
“Biar gak kayak anak zaman sekarang yang nakal, saya takut, mending anak saya dimasukkan ke pesantren”, tidak sedikit kalimat seperti ini keluar dari lisan para orang tua. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab sudah ada asumsi di kalangan masyarakat luas bahwasannya pesantren dianggap sebagai “tempat suci” dimana orang-orang baik dan alim berkumpul. Menganggap para kiai dan ustaz memiliki metode khusus yang dapat diterapkan kepada pelbagai macam karakter anak. Memang tidak semuanya, hanya minoritas orang tua yang terlalu takut anaknya tumbuh dan berkembang di lingkungan yang salah dan tidak sesuai dengan harapan.
Demi memenuhi keinginan tersebut, tidak sedikit pula anak yang masuk pesantren karena rasa keterpaksaan. Sebenarnya hal ini kurang baik bagi kesehatan mental dan psikologi anak. Pada masa awalnya pasti anak akan menolak, namun semakin berjalannya waktu, ia akan memahami apa yang diniatkan orang tuanya adalah hal yang baik untuk dirinya. Namun, tidak banyak anak yang dapat memiliki pemikiran seperti ini. bahkan ada anak yang berpikiran bahwa orang tuanya sudah tidak sayang lagi padanya ketika ia dimasukkan ke pesantren. Kendati demikian, ia tetap akan menuruti keinginan orang tuanya.
Ketika pertama kali merasakan lingkungan pesantren, anak akan dihadapkan dengan suasana yang jelas berbeda daripada rumahnya. Bangun lebih awal, mengikuti jadwal kegiatan yang padat, tidur bersama puluhan teman dalam satu ruangan yang sama, bahkan segala hal yang dilakukan tidak lepas dari kata “antri”. Entah itu untuk makan, mandi, ke kantin, dan banyak hal lainnya. Semua hal seperti ini merupakan perubahan drastis yang tidak mudah untuk diterima sebagai kebiasaan baru dalam waktu sekejap.
Berdasarkan dari survei yang dilakukan oleh Pusat Studi Pesantren pada tahun 2023 terhadap 500 santri baru di 10 pesantren berbeda di Indonesia, ditemukan bahwa 62% santri baru mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan pesantren pada satu bulan pertama. Dari persentase tersebut, 46% di antaranya menyatakan sering merasa sedih dan menangis karena rindu dengan orang tua dan suasana di rumah. Bahkan, 23% dari mereka mengalami gangguan tidur akibat perasaan cemas karena meninggalkan rumah dan sanak saudara atau orang tua.
Perasaan rindu suasana rumah seperti ini dinamakan dengan homesick, sedangkan perasaan cemas karena berpisah dengan orang yang dicintai disebut dengan separation anxiety. American Academy of Pediatrics pada tahun 2022 menyebutkan bahwa 80% anak yang pertama kali berpisah dengan orang tua dalam jangka waktu yang lama akan mengalami separation anxiety ringan hingga sedang. Adapun gejala yang sering muncul, seperti; sering menangis ketika hendak tidur, sulit tidur nyenyak, menghindari interaksi sengan orang banyak, bahkan ada yang mengalami keluhan fisik seperti sakit perut atau mual, padahal tidak ada gangguan secara medis. Ini semua merupakan reaksi alamiah tubuh dan pikiran saat mengalami perpisahan dengan lingkungan yang sudah membuatnya nyaman.
Lantas bagaimana cara mencegah homesick atau separation anxiety?
Sejumlah penelitian menyarankan dilakukannya pendekatan preventif, yaitu tindakan pencegahan untuk menghindari suatu masalah sebelum masalah tersebut terjadi. Tujuannya adalah untuk mengurangi risiko homesick dan separation anxiety. Salah satu penelitian dari Universitas Indonesia pada tahun 2021 menunjukkan bahwa anak yang sudah pernah mengikuti kegiatan berkemah atau pesantren kilat sebelumnya memiliki tingkat homesick 30% lebih rendah dibandingkan dengan yang belum pernah sama sekali. Pendekatan preverentif yang dapat dilakukan orang tua bisa seperti ; mempersiapkan mental anak jauh hari sebelum memasuki dunia pesantren, menceritakan kisah-kisah menyenangkan tentang kehidupan di pesantren melalui pengalaman orang lain, dan mengajarkan keterampilan dasar untuk hidup mandiri.
Selain pendekatan preverentif yang sudah dilakukan oleh orang tua, seharusnya peran lingkungan pesantren juga mendukung. Seperti teman-teman sebaya mestinya berperan besar sebagai sumber dukungan emosional. Dalam survei yang dilakukan oleh Lembaga Psikologi Pesantren pada tahun 2022, 70% santi baru menyatakan bahwa memiliki teman akrab membantu mereka melawati rasa rindu rumah dan orang tua. Pengurus kamar (musahhil) sebagai orang yang paling dekat dengan kegiatan sehari-hari di kamar, harusnya membantu mengarahkan dan membimbing agar dapat hidup mandiri, serta menjadi tempat untuk bercerita jika mengalami kesulitan selama hidup di pesantren. Dan peran wali kelas tentunya, karena ia yang akan berperan sebagai orang tua kedua dari anak tersebut selama di pesantren. Bahkan beberapa pesantren memiliki program khusus seperti “Program Orientasi Santri Baru” yang dirancang untuk mempercepat proses adaptasi ini.
Adapun sebaliknya, bagaimana jika homesick dan separation anxiety ini tidak ditangani?
Data dari Kementerian Agama RI pada tahun 2022 menyebutkan bahwa dari 1.000 santri baru di pesantren swasta, sekitar 12% memilih keluar atau pindah setelah 6 bulan pertama, dan sebagian besar alasannya karena tidak mampu menahan rasa rindu terhadap orang tua dan suasanya nyaman yang ada di rumah. Selain itu, jika tidak mendapatkan penanganan, anak tersebut akan berisiko mengalami : gangguan psikologis jangka panjang (seperti kecemasan dan depresi ringan), kesulitan berprestasi di sekolah, atau pergaulan yang kurang sehat (menarik diri dari pergaulan atau justru berperilaku negatif sebagai pelarian).
Teruntuk para orang tua, hal seperti ini bukan hanya menjadi ujian bagian anak, tetapi juga bagi kalian. Rasa ingin menjemput saat anak menangis di telpon, atau keinginan untuk menjenguk saat proses adaptasi belum selesai, adalah bentuk kasih sayang yang wajar. Namun perlu disadari, bahwa terlalu cepat menuruti keinginan anak pulang justru akan menghambat proses kemandirian dan kedewasaannya.
Beberapa hal penting yang perlu direnungkan oleh para orang tua
Pertama, tahan diri untuk tidak langsung panik ketika anak menangis. Dengarkan dengan tenang, beri semangat, dan arahkan mereka untuk mengadu atau menceritakan masalahnya kepada musahhil atau wali kelasnya.
Kedua, Jangan membuat janji akan segera menjemput atau memulangkan anak jika merasa tidak betah. Justru hal ini akan memperparah rasa cemas anak.
Ketiga, Percayakan pada proses pendidikan pesantren. Ingatlah, sudah ribuan orang tua berhasil melewati fase ini, dan terbukti anak-anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan shalih.
Oleh sebab itu, kerjasama antara orang tua, pengurus, wali kelas, dan pihak pesantren menjadi kunci utama dalam proses adaptasi ini agar berjalan dengan lancar.