Pendidikan merupakan kunci utama dalam membangun peradaban dan karakter bangsa. Di Indonesia, selain sistem pendidikan formal seperti sekolah dan universitas, terdapat satu lembaga pendidikan yang memiliki akar historis dan budaya yang kuat, yaitu pesantren. Pesantren telah menjadi bagian penting dalam perjalanan pendidikan di Indonesia, terutama dalam membentuk manusia yang berakhlak mulia, berpengetahuan luas, dan berjiwa sosial tinggi.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang keberadaannya sudah ada jauh sebelum masa kemerdekaan. Lembaga ini awalnya muncul sebagai tempat pengajaran agama Islam secara tradisional, dipimpin oleh seorang Kyai yang menjadi panutan moral dan spiritual bagi para santri.

Fungsi pesantren pada masa awal tidak hanya sebagai tempat belajar ilmu agama seperti tafsir, hadis, dan fiqih, tetapi juga menjadi pusat ekstrakurikuler, diantaranya pusat dakwah dan juga pemberdayaan masyarakat. Namun ironinya belakangan sangat ramai di berbagai platform media sosial, opini sesat seorang konten kreator yang tidak memiliki latar belakang pendidikan pesantren, dengan bebasnya beropini dan bahkan mengkritik sistem dan segala segala sesuatu yang ada didalamnya. Anehnya ada saja yang merespons dan bahkan pro dengan opini sesat tersebut. Ini sama halnya dengan orang mendefinisikan rasa manis namun orang tersebut belum pernah merasakannya sama sekali, jelas hal ini menjadi lelucon dan bahan tertawaan bagi yang pernah merasakannya.

Ilmu agama merupakan warisan paling berharga yang ditinggalkan oleh para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Dalam mempelajarinya, seorang penuntut ilmu tidak cukup hanya dengan membaca buku, menonton video, atau menelusuri media sosial. Ilmu agama bukan sekadar kumpulan teks, tetapi juga cahaya yang berpindah dari hati ke hati melalui para guru yang memiliki sanad keilmuan yang jelas. Oleh karena itu, belajar agama tanpa guru yang bersanad merupakan hal yang berbahaya dan dapat menimbulkan berbagai kesesatan pemahaman.

Pada zaman modern, banyak orang merasa cukup belajar agama hanya melalui buku terjemahan, internet, atau media sosial. Mereka mengutip ayat dan hadis tanpa bimbingan, menafsirkan sesuai pemahaman pribadi, bahkan terkadang berani berfatwa dan menyalahkan para ulama. Fenomena ini muncul karena hilangnya peran guru sebagai pembimbing rohani dan penjaga kemurnian ilmu.

Bahaya Belajar Agama Tanpa Guru

  1. Salah Paham terhadap Makna Ilmu Tanpa bimbingan guru, seseorang mudah salah memahami maksud teks-teks agama. Bahasa Arab klasik yang menjadi sumber utama ilmu agama memiliki banyak sisi makna yang tidak bisa diartikan secara literal. Guru berperan menjelaskan konteks, makna, dan maksud sebenarnya dari ayat atau hadis.
  2. Timbulnya Kesombongan Intelektual Orang yang belajar sendiri sering merasa sudah tahu banyak. Padahal ilmunya baru sepintas lalu. Dari sinilah muncul sifat merasa paling benar, meremehkan ulama, dan menuduh orang lain salah. Padahal dalam tradisi keilmuan Islam, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin rendah hati dia di hadapan gurunya.
  3. Terputus dari Cahaya Keberkahan Ilmu Ilmu agama tidak hanya berupa informasi, tapi juga nur (cahaya). Cahaya itu tidak bisa diperoleh dari sekadar membaca, melainkan dari keberkahan pertemuan dengan guru saleh yang ikhlas. Guru bersanad menyampaikan ilmu dengan adab, dan dari adab itulah ilmu menjadi manfaat dan membawa ketenangan hati.
  4. Mudah Terjerumus ke dalam Pemikiran Menyimpang Belajar tanpa bimbingan sering membuat seseorang terpengaruh oleh pandangan ekstrem, fanatik, atau liberal. Tanpa guru, ia tak punya penuntun untuk membedakan mana yang sesuai dengan manhaj ulama dan mana yang menyimpang.
  5. Hilangnya Adab dan Rasa Hormat terhadap Ulama Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga teladan dalam beradab. Seseorang yang belajar tanpa guru sering tidak memahami nilai tawadhu’, sopan santun, dan etika menuntut ilmu. Akibatnya, ia kehilangan ruh ilmu dan hanya memiliki kulitnya saja.

Peran Guru Bersanad dalam Menjaga Kemurnian Ilmu

Guru yang memiliki sanad keilmuan bertanggung jawab memastikan bahwa ajaran yang disampaikan tetap lurus dan murni. Mereka menjadi penghubung antara generasi terdahulu dan generasi sekarang. Dengan adanya guru bersanad, penuntut ilmu tidak hanya mendapatkan pengetahuan, tapi juga adab, hikmah, dan barakah yang tidak bisa diperoleh dari belajar sendiri.

Allah berfirman:

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ ۝٤٣

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S An-Nahl : 43)

Ayat ini menegaskan bahwa ketika seseorang tidak mengetahui, ia wajib bertanya kepada ahlinya, bukan berarti menafsirkan sendiri. Belajar tanpa guru berarti menyalahi perintah Allah langsung. Sabda nabi:

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ، يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ، وَتَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ. 

“Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi, mereka menolak penyimpangan orang yang berlebihan, kebohongan orang yang batil, dan penafsiran orang yang bodoh.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).

Hadis ini menunjukkan bahwa ilmu agama diwariskan dari generasi ke generasi (bersanad) agar terhindar dari penyelewengan tafsir.

Imam Malik dalam kitab Hilyatu Thalibil Ilmi berkata:

لَا يُؤْخَذُ الْعِلْمَ عَنْ أَرْبَعَة: سَفِيْهٍ يعْلِن السَّفَهِ, وإن كان أروى الناس, وَصَاحِبِ بدعة يدعو إلى هواه ومن يكذب في حديث الناس وإن كنت لا أتهمه في الحديث وصالح عابد فاضل إذا كان لا يحفظ ما يحدث به

“Ilmu tidak boleh diambil dari empat golongan: orang bodoh, ahli bid‘ah, pendusta, dan orang saleh yang tidak paham hadis yang diriwayatkannya.”

Artinya, ilmu harus diambil dari guru yang benar-benar ahli dan bersanad.

Imam Abdullah bin al-Mubarak dalam kitab Fathul Baqi Bisyarhi Alfiyah Al-Iraqi berkata:

الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

“Sanad adalah bagian dari agama. Kalau tidak ada sanad, maka siapa pun bisa berkata sesukanya.” Memahami agama dengan logika tanpa panduan nash (Al-Qur’an, hadis, dan tafsir ulama)

adalah jalan menuju kesesatan. Agama adalah wahyu, bukan hasil akal. Akal hanya alat bantu, bukan sumber hukum. Allah berfirman:

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ

“Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah menyesatkannya padahal ia berilmu?” ( Q.S Al-Jatsiyah : 23). Orang yang menafsirkan agama dengan nafsu atau pandangannya sendiri sama dengan menjadikan akalnya sebagai tuhan. Rasulullah SAW. Bersabda:

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغيْرِ عِلمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barang siapa menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka bersiaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)

Hadis ini tegas melarang menafsirkan agama tanpa ilmu, tanpa sanad, dan tanpa bimbingan guru yang ahli. Imam Syafi’i berkata dalam kitab Al-I’lam Bihurmati Alhlil Ilmi Wal Islam:

مَنْ تَفَقَّهَ مِنْ بُطُونِ الْكُتُبِ ضَيَّعَ الْأَحْكَامَ

“Barang siapa belajar fikih hanya dari buku, ia akan kehilangan hukum (kebenaran).”

Dalil-dalil diatas menunjukkan bahwa belajar tanpa guru mengakibatkan salah paham terhadap hukum-hukum syariat. Ilmu agama bukan sekadar bacaan, namun juga amanah besar, maka harus diambil dari orang yang terpercaya dan bersanad. Belajar ilmu agama tanpa guru bersanad adalah jalan yang berbahaya. Ia bisa menimbulkan kesalahpahaman, kesombongan, dan bahkan kesesatan. Sanad adalah benteng yang menjaga keaslian ajaran Islam, dan guru bersanad adalah penjaga pintu agar ilmu tetap suci.

Maka hendaknya setiap penuntut ilmu mendatangi para guru, duduk di majelis mereka, dan menimba ilmu dengan penuh adab serta tawadhu’. Hanya dengan cara itulah ilmu agama akan benar-benar bermanfaat dan membawa keberkahan bagi diri dan umat. Maka, wajib bagi setiap penuntut ilmu untuk mencari guru yang bersanad, mendengar, mencatat, dan meneladani, sebagaimana para sahabat menuntut ilmu dari Rasulullah SAW. langsung. Hanya dengan cara itulah ilmu agama akan benar-benar bermanfaat dan membawa keberkahan bagi diri dan umat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses