
Syukur merupakan salah satu sikap paling mulia dalam kehidupan seorang muslim. Dalam kata sederhana, syukur adalah ungkapan dari rasa terima kasih atas kebaikan dan nikmat yang ia terima. Namun, syukur dalam agama Islam bukan sekadar diucapkannya terima kasih, melainkan harus pula dirasakan dalam hati yang kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan.
Salah satu wujud dari syukur yang paling dikenal adalah syukur dengan lisan, mengucapkan “alhamdulillah, jazakumullahu khairan”. Ucapan ini merupakan bentuk kesadaran bahwa segala kebaikan yang kita terima berasal dari Allah SWT. dan orang yang menyampaikannya telah menunjukkan penghargaan yang baik.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاء».
Dari Usamah bin Zaid, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda; “Barangsiapa yang diperlakukan baik, kemudian ia membalas pelakunya dengan berucap: jazakallah khairan. Sungguh, ia telah memberi sanjungan yang besar/lebih dari cukup.”
Namun, wujud syukur tidak berhenti pada ucapan. Syukur yang sebenarnya ialah ketika seseorang menyadari dengan sepenuh hati bahwa segala apa yang ia terima merupakan nikmat dari Allah SWT. Dengan begitu, hatinya akan dipenuhi rasa ridha dan tidak mudah mengeluh. Kesadaran ini kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan yang nyata, yakni memanfaatkan nikmat tersebut untuk hal-hal yang diridhai-Nya. Syukur semacam ini mencerminkan keimanan seseorang yang sejati, yaitu ketika ia mengamalkan nikmat yang diterima sebagai bentuk ibadah.
Salah satu kisah agung kepribadian Rasulullah SAW yang penuh syukur, adalah kenyataan bahwa meskipun beliau telah dijamin ampunan atas seluruh dosanya yang lalu maupun yang akan datang, beliau tetap dengan giat dan tekun dalam beribadah, hingga kakinya bengkak.
Sebagaimana diceritakan oleh Aisyah Radiyallahu ‘anhu;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا صَلَّى قَامَ حَتَّى تَفَطَّرَ رِجْلاَهُ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَصْنَعُ هَذَا وَقَدْ غُفِرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ « يَا عَائِشَةُ أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا ». رواه مسلم.
Aisyah R.A., berkata; Rasulullah SAW ketika melaksanakan shalat maka beliau berdiri hingga kedua kakinya bengkak. Aisyah R.A., bertanya; “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perbuat, sedangkan dosamu yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni.” Lalu beliau menjawab; “Wahai Aisyah, bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?” (H.R. Muslim).
Ibadah beliau bukan semata bentuk kewajiban sebagai hamba Allah, tetapi bentuk syukur mendalam atas segala nikmat dan karunia-Nya. Kisah ini hanya akan menjadi kisah biasa jika kita hanya selesai dengan membacanya saja. Namun, itu akan menjadi luar biasa ketika kita bisa mengambil hikmah, serta menjadikannya sebagai prinsip hidup.
Mari renungkan, berapa banyak nikmat yang kita terima hingga hari ini? terlalu banyak hingga sulit dihitung, mulai dari nikmat fisik (badan sehat, panca indra terjaga), nikmat materi (fasilitas yang serba ada) dan nikmat yang lebih besar lagi; yaitu iman dan ilmu.
Rasa syukur sejati tidak cukup hanya diucapkan lewat kata “alhamdulillah”, namun diwujudkan dalam tindakan nyata; santri bersungguh-sungguh menuntut ilmu, guru yang ikhlas mendidik muridnya. Karena sejatinya, menjalankan peran sebagai santri atau guru adalah amanah yang mulia, dan bersyukur atas amanah itu berarti menjaganya dengan cara bersungguh-sungguh, bukan dijalani dengan acuh tak acuh. Sebabnya, kita menyadari bahwa bisa belajar dan mengajar adalah nikmat yang tak semua orang bisa dapatkan.
Betapa bahagianya para almarhumin, para guru dan kiai jika beliau menyaksikan santri dan gurunya hari ini tumbuh menjadi pribadi yang taat, tawadhu, cerdas dan ikhlas. Terlihat guru dan santrinya duduk melingkar di serambi masjid, di gazebo kecil, di mushalla dan di Baitul Hikmah. Mereka berdiskusi tentang ilmu, akhlak dan masa depan. Di situlah syukur hidup dalam bentuk kecintaan terhadap ilmu. Namun sebaliknya, betapa kecewanya mereka jika yang terlihat adalah kemalasan, ketitdakpedulian dan hilangnya semangat menuntut ilmu serta menjalankan amanah, padahal nikmat materi yang kita terima saat ini sudah sangat memadai…na’udzubillah.
Allah SWT. mengingatkan kita dengan sebuah pertanyaan berulang-ulang dalam QS. Ar-Rahman:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustai?”
Pertanyaan ini adalah peringatan sekaligus seruan agar kita semua merenung. Setiap nikmat yang kita terima (kesehatan, ilmu, waktu, bahkan udara yang kita hirup) merupakan sebuah anugerah. Maka, apakah layak jika kita membalasnya dengan lalai, malas dan kufur nikmat?
Semoga kita semua menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang Dia berikan. Karena Allah SWT. berjanji: “Jika kalian bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu” (Q.S. Ibrahim: 7). Maka, marilah kita jaga hati dan amal agar tidak menjadi hamba yang kufur nikmat, namun menjadi hamba yang senantiasa bersyukur dan taat kepada-Nya.