
Pada suatu malam yang senyap, di antara dengung kipas angin dan nyala notifikasi yang entah mengapa tak berhenti, manusia duduk sendirian. Tak ada suara adzan, tak ada ibu yang menegur, tak ada dosen yang menyuruh presentasi. Hanya ada dirinya dan… ya, kadang ia lupa: ada Tuhan.
Seseorang pernah berkata, “Integritas adalah apa yang kamu lakukan saat tak ada yang melihat.” Maka bisa dibilang, integritas adalah jurusan paling sulit dalam universitas kehidupan. Ujian tanpa pengawas, tapi tetap bernilai. Ijazahnya? Entah dicetak di mana. Tapi konon akan diperiksa pada hari di mana tangan dan kaki diberi hak bicara.
Tapi mari kita serius sebentar (hanya sebentar, karena hidup terlalu singkat untuk selalu tegang). Saat kamu sendiri, dan tiba-tiba merasa bebas melakukan apa saja karena tak ada manusia yang menghakimi di situlah justru kesucianmu diuji. Sayangnya, banyak dari kita yang lebih takut kamera CCTV dibanding mata Tuhan. Apakah Tuhan perlu WiFi dan memori cloud untuk mencatat segalanya? Tidak. Dia Maha Tahu, bahkan sebelum pikiranmu selesai membentuk niat.
Mencemari yang Maha Suci
Mungkin ada yang bertanya: “Bagaimana mungkin kita mencemari Tuhan? Bukankah Dia Maha Suci?” Benar. Kita tak bisa mengotori Tuhan dalam hakikat-Nya. Tapi kita bisa mencemari representasi Tuhan dalam hidup kita melalui perilaku, ucapan, dan ketidaksadaran dalam kesendirian.
Ketika seseorang memakai simbol agama misalnya peci, tasbih, sorban, atau jubah, namun saat sendiri ia memperdagangkan kebohongan, menyimpan niat jahat, atau menghakimi orang lain dari balik layar anonim, maka sesungguhnya bukan hanya nama baiknya yang rusak, tapi citra Tuhan yang diwakilinya pun ikut tercemar di mata dunia.
Kita sering menyalahkan dunia karena kehilangan moral. Tapi siapa yang melepaskan tali kekangnya ketika tak ada yang menonton? Bukankah banyak di antara kita yang memakai Tuhan seperti jas wisuda hanya dipakai saat acara penting, lalu digantung kembali, tak dipedulikan sampai acara berikutnya?
Eksperimen Pikiran dan Kenyataan
Bayangkan sejenak eksperimen pikiran berikut ini: Jika kamu tahu bahwa ada kamera yang merekammu 24 jam penuh, dan rekamannya akan ditayangkan di kampus, di kantor, di grup WhatsApp keluarga besar, akankah kamu tetap melakukan hal yang kamu lakukan saat ini?.
Nah, Tuhan tidak perlu kamera. Dia tidak perlu format MP4 atau resolusi HD. Rekamannya adalah dirimu sendiri. Dan sayangnya, tidak bisa diedit pakai filter atau AI.
Ada sebuah lelucon klasik: “Orang alim bilang: ‘Jangan lakukan itu, Tuhan melihat.’ Lalu si pelaku berkata: ‘Santai saja, kita sudah akrab.’”
Lucu, ya? Tapi juga menyedihkan. Karena kedekatan dengan Tuhan bukan alasan untuk meremehkan-Nya, tapi justru landasan untuk lebih menghormati dan menjaga sikap.
Kesendirian bukan zona bebas nilai. Ia adalah ruang transenden tempat kamu benar-benar diuji, bukan untuk dinilai oleh manusia, tapi untuk menjawab pertanyaan terdalam dari nurani: Siapa aku ketika tak ada yang mengawasi? Jika jawabannya membuatmu malu, mungkin di situlah tempat pembaruan dimulai.
Tuhan tidak akan berkurang kesucian-Nya oleh dosa manusia. Tapi kita, yang mengklaim membawa nama-Nya dalam hati dan kehidupan, memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menjadikan-Nya tameng kemunafikan.
Akhirnya, Sebelum Kita Sendiri Selamanya
Akan tiba hari di mana kita sendiri di kubur, dalam senyap paling mutlak. Tak ada status media sosial, tak ada badge LinkedIn, tak ada mode incognito. Di situlah semua kesendirian kita selama ini akan dimunculkan kembali, disusun, diputar, dan dipertanyakan: Apakah kamu benar-benar menghormati Tuhan ketika tak ada siapa-siapa kecuali Dia?
Jika hari ini kita masih bisa tertawa, bersenda gurau, dan menunda taubat karena merasa masih muda ingatlah bahwa kematian tidak bertanya KTP. Dan ketika kita sendiri nanti di alam sunyi abadi, tidak ada lagi ruang untuk bersandiwara.
Jangan kotori Tuhan ketika kamu sendiri. Bukan karena Tuhan bisa tercemar tapi karena dirimu lah yang perlahan-lahan kehilangan kemurnian nurani. Menjaga Tuhan saat sendiri, berarti menjaga martabat diri di hadapan Yang Maha Menyaksikan.