Disclaimer

Sebagai awal, saya merasa perlu menyampaikan disclaimer. Bahwa tulisan ini bukanlah tulisan reflektif-afirmatif seperti yang dibuat oleh kebanyakan alumni dengan ciri-ciri seperti ada kegiatan pondok yang direfleksikan, kemudian kegiatan tersebut mendapatkan afirmasi valid melalui cerita-cerita suksesnya. Tulisan ini lebih kepada reflektif-kritis yang mengarah pada upaya merefleksikan suatu hal yang melekat pada diri saya tentang pondok kemudian saya mengkonstruk suatu point of view yang mungkin dapat menjadi pelajaran untuk Al-Amien.

Megah

Dua belas tahun berlalu sejak saya lulus dari TMI Al-Amien Prenduan. Selama rentang tahun itu, saya hanya sekali dua kali mengunjungi maqbaroh atau silaturrahim ke Lora Ghozi. Malu rasanya unjuk muka. Sebab, saya hanyalah alumni biasa dengan perjalanan karir yang kurang berpotensi untuk dipamerkan. Biasanya teman-teman alumni yang berprestasi, ketika berkunjung ke pondok, diundang untuk berbicara di muka santri, memberikan motivasi. Saya tidak termasuk kategori alumni yang seperti itu.

Kondisi demikian membuat saya hanya bisa melihat Al-Amien dari kejauhan. Tulisan ini pun dibuat di ketinggian kurang lebih 30.000 kaki dari permukaan. Saya sedang perjalanan pulang dari Jakarta ke Surabaya. Bisa dibilang, posisi saya dengan Al-Amien, sekarang, terpisah oleh dua standar sekaligus, yaitu jarak dan waktu. Suatu posisi yang tidak ideal dan akan rentan bias jika saya menyampaikan tulisan refleksi-kritis sebagaimana saya ungkapkan dalam disclaimer.

Al-Amien tetap megah di benak saya meski sudah ditarik oleh dua sumbu x (jarak) dan y (waktu) tadi. Al-Amien tetap menunjukkan grafik konsistensi pertumbuhan yang linier jika diletakkan dalam satu set visualisasi kuandran. Namun, kemegahan semacam ini bukan berarti nihil dengan kelemahan-kelamahan. Kemegahan sebisa mungkin tidak menjadi penghalang untuk mengintip celah-celah perbaikan. Kemegahan, sekali lagi, jangan sampai menjadi tool yang berpotensi untuk menegasikan keberadaan titik outlier (suatu istilah dalam penelitian kuantitatif yang mengarah pada nilai yang sangat berbeda dari nilai-nilai lain dalam suatu dataset) sehingga kita tabu dengan sudut pandang konstruktif yang berbeda.

Apa sebenarnya yang megah dari Al-Amien di benak saya? Banyak. Saya sudah mengantongi list-nya. Pada tulisan ini saya hanya akan mengungkapkan salah satunya saja.

Refleksi

Satu hal yang tetap megah dari Al-Amien di benak saya, sampai saat ini, adalah adagium yang dibawakan oleh para pengurus dan kiai secara kompak ketika para santri akan menghadapi ujian. Adagium itu berbunyi, “Ujian untuk Belajar, Bukan Belajar untuk Ujian.” Ketika menjadi santri, saya tidak menyadari bahwa adagium ini begitu mewah. Belakangan ini saya baru menyadarinya, bahwa “Ujian untuk Belajar” merupakan intisari dari suatu konsep penilaian masyhur yang biasa dikenal dengan AfL (Assessment for Learning).

Dua atau tiga tahun belakangan, saya cukup intens membantu di salah satu kementerian terkait penilaian (assessment) ini, terutama penilaian untuk siswa/siswi madrasah di Indonesia. Pekerjaan saya adalah mengolah data berdasarkan instrumen penilaian yang sudah disiapkan oleh kementrian untuk penilaian siswa/siswa madrasah, menganalisisnya berdasarkan beberapa atribut yang relevan, hingga pada tahap visualisasinya—baik dalam bentuk technical report atau public report—sebagai pertanggungjawaban kementerian terhadap pemberi sponsor yaitu World Bank.

Akibat dari pekerjaan ini adalah saya cukup intens bertemu sekaliber orang-orang hebat yang terafiliasi dalam grup tim pakar penilaian dan para ahli psikometri. Sebagai penjelasan, psikometri ini merupakan cabang ilmu psikologi yang mendalami seluk beluk pengukuran dan analisis berbagai perbedaan antar individu atau antar kelompok. Syukur alhamdulillah, lingkungan semacam ini mengantarkan saya pada pemahaman bahwa penilaian pembelajaran itu ternyata tidaklah sesederhana itu.

Lebih lanjut, penilaian pembelajaran dapat dirangkum secara sederhana menjadi tiga konsep yang merentang dalam sejarah perkembangannya, yaitu AoL (Assessment of Learning), AfL (Assessment for Learning), dan AaL (Assessment as Learning). Konsep penilaian pembelajaran yang pertama kali muncul adalah AoL. Sedangkan yang muncul belakangan dan nge-trand adalah konsep AaL. Pertanyaannya, apakah konsep yang terakhir muncul lebih baik daripada konsep sebelumnya? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Kembali pada statement saya sebelumnya, penilaian pembelajaran itu tidaklah sesederhana itu.

Ketiga konsep tadi memiliki orientasi yang identik. AoL, misalnya, berorientasi pada hasil akhir berupa nilai atau skor yang diberikan kepada siswa berdasarkan kinerja mereka dalam ujian, tugas akhir, atau tes standar. AfL berorientasi pada umpan balik konstruktif, perencanaan pembelajaran yang meningkat, atau peningkatan pemahaman siswa. Sedangkan AaL lebih kepada refleksi diri siswa, peningkatan metakognisi, rencana tindakan pribadi, dan portofolio.

Oleh sebab itu, pertanyaan yang relevan bukan tentang mana konsep terbaik sehingga kita perlu mengimplementasikannya, melainkan pada identifikasi tujuan institusi kita terlebih dahulu untuk kemudian menimbang tentang konsep penilaian mana yang relevan dengan tujuan tersebut. Kebetulan, Al-Amien telah menggaungkan “Ujian untuk Belajar” yang merupakan ejawantah dari konsep AfL. Dengan kata lain, secara konseptual, Al-Amien (khususnya TMI) dalam sistem penilaiannya menargetkan umpan balik konstruktif, perencanaan pembelajaran yang meningkat, atau peningkatan pemahaman siswa.

Kritik-Konstruktif

Orientasi AfL sebenarnya merupakan rangkaian yang simultan. Umpan balik konstruktif akan menjadi dasar untuk perencanaan pembelajaran, dimana hilirnya adalah peningkatan pemahaman siswa. Mari kita diskusikan satu per satu.

Pertama, umpan balik konstruktif dalam AfL tidak cukup hanya menghasilkan output berupa skor. Umpan balik konstruktif adalah informasi spesifik dan detail yang diberikan kepada siswa mengenai kinerja mereka. Tujuannya adalah untuk membantu mereka memahami kekuatan dan kelemahan. Umpan balik ini bersifat berkelanjutan dan diberikan sepanjang proses pembelajaran. Dengan demikian, jika Al-Amien memiliki output skor pada setiap hasil ujiannya, secara ideal, skor tersebut seharusnya tidak berupa angka kuantitatif an sich. Skor harus dapat berbicara serta memberikan informasi spesifik dan detail. Meski dua santri mendapatkan skor yang sama secara kuantitatif (misalnya mendapatkan skor 85), namun belum tentu sama secara kualitatif. Satu santri mampu mengimplementasikan hadis dalam kehidupan sehari-hari (misalnya), namun santri yang lain belum tentu mampu demikian, meski skornya sama-sama 85. Sebagai informasi, kurikulum merdeka sudah mulai menerapkan hal ini.

Kedua, perencanaan pembelajaran. Pada poin ini, Al-Amien sejatinya sudah menggunakan data hasil penilaian untuk menjadi dasar dalam penempatan kelas santrinya. Santri-santri dikelompokkan berdasarkan data capaian akademiknya. Tujuannya adalah seorang ustad yang akan mengajar dapat menerapkan metode yang relevan. Konsekuensi logis dari poin ini adalah para ustad sangat perlu dibekali bagaimana merancang perencanaan pembelajaran berbasis data capaian santri secara spesifik. Meski santri-santri mendapatkan skor 85 secara kuantitatif sebagaimana ulasan sebelumnya, namun starting point belajar para santri tentu akan berbeda-beda. Oleh sebab itu, para ustad perlu memahami bagaimana meramu perencanaan pembelajaran berbasis data ini supaya proses pembelajarannya sesuai dengan masing-masing starting point santrinya. Inilah yang dimaksud dengan pembelajaran berdiferensiasi.

Apa suatu indikator sederhana yang dapat diamati bahwa ustad-ustad belum mampu merancang perencanaan pembelajaran berbasis data? Sebetulnya mudah. Kita hanya perlu melihat sirkulasi perubahan anggota kelas (santri) A, B, C, dan seterusnya. Kelas A merupakan kelas elit dengan santri berkemampuan kognitif tinggi. Kelas B berada di bawahnya, dan begitu seterusnya. Jika sirkulasi anggota kelas ini tidak dinamis, santri yang menempati kelas A adalah santri itu-itu saja, hal ini berarti metode pembelajaran yang digunakan oleh ustad cenderung elitis. Dengan kata lain, hanya santri-santri tertentu yang dapat relevan dengan metode yang dibawakan oleh ustadnya. Sedangkan santri yang lain tidak. Padahal, ada kemungkinan bahwa di sudut ruang kelas yang sunyi itu, terdapat santri potensial namun tidak mendapatkan asuhan metode yang tepat sehingga potensinya tidak tergali. Itulah yang dimaksud dengan peningkatan pemahaman siswa yang merupakan orientasi AfL terakhir. Metode pembelajaran yang dirancang oleh ustad dapat mengakomodir kekhasan potensi santri. Secara konseptual, Al-Amien sudah berada pada tract yang benar terkait sistem penilaiannya. Hal ini menggembirakan sebab hal-hal yang berkaitan tentang perbaikan lebih lanjut hanya akan bersifat teknikal. Semoga dapat memberikan inspirasi. Teruslah Berjaya Al-Amien…