
Santri adalah sosok yang memiliki kedalaman spiritual, kekuatan moral, dan keteguhan dalam menjaga nilai-nilai Islam. Begitu pula yang tertulis dalam sejarah “kamus besar Bahasa Indonesia,” santri tidak hanya dikenal sebagai pelajar agama di pesantren, tetapi juga sebagai penjaga tradisi, pejuang kemerdekaan, dan merangkul elemen masyarakat. Seiring perubahannya zaman, istilah santri ini mengalami pergeseran makna dan bentuk peran. Kini kita mengenal dua corak santri yaitu: ada santri kuno dan santri milenial. Keduanya lahir dalam konteks yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu menegakkan ajaran Islam dan mengabdi untuk kemaslahatan umat.
Sebut saja santri kuno dikenal dengan gaya hidup sederhana dan disiplin yang kuat. Mereka ini belajar dengan metode tradisional seperti Ngaji bareng dan halaqaan bareng, yang menekankan pada ketekunan, penghormatan kepada guru atau yang sering di sebut dengan (ta’dzim), serta penguasaan kitab kuningnya. Dalam kehidupan sehari-harinya, santri kuno mungkin sangat menonjolkan akhlaknya dan ketawadhuannya. Mereka memandang ilmu sebagai cahaya ilahi yang harus dicari dengan niat yang ikhlas, bukan untuk kedudukan duniawinya. Para kiai dan ustadz zaman dahulu menanamkan nilai bahwa ilmu tanpa adab bagaikan pohon tanpa akar ya itu benar mudah tumbang oleh ujian kehidupan.
Sementara itu juga, santri milenial lahir dalam era digital yang serba cepat dan dinamis. Mereka ini tumbuh di tengah-tengah revolusi teknologi, globalisasi, budaya, dan perubahan sosial yang begitu sangat cepat. Meski masih berakar di pesantren, santri milenial memiliki pola pikir yang lebih terbuka dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Mereka tidak hanya memahami kitab kuning dan tafsir yang di ajari di dalam kelas saja, tetapi juga memanfaatkan teknologi digital untuk berdakwah, berkreasi, dan berkontribusi di masyarakat. Dakwah santri milenial kini meluas ke dunia maya melalui media sosial, podcast, YouTube, dan forum digital lainnya. Melalui konten yang kreatif dan kontekstual, mereka berusaha menyampaikan nilai-nilai Islam yang damai dan relevan bagi generasi mudanya.
Saya sering berdiskusi dengan para alumni pondok saya yang sudah sepuh orang-orang yang pernah merasakan masa keemasan tradisi santri kunolah kita menyebutnya. Dari mereka saya belajar bahwa kesederhanaan dan keikhlasan bukanlah bentuk keterbelakangan si, tetapi cermin dari kekuatan batin. Mereka bercerita bagaimana dahulu para santri rela berjalan kaki puluhan kilometer hanya untuk mengaji, menyantri atau tidur di lantai beralas tikar karena ingin menuntut ilmu. Nilai-nilai seperti ini terkadang mulai memudar di kalangan santri masa kini yang saya lihat lebih akrab dengan gawai, media sosialnya, dan fasilitas modern masa kini. Namun, para alumni sepuh itu tidak memandang sinis generasi sekarang. Mereka justru melihat santri milenial sebagai penerus perjuangan yang memiliki peluang besar untuk menyebarkan nilai Islam ke ranah yang lebih luas.
Dalam pandangan mereka, santri kuno adalah akar atau penjaga kemurnian tradisi dan adab keilmuan, sedangkan santri milenial adalah cabang dan daun yang tumbuh mengikuti arah zaman. Akar dan cabang tidak bisa dipisahkan; keduanya saling bergantung. Tanpa akar, cabang tidak akan kuat menahan badai; tanpa cabang, akar tidak akan mampu menghadirkan kehidupan baru. Perumpamaan itu menggambarkan hubungan harmonis antara generasi terdahulu dan generasi masa kini di lingkungan pesantren kata salah satu ustadzku, yang saya ajak diskusi tipis-tipis.
Di sisi lain, tantangannya yang dihadapi santri milenial memang berbeda. Mereka harus berjuang menjaga nilai keislaman di tengah derasnya arus modernisasi dan individualisme. Kemajuan teknologi membawa kemudahan sekaligus ancaman: banjir informasi, disinformasi, dan degradasi moral. Dalam kondisi ini, santri milenial dituntut menjadi sosok yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan etis. Seperti yang diungkapkan oleh KH. Moh. Khoiri Husni, “Allah menciptakan hidup dan mati untuk menguji kamu sekalian, siapa di antara kamu yang paling baik amal perbuatannya.”
Meski peran dan caranya berbeda, kontribusi santri kuno dan santri milenial tetap memiliki benang merah yang sama; keduanya menjadi penjaga nilai Islam yang moderat, toleran, dan berkeadaban. Santri kuno berjuang dengan pena dan do’a, sementara santri milenial berjuang dengan teknologi dan gagasan. Keduanya sama-sama berperan dalam menjaga keutuhan bangsa, menebarkan kedamaian, dan melawan arus ekstremisme yang menyesatkan.
Di tengah diskusi saya bersama para alumni tua, kami sering menyimpulkan satu hal; zaman boleh berubah, tapi jati diri santri tidak boleh luntur. Nilai-nilai seperti ikhlas, tawadhu’, sabar, zuhud, dan adab terhadap guru harus tetap dijaga, meski bentuk perjuangan kini berbeda. Jika dulu perjuangan dilakukan dengan mengaji, mengajar, dan beribadah, kini perjuangan bisa dilakukan lewat ruang digital, ruang akademik, dan ruang publik. Santri milenial harus bisa menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas juga membawa semangat lama dalam cara yang baru.
Pada akhirnya, santri kuno dan santri milenial adalah dua generasi yang berbeda dalam konteks, namun satu dalam semangat. Keduanya menunjukkan bahwa nilai pesantren tidak lekang oleh waktu. Dalam setiap santri, baik kuno maupun milenial, selalu hidup cita-cita luhur untuk menjadi insan yang berilmu, beradab, dan bermanfaat bagi sesama. Karena sejatinya, santri bukan sekadar status sosial atau label pendidikan, melainkan cerminan dari perjalanan panjang dalam mencari ridha Allah. Dan selama nilai itu dijaga, santri akan selalu menjadi pelita di setiap zamannya.
