Ujian Pertengahan Tahun di TMI Al-Amien Prenduan berlangsung selama 15 hari, terdiri dari 5 hari ujian lisan dan 10 hari ujian tulis. Dengan masa ujian sepanjang ini, bukan hanya faktor intelektual yang diuji, namun mental dan fisik juga benar-benar diuji.
Di antara motto ujian kita adalah “Bi al-imtiḥāni yukromu al-mar’u au yuhānu” yang artinya dengan ujian manusia akan dimulyakan atau dihinakan. Bagi mereka yang menyambut datangnya ujian dengan i’dād dan isti’dād, mereka akan menganggapnya sebagai dinamika masa-masa indah dalam menempuh Pendidikan, yang dengannya derajat mereka ditingkatkan dan memperoleh kemulyaan.
Sebaliknya, bagi mereka yang menghadapinya dengan persiapan yang kurang atau bahkan tanpa persiapan, maka ujian akan menjadi perkara yang berat, tidak ada yang mereka rasakan selain kesusahan, bahkan kemungkinan terburuknya adalah tidak memperoleh apapun selain kehinaan karena kegagalan.
Akhirnya Ujian Pertengahan Tahun untuk tahun ajaran ini selesai pada hari Kamis lalu (12/09), ditandai dengan pelaksanaan sujud syukur oleh semua santri di Masjid Jami’ Al-Amien Prenduan. Namun, dengan selesainya pelaksanaan Ujian Pertengahan Tahun, justru kita akan menghadapi ujian yang lebih berat. Ujian itu bernama liburan.
KH. Moh. Zainullah Rois, Lc. pernah berpesan “Liburan adalah ujian yang berat, karena yang menilai adalah orang tua, keluarga, dan juga masyarakat.” Bahkan beliau menambahkan bahwa ujian berupa hari libur ini adalah cerminan dari sukses atau tidaknya pondok dalam mendidik santrinya.[1] Hal tersebut beliau sampaikan dalam momen Kuliah Umum Kemasyarakatan menjelang liburan, kegiatan yang kita laksanakan setelah pelaksanan ujian sebagai pembekalan untuk santri dalam menjalani liburan.
Pesan dari Allāhu yarḥam Kiai Zain menggambarkan kedalaman makna liburan dalam kehidupan seorang santri. Liburan bukan hanya soal menikmati waktu luang, tetapi lebih dari itu, merupakan momen di mana prinsip-prinsip kemandirian, akhlak, dan pengamalan ilmu yang telah dipelajari selama di Pondok diuji di tengah keluarga dan masyarakat.
Seorang santri yang sehari-hari hidup dalam lingkungan pesantren yang penuh aturan, bimbingan, dan pengawasan, saat kembali ke rumah di masa liburan dihadapkan pada ujian besar. Ini adalah ujian di mana disiplin, ibadah, dan kebiasaan baik yang sudah terbentuk di pesantren diuji ketika tidak ada lagi kiai atau guru yang langsung mengawasi. Dalam situasi ini, yang menilai adalah orang tua, keluarga, dan masyarakat. Mereka akan memperhatikan perubahan akhlak, perilaku, dan cara santri membawa diri di luar lingkungan Pondok.
Ujian Yang Dihadapi Santri selama Liburan
Liburan terkadang dianggap sebagai momen untuk bersantai dan melepaskan diri dari rutinitas sehari-hari. Namun, bagi seorang santri, liburan bukan hanya waktu untuk beristirahat, melainkan juga ujian. Ujian ini bukan dalam bentuk ujian tulis atau lisan yang biasa, melainkan ujian kedisiplinan, keimanan, dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan Allah.
Keseharian kita di Pondok biasanya terikat oleh jadwal dan disiplin yang mengatur aktivitas dan rutinitas. Saat liburan tiba, kebebasan yang datang bisa menjadi tantangan tersendiri. Ketika jadwal dan disiplin tidak lagi mengekang, bagaimana kita menggunakan waktu luang tersebut menjadi cerminan sejauh mana kita menjaga kedisiplinan?
Liburan adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa kita tidak hanya disiplin ketika berada dalam lingkungan yang teratur, tetapi juga saat tidak ada yang mengawasi. Apakah kita tetap menjaga ibadah dengan baik? Apakah kita memanfaatkan waktu untuk hal-hal bermanfaat? Atau justru kita lalai dalam kemalasan dan hiburan yang berlebihan?
Selain itu, liburan juga menjadi ujian bagi keimanan kita. Apakah kita tetap menjaga hubungan dengan Allah dengan intensitas yang sama sebagaimana saat di Pondok? Momen liburan adalah waktu untuk menguji komitmen kita dalam menjalankan perintah-Nya. Apakah kita-kita tetap konsisten dalam menjalankan ibadah saat jauh dari guru atau pengurus yang biasa mengingatkan kita atau menegur saat kita lalai?
Liburan bisa menjadi ladang pahala jika kita mengisinya dengan kebaikan, seperti memperbanyak ibadah, belajar hal baru yang bermanfaat yang tidak bisa dilakukan saat berada di Pondok, atau dengan berbakti kedua orang tua dan membantu keluarga.
Tentang liburan sebagai momen untuk berbakti dan mengabdi kepada orang tua, KH. Dr. Ghozi Mubarok, MA. pernah menyampaikan “Liburan itu bukan waktunya bermanja-manja kepada orang tua. Karena kalian sehari-hari hidup di pondok, maka begitu kalian pulang ke rumah masing-masing, gunakan itu sebagai kesempatan untuk berbakti dan mengabdi kepada orang tua kalian.”
Ujian Berupa Farāgh (Waktu Luang)
Dalam kondisi liburan, santri sering dihadapkan pada fenomena farāgh (waktu luang). Nikmat sehat dan waktu luang, dua nikmat yang kadang tidak disadari dan seringkali dilalaikan oleh manusia. Seperti yang disebutkan dalam hadits, Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhāri no. 6412, dari Ibnu ‘Abbās)
Kata farāgh dalam bahasa Arab memiliki arti “kekosongan” atau “waktu luang.” Dalam konteks Al-Qur’an, kata ini sering dikaitkan dengan waktu kosong atau kesempatan setelah seseorang selesai dari tugas tertentu.
Salah satu ayat yang memuat kata ini adalah dalam Surah al-Insyirāḥ ayat 7-8, Allah berfirman:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Apabila engkau telah selesai (dengan suatu kebajikan), teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmu berharaplah!”
Dalam ayat ini, kata farāgh digunakan dalam arti “selesai” atau “berakhirnya suatu kebajikan,” tetapi secara luas dapat dimaknai pula sebagai “waktu luang.” Ayat ini mengajarkan bahwa setelah kita menyelesaikan suatu kebajikan, hendaknya kita tidak menyia-nyiakan waktu luang yang ada. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk segera beralih kepada kebajikan atau ibadah lainnya, serta selalu mengarahkan hati kepada Allah.
Uniknya, liburan yang dalam Bahasa Inggris bisa disebut “vacation” yang diartikan sebagai “Period of time when someone takes a break from their regular work or responsibilities to rest, relax, or engage in leisure activities.” (Periode waktu ketika seseorang mengambil istirahat dari pekerjaan atau tanggung jawab rutin untuk beristirahat, bersantai, atau melakukan kegiatan rekreasi), ternyata kata tersebut berasal Bahasa Latin “vacāre” yang arti harfiahnya adalah “kosong, tidak terisi, atau belum diisi.”
Bahaya farāgh adalah ketika kita mengisi waktu luang tersebut—yakni masa liburan—dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, bahkan mungkin menyimpang dari nilai-nilai yang diajarkan di Pondok. Ketika waktu luang tidak diisi dengan kegiatan positif seperti membantu orang tua, belajar mandiri, atau berinteraksi baik dengan masyarakat, ia bisa menjadi pintu masuk bagi kemalasan, lalai dalam ibadah, bahkan godaan untuk melakukan hal-hal negatif. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa waktu liburan adalah ujian besar bagi kita untuk mengelola waktu dengan baik.
Semoga kita termasuk orang-orang yang sukses menjalani ujian berupa liburan ini. Semoga kita tidak lalai dalam menjalaninya atau terlena sehingga lupa akan tujuan sebenarnya. Anggaplah liburan yang cukup singkat ini sebagai langkah mundur yang kita ambil saat akan melakukan tendangan penalti, bahwa ia hanyalah jeda sementara—mundur untuk merenung, mengumpulkan energi, dan mendapatkan perspektif—untuk bergerak maju dengan ketepatan dan kekuatan yang lebih besar. Maknanya, setelah liburan berakhir kita akan kembali ke Pondok tepat waktu dengan kāffah, dengan persiapan yang lebih matang dan menjadi versi yang lebih baik dari diri kita sebelumnya.
[1] Disampaikan dalam Pembukaan Kuliah Umum Kemasyarakatan menjelang Liburan Pertengan tahun. Rabu, 06 R. Awal 1440 H. / 14 November 2018 M..