para santri boleh membaca, bahkan antusias mengerumuni papan informasi yang telah ditempeli koran. Khawatir tertinggal informasi terbaru. Sebab, jelang magrib koran tersebut akan diambil oleh pengurus.

Sebagai guru abdi dalam, sejak menjabat sebagai staf Sekretariat Umum di TMI Al-Amien Prenduan, saya merasa memperoleh privilege. Yakni, membaca koran secara fleksibel. Koran-koran tersebut tiba setiap hari dan diletakkan di rak koran persis di samping pintu kaca kantor. Terkadang saya membacanya selepas mengajar atau malam hari setelah beristirahat dari kuliah siang.

Ketika masih duduk di bangku SD, ayah saya sering mengajak ke perpustakaan SMP tempat beliau bekerja, membiarkan saya terhipnotis di antara rak-rak kayu dengan aroma khas bukunya. Saya sangat bersyukur kebiasaan tersebut turut terbawa ke ponpes. Hampir setiap sore saya meluangkan waktu untuk membaca buku di Perpustakaan ISMI, salah satu perpustakaan di TMI Al-Amien. Paginya, saya ikut nimbrung bersama kawan-kawan sekelas untuk membaca koran, mencari rubrik opini maupun puisi di halaman terakhir.

Budaya literasi turut membentuk diri saya. Menginjak kelas III TMI (setara III MTs), saya memutuskan untuk bergabung menjadi redaktur di salah satu buletin bernama Rabbani. Beberapa tahun kemudian, saya ikut serta menjadi delegasi cipta puisi dalam kegiatan TMI Menulis. Menginjak kelas V TMI (Setara II MA), saya diangkat menjadi redaktur majalah Qawiyyul Amien. Sangat bahagia ketika mendapati puisi karya saya dimuat di majalah tersebut. Pada tahun yang sama, saya juga diamanahi menjadi sekretaris DPS ISMI –semacam divisi legislatif murid, yang di luar pesantren biasanya merupakan bagian dari OSIS.

Pada awalnya, saya berpikir bahwa tugas sekretaris DPS ISMI hanya sebatas menjadi notulen rapat atau sekadar tata warkat saja. Namun, pada pekan pertama, saya menyadari tugas yang menantang, yakni membuat koran. Kami menyebutnya Koran Radar Legislatif, yang berisikan konklusi seputar aspirasi, usulan, maupun kritik konstruktif para santri TMI kepada para pengurus. Aspirasi santri tersebut kami serap pada malam hari setiap pekan dari tiap asrama secara bergiliran melalui program bernama Safari Rayon. Santri dapat membacanya esok pagi setelah Safari Rayon tuntas. Dengan kata lain, saya harus menyelesaikan koran Radar Legislatif malam itu juga. Mulai dari mencatat poin-poin penting diskusi, merangkai kata demi kata menjadi berita, memastikan tata letak yang rapi, hingga menempel koran untuk dibaca. Tugas tersebut benar-benar menguras tenaga.

Sejujurnya, saya berusaha meniru konsep koran Radar Legislatif dari koran Radar Madura. Mulai dari tata letak, ukuran huruf, hingga format kolom-kolomnya. Koran Radar Madura sedikit banyak menginspirasi saya. Barangkali yang membedakan adalah koran Radar Legislatif dibuat dengan belasan kertas F4 yang dilem menjadi koran. Pengalaman tersebut begitu membekas bagi saya. Saya dituntut harus bisa menyajikan berita dengan baik dan benar. Sehingga, layak dibaca oleh para santri.

TMI Al-Amien Prenduan –sebagai lembaga TMI tertua di Indonesia yang didirikan pada 1971– dengan segala sistemnya menjadikan literasi sebagai medium santri untuk menyuarakan pengetahuan, kreativitas, dan gagasannya. Mengutip dawuh Pengasuh TMI Al-Amien KH Dr Ghozi Mubarok, M.A., ”TMI itu rahim untuk melahirkan penulis-penulis hebat. Jangan sampai di antara kalian tidak ada yang menjadi penulis, harus ada.”

Setelah saya telusuri, terdapat banyak alumni yang turut berkontribusi di bidang literasi, misalnya Ustad Jamal D. Rahman, alumnus tahun 1986 yang kini menjadi pimpinan redaksi Majalah Horison; Kiai Samson Rahman, alumnus tahun 1987 dan penerjemah buku fenomenal La Tahzan; Ustadz Ahmadi Thaha, alumni tahun 1980 yang merupakan kolumnis, mantan wartawan Tempo dan Republika, penulis, dan penerjemah buku-buku Islam; dan masih banyak lagi. Saya merasa bahagia ketika melihat tulisan santri, kawan, maupun guru-guru senior saya terpampang di koran, setidaknya menjadi motivasi pribadi untuk turut serta membudayakan literasi di pesantren. Barangkali tulisan sederhana ini adalah salah satu langkahnya.

Note:

Tulisan ini telah dimuat oleh Radar Madura.id pada tanggal 08 Maret 2025.