Program khidmah tarbawiyah pada kelas akhir TMI Al-Amien Prenduan baru saja akan dilaksanakan. Selama sepuluh hari penuh, para santri yang akan segera menamatkan pendidikannya itu dilepas dari gerbang pondok. Ini bukan sekadar studi banding atau kunjungan lapangan biasa. Ini adalah muara dari proses pendidikan bertahun-tahun, sebuah momentum di mana para santri tidak lagi menjadi objek, melainkan subjek yang berinteraksi langsung dengan realitas. Selama sepuluh hari itu, mereka tinggal, berbaur, dan mengabdi, bukan di menara gading, melainkan di tengah umat dengan segala dinamikanya.

Meski durasinya relatif singkat, inti dari khidmah tarbawiyah tetap sama dari tahun ke tahun: aplikasi dan pengabdian. Selama sepuluh hari itu, para santri menjadi imam, mengajar TPA, membantu administrasi desa, hingga kerja bakti. Namun, mereka tidak terjun dengan tangan kosong. Ada satu bekal tak kasat mata yang mereka bawa, yang telah ditanamkan sejak hari pertama mereka masuk pondok. Bekal itu adalah Panca Jiwa: Keikhlasan, Kesederhanaan, Ukhuwah Islamiyah, Kemandirian, dan Kebebasan. Tidak ada momen dalam kalender akademik TMI di mana panca jiwa ini diuji secara lebih nyata dibandingkan momen khidmah tarbawiyah.

Panca jiwa itu menyatukan seluruh santri dalam satu visi. Di dalam pondok, Panca Jiwa mungkin terdengar seperti slogan yang diulang-ulang di mimbar. Tapi di tengah umat, ia menjelma menjadi kompas. Beberapa kali saya menyaksikan para santri yang kelelahan namun tetap tersenyum tulus saat mengajar anak-anak mengaji. Saya melihat mereka beradaptasi dengan fasilitas yang serba terbatas tanpa keluhan. Di situlah panca jiwa bertransformasi. Ia bukan lagi hafalan, tapi tindakan. Melalui itu, mereka menegaskan satu hal: bahwa mereka adalah kader yang siap berbuat, bukan sekadar teoritikus.

Kepada panca jiwa, kita membuktikan komitmen. Kepada pondok, kita menghaturkan bakti bahwa nilai yang diajarkan itu hidup. panca jiwa menghadirkan imaji tentang panduan yang komplet. Keikhlasan diuji saat harus mengajar meski hanya tiga anak yang datang. Kesederhanaan menjadi nyata saat harus tidur beralas tikar di balai desa. Ukhuwah dirasakan saat harus kompak memasak bersama untuk satu posko. Kemandirian terbukti saat harus memecahkan masalah tanpa menunggu instruksi guru. Kebebasan terlihat saat mereka berani berinisiatif mengisi kekosongan kegiatan di desa.

Imaji panca jiwa sebagai kompas ini tidak dibangun melalui diksi-diksi filosofis yang rumit seperti dalam buku-buku teori manajemen. Ia tidak mewujud dalam rupa Standard Operating Procedure (SOP) yang kaku. Ia sederhana dan merengkuh semua aspek kehidupan. Ia tidak digambarkan sebagai formula ajaib yang menjamin keberhasilan instan. Panca jiwa di sana, di dalam diri para santri itu, adalah prinsip yang menghadirkan ketenangan dalam bertindak, rasa batin yang ikhlas dan mandiri, dilindungi dari niat yang keliru.

Tentu saja, panca jiwa itu menggugah dan menggerakkan. Mungkin karena ia menempatkan kita dalam pengabdian yang memiliki tujuan. Para perumus panca jiwa ini, kita tahu, adalah pejuang-pejuang pendidikan. Melalui nilai-nilai itu, mereka menarik kita ke dalam barisan pengabdi. Pasti sulit untuk bisa setotal dan seikhlas mereka. Tapi panca jiwa membimbing kita untuk menjadikan mereka teladan. Dan di jalan itu, kita berproses bersama-sama, tidak sendiri-sendiri. Pengabdian di satu sisi, penanaman nilai di sisi yang lain.

Saya kira, itulah mengapa nilai-nilai dasar (core values) seringkali menjadi nyawa dalam sebuah gerakan. Bukan unsur estetikanya yang penting. Bukan juga semata-mata karena susunan katanya. Tapi karena ia pernah menemani sebuah perjuangan dan diuji dalam kebersamaan yang intens. Dalam momen hijrah, para sahabat tidak hanya berpindah tempat. Mereka bergerak atas dasar prinsip tauhid dan ukhuwah. Persaudaraan antara muhajirin dan anshar adalah aksi nyata dari prinsip yang ditanamkan Rasulullah SAW. Prinsip itu berhasil membakar semangat para sahabat dan menyatukan mereka dalam satu ikatan umat yang baru.

Itu juga sebabnya, saya kira, mengapa banyak organisasi modern memiliki visi, misi, dan nilai inti. Untuk menegaskan identitas kita dan mengarahkan semangat juang. Ketika sebuah lembaga non-profit bekerja di daerah bencana, transparansi dan empati bukan sekadar kata di situs web mereka. Itu adalah prinsip yang membedakan mereka dari penjarah. Begitu juga dengan perusahaan rintisan (startup) yang sukses. Suara ribuan karyawan yang bekerja atas dasar inovasi dan integritas adalah penanda tentang bagaimana sebuah nilai beralih menjadi bukan sekadar pajangan dinding. Ia menjelma menjadi simbol, menjadi pengikat, menjadi rambu, menjadi instrumen budaya kerja.

Dari panca jiwa ke aksi nyata. Di jalan khidmah ini, selamanya, tak akan pernah nilai-nilai itu berjalan sendirian tanpa ada yang mengamalkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses