Menghambakan diri kepada Allah SWT tidak hanya bagaimana melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lebih dari itu, jika seorang hamba benar-benar ingin merasakan nikmatnya menghambakan diri baik dengan melaksanakan perintah atau menjauhi larangan, maka beradablah dalam setiap amalnya. Mungkin ada yang berkata, bukankah dengan shalat saja sudah sangat baik, lalu harus bagaimana lagi?, begitu juga dengan melaksanakan kewajiban lainnya. Bukankah itu semua sudah cukup baik?.

Sekarang mari tanyakan kepada diri sendiri, nikmat apa yang dirasakan saat beribadah dan seberapa besar dampak amal ibadah dalam perilaku sehari-hari.

Percayalah, jika lebih beradab dengan Allah SWT, maka hal yang luar biasa akan terasa. Contoh mudahnya, bangun tidur. Seorang hamba yang beradab akan berusaha keras bangun sebelum fajar terbit. Saat terbangun dari tidur pun, lisan dan hatinya pertama kali menyebut nama Allah SWT atau Dzikrullahi. Ia memuji Allah SWT karena telah menghidupkannya kembali dari tidurnya, mengakui bahwa seluruh hidup matinya bahkan semua di alam semesta ini adalah milik-Nya.

Kemudian ia pun berdoa kepada Allah SWT agar mendapatkan kebaikan dan dijauhkan dari keburukan. Setelah itu baru beranjak dari tempat tidur, lalu memasuki kamar mandi dengan kaki kirinya keluar dengan kaki kanannya, berdoa saat keluar dan masuk kamar mandi dan juga tidak berlama-lama di kamar mandi melainkan yang wajib ia buat saja. Begitulah terus ia menjaga adab bersama Allah SWT. Seperti inilah seorang muslim beradab dalam setiap tindakannya mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali.

Jika hal kecil yang tak sebesar wudhu’, shalat dan puasa memiliki aturan bagaimana beradab. Tentu yang lebih besar seperti wudhu’, shalat dan puasa pasti memiliki tata cara bagaimana beradab dalam melaksanakannya. Beradab dalam melaksanakan perintahnya inilah yang tidak banyak diperhatikan.

Mulai dari wudhu’, memulai dengan siwak karena ia membersihkan mulut, diridhoi oleh Allah dan dibenci oleh syetan. Menghadap kiblat saat berwudhu’, membaca basmalah dan berlindung dari setan dan segala bentuk gangguannya. Membasuh kedua tangan tiga kali sebelum memasukkannya kedalam bak air seraya berdoa semoga dengan tangan kanan mendapatkan keberkahan dan dari tangan kiri terlindung dari kebinasaan.

Lalu mulai mengambil air dengan kedua tangan untuk berkumur-kumur seraya berdoa semoga Allah SWT senantiasa memudahkan lisan dan mulut kita untuk membaca Al-Qur’an, berdzikir dan ditetapkan dengan Qaulus Stabit di dunia hingga di akhirat kelak. Setelah itu mengambil air untuk membersihkan hidung, saat air di dalam hidung berdoa semoga Allah SWT meridhoi dan diperkenankan untuk mencium bau sorga. Saat air dikeluarkan dari hidung, berlindung dari bau neraka yang busuk menyengat.

Dan begitulah seterusnya, setiap gerakan dalam wudhu’ dan shalat, baik sunnah dan rukun memiliki adab untuk dijaga. Adab yang menjadikan hati lebih tenang, nyaman dan menikmati setiap ucapan atau gerakan dalam ibadah yang dilakukan.

Tidak hanya dalam ritual ibadah, tempat dan waktu ibadahpun Islam mengajarkan adabnya. Karena sejatinya ketika sendiri, berdua atau lebih tetap senantiasa bersama Allah SWT dan harus selalu menjaga adab bersama Allah SWT. Maka adab di masjid, tempat belajar, tempat makan dan dimana saja memiliki adabnya bersama Allah SWT. Begitu juga dengan waktu, adab sebelum masuk waktu shalat, adab antara terbitnya fajar dan tergelincirnya matahari, adab di hari Jum’at dan lainnya Islam juga telah mengajarkan.

Beradab dengan Allah SWT, akan membimbing seorang hamba untuk lebih berhati-hati dalam menjalani kesehariannya, khususnya dalam beribadah. Hal ini pun nantinya yang akan menghantarkan hati kepada ketenangan dalam segala hal. Bagaimana tidak, agama ini tak lain untuk menyempurnakan akhlak, baik akhlak saat berinteraksi dengan diri sendiri ataupun sosial, perkataan atau perbuatan, pendengaran atau penglihatan bahkan saat memenuhi keperluan perut dan kebutuhan batin dengan pasangan semuanya memiliki adabnya, mulai dari adab sepasang mata, adab kedua telinga, adab lisan, adab perut, adab menjaga kehormatan, adab tangan, adab kaki, dan lain sebagainya.

Hal itu, sebagaimana Imam Ghazali Hujjatul Islam menyebutkan dalam kitabnya “Majmū‘atu Rasā’il al-Imām al-Ghazālī fī al-Fiqh, wa al-‘Aqīdah, wa al-Uṣūl, wa al-Taṣawwuf” bahwa dalam menghambakan diri kepada Allah SWT tidak boleh hanya sekadarnya atau bahkan semaunya melainkan wajib menjaga adab dalam setiap tindakan.

Tak heran dalam kehidupan ini, banyak menjumpai amal ibadah tanpa adab. Hasilnya sudah pasti tak mampu menghantarkan menuju kehidupan yang penuh dengan ketenangan, karena amal ibadah belum mampu menuntun untuk mengabdi kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya pengabdian.

Contoh lain sebagaimana diingatkan oleh Imam Ad-Dardiri dalam kitabnya Kharidatul Bahiyyah, bahwa kalimat yang terbaik sekalipun di alam semesta ini, yakni kalimat Islam “asyhadu an la ilaha illa Allahu wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah“, yang lebih dikenal dengan syahadatut tauhid, saat berdzikir dengannya haruslah dengan adab.  Karena hanya dengan adab saat berdzikir, akan menghantarkan seseorang itu ke derajat tertinggi “Faaktsiran min dzikriha bi al-adabi # Tarqa bi hadza a’la ar-rutubi“.

Syekh Yusri Rusdi menjelaskan matan di atas dalam kitabnya Al-Futuhatul Al-Yusriyah fi Syarhi Aqaidi Al-Ummati Al-Muhammadiyati menjelaskan, adab yang dimaksud dalam berdzikir mengingat Allah SWT adalah senantiasa merasakan bersama Allah SWT baik dalam sendiri ataupun keramaian, melazimi syariat-Nya atas dasar keikhlasan dan penuh harap diterima segala amalan. Demikianlah beradab dengan sang Khaliq menjadikan amal tidak hanya shahih atau benar tapi juga maqbul atau diterima oleh Allah SWT.

Dari itu, beradablah dengan Allah SWT dalam setiap keadaan, niscaya dan pasti akan beradab dengan sesama, karena beradab dengan Allah SWT artinya beradab dengan seluruh anggota tubuh, waktu, tempat dan perbuatan. Begitu juga jika ingin sampai pada kedudukan Ikhlas, beradablah dengan Allah SWT. Beradab dengan Allah SWT berarti beradab dalam keadaan sendiri ataupun dalam keramaian, dipuji atau dihina, bahagia atau sedih, dipandang atau tak dipandang, kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun.

Akhirnya, untuk mampu beradab dengan Allah SWT dalam setiap keadaan diperlukan banyak ilmu. Berguru dan belajar menjadi sebuah kewajiban. Tapi ingat pesan Imam Ghazali maa lam ta’mal lam tajid al-ajra yang tidak engkau perbuat tidak akan engkau dapatkan balasan kebaikannya. Berguru, belajar dan terus beramal akan membuka pintu hati untuk beradab dengan sang Khaliq.