Saya mulai tulisan ini dengan penuh rasa rindu. Ada damai, cinta, dan syukur yang begitu dalam menyelimuti hati.

Untuk adik-adikku yang membaca tulisan ini, mungkin kalian belum percaya ketika mendengar para alumni berkata, “Aku rindu pondok, ingin kembali.”

Sama. Aku pun dulu begitu. Mengernyitkan dahi saat mendengarnya. Tapi kini, aku sendiri yang merasakannya.

Sepuluh tahun aku hidup di pondok. Bagaimana mungkin masa sepanjang itu bisa hilang begitu saja? Dari keluguanku saat pertama kali menginjakkan kaki di sana, hingga berjuta pengalaman yang aku lalui. Dari GESERNA yang tak berdinding tepi, hingga perpustakaan tiga lantai yang megah.

Banyak sekali cerita yang ingin kutuliskan. Tapi kali ini, izinkan aku memilih satu yang paling membekas dalam hidupku.

Awal menjadi santri, ibu “menitipkanku” pada salah satu guru. Namanya Nyai Daniatul Karomah, Lc. Beliau—yang kelak baru kuketahui—adalah putri keempat dari almarhum KH. Muhammad Idris Djauhari dan Nyai Zahrotul Wardah.

Karena aku adalah anak pertama yang mondok, ibu tidak mengenal siapa pun di lingkungan pesantren. Mungkin karena kediaman Nyai Dania dekat dengan dapur umum, itu alasan ibu menitipkanku pada beliau—agar aku mudah meminta uang selepas makan.

Dan benar saja. Aku hanya sempat meminta uang saat usai makan, karena padatnya jadwal harian santri.

Dari situlah aku mengenal sosok Nyai Dania. Lembut sekali tutur katanya. Aku diminta membawa mufakkirah setiap kali meminta atau menitipkan uang. Setiap pengeluaran dan pemasukan dicatat, lalu diperiksa beliau ketika aku menghadap.

Awalnya kupikir itu merepotkan. Tapi lama-kelamaan, aku paham: semua itu mendidikku untuk tertib dan tidak boros.

Beliau juga sering menanyakan kabarku, memastikan aku baik-baik saja, bahkan mengajakku berbincang. Namun aku masih terlalu lugu, terlalu pendiam. Mungkin karena beliau seorang nyai, aku merasa segan. Aku tak pernah bercerita tentang apa pun. Semua hanya kupendam.

Satu tahun berlalu. Hari itu, waktu liburan akhir tahun. Kami semua santriwati berbaris rapi untuk bersalaman dengan para nyai di musholla.

Saat sampai pada Nyai Dania, beliau menahan tanganku dan berbisik, “Setelah ini ke kediaman saya, ya. Ambil semua sisa uang Anti sebelum pulang.”

Aku menolak, karena ibu berpesan agar uang tetap dititipkan pada beliau hingga aku naik ke kelas dua. Tapi Nyai Dania menggeleng, “Saya akan pindah ke Sampang saat liburan nanti.”

Aku terdiam. Terkejut. Tapi barisan di belakang sudah terhenti, jadi aku hanya mengangguk dan berjalan pergi. Itulah hari terakhirku bersamanya.

Sedih rasanya. Berpisah dengan sosok yang sangat lembut, yang telah menjagaku selama setahun. Dan kini aku sendirian di pondok.

Hari-hari berat di pondok kulalui. Hingga tiba masa akhir: Nihaie

Di masa ini, aku mengenal Nyai Faiqoh Bariroh, S.S., musyrifah kelompokku. Kakak dari Nyai Dania. Putri kedua dari almarhum KH. Muhammad Idris Djauhari. Beliau juga lembut. Penyabar. Tapi tegas saat harus mendidik kami. Beliaulah yang mendampingiku melewati hari-hari sulit menjelang kelulusan.

Akhirnya, aku lulus tahun 2021. Aku lanjut mengabdi di pondok sambil kuliah di UNIA. Tahun pertama dan kedua, aku menjadi wali kelas MTs dan anggota TMI Media Center. Di sinilah kisah unik itu bermula.

Redaktur TMI Media Center Putri resmi dibentuk pada Sabtu, 25 Desember 2021, sembilan hari setelah Redaktur Putra. Kami terdiri dari para ustadzah bagian sekretaris ma’had, MPO, marhalah, AVS, perpustakaan, dan wali kelas. Ada 16 orang.

Aku, sebagai bagian perpustakaan marhalah Tsanawiyah, otomatis masuk tim. Kami dibagi menjadi dua: Tim Dokumentasi (AVS) dan Tim Berita (sisanya). Tugas kami: mendokumentasikan dan menulis berita seluruh kegiatan santriwati, lalu dikirimkan via email kepada Nyai Luthfiyah Ali, M.H., ketua kami.

Kami rutin berkumpul setiap pekan di kediaman beliau. Membahas agenda seminggu ke depan dan membagi tugas. Karena sebagian dari kami kuliah, pertemuan ini penting untuk menjaga koordinasi.

Hari itu, Sabtu pagi 28 Januari 2023. Tahun kedua pengabdianku.

Aku sedang menjalankan tugas sebagai wali kelas, tiba-tiba dicari Usth. Sri Wahyuni—senior sekaligus rekan Tim Berita. Ia memintaku menulis berita dadakan untuk acara kunjungan tamu siang itu.

Tadinya aku ragu karena ada kuliah. Tapi beliau berkata sudah meminta bantuan pada anggota lain, dan tidak ada yang bersedia. Maka, aku pun terima.

Kunjungan itu berlangsung. Ada 50 santriwati akhir dan beberapa pendamping dari Pondok Pesantren Taman Baru Putri, Sampang. Sambutan diberikan oleh Mudir ‘Aam kami, Ust. H. A. Tijani Syadzili, Lc. Pimpinan rombongan, KH. Umar Faruq, M.A., menyampaikan:

Jika TMI adalah Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah, maka kami memberi nama MMI, Madrasah Mu’allimien Al-Islamiyah. Kami berpanut pada TMI karena saya dan Nyai Nia adalah alumni. Agar sanad keilmuan kami tetap tersambung, dan keberkahan bertambah.”

Menantu keempat almarhum Kiai Idris, katanya.

Aku terdiam. Nyai Nia? Maksudnya… Nyai Dania?

Sampang? Benarkah?

Mataku segera menyisir barisan pendamping. Dan… ya Allah. Itu beliau. Kerudung dusty pink panjang menjulai, lembut seperti dulu. Mengapa aku tak menyadarinya dari awal?

Mataku berkaca. Tanganku gemetar. Aku menahan diri untuk tidak berlari dan memeluknya.

Setiap detik setelah itu terasa sangat panjang.

Begitu acara selesai, aku berdiri di pintu keluar, menunggu. Saat beliau berjalan keluar bersama Nyai Nur Jamilah, aku menyalami dan langsung memperkenalkan diri.

Beliau menatap, mencoba mengingat, tapi tak kunjung mengenali. Aku menangis. Kucium punggung tangannya lama sekali. Nyai Nur berusaha membantu, tapi beliau tetap tidak ingat.

Mungkin karena tujuh tahun berlalu. Mungkin karena saat itu aku masih kecil dan lugu. Atau mungkin beliau telah menerima banyak titipan anak santri.

Tak apa. Tidak mengurangi rasa syukurku telah dipertemukan kembali.

Seandainya Usth. Sri tak memintaku menulis berita…

Seandainya ada anggota lain yang bersedia…

Seandainya aku memilih kuliah saat itu…

Seandainya aku tak menjadi bagian TMI Media Center…

Ya Allah, begitu indah rencana-Mu membayar kerinduanku.

Terima kasih, Ya Allah…

Tahun ketiga pengabdian, aku masih di TMI Media Center. Tapi kali ini, anggotanya hanya empat orang—terpilih secara khusus, tidak lagi merangkap jabatan.

Kami belajar lebih dalam: fotografi, videografi, menulis, mengedit. Aku mulai mencintai dunia ini.

Di sinilah aku mengenal Nyai Bisyarotul Hanun, M.Pd.I., adik Nyai Dania. Konsultan media kami. Lembut. Sabar. Penuh kasih. Tegas tapi tak pernah menghakimi.

Beliau bukan sekadar pembimbing. Tapi pemimpin yang mengayomi. Karena itu, kami bekerja dengan ikhlas. Perlahan, fotografi menjadi hobiku.

Dua tahun bersama media mengajariku banyak hal. Tidak hanya teknis, tapi juga sabar, ikhlas, lelah yang tak terlihat, dan tawa yang tetap dibawa di balik kantuk dan sakit.

Sekarang, semua itu terasa manis…

Padahal dulu, pahitnya luar biasa.

Di akhir pengabdian, saat mukim Ramadhan, aku menjadi asisten Nyai Nazlah Hidayati, M.Psi.—kakak Nyai Dania. Beliau seorang psikolog yang sangat ramah dan sabar.

Beliau tidak marah saat anak-anak membuat kesal. Tapi justru mengajak mereka bercerita. Dari situlah beliau menilai, lalu mengambil tindakan. Dengan tenang. Dengan cinta.

Lengkap sudah pertemuanku dengan keempat putri almarhum Kiai Idris dan Nyai Zahroh.

Nyai Dania.

Nyai Faiqoh.

Nyai Hanun.

Nyai Nazlah.

Apa ini semua kebetulan? Atau memang bagian dari rencana indah Allah?

Terima kasih untuk segala nasihat, teladan, dan pelajaran hidup yang kalian berikan.

Terima kasih juga untuk Nyai Afaf Az-Zahro’, M.Pd.I., yang mengajariku bersabar menghadapi anak-anak Nihaie. Yang membukakan pikiranku tentang masa depan.

Untuk Ust. Ach. Nurholis Majid, M.Pd.—dosen terbaik, sastrawan TMI, dan sosok ayah yang menenangkan. Terima kasih karena telah sabar menghadapi kenakalanku. Terima kasih telah mengayomi anak nakal ini.

Sekali lagi,

Terima kasih guru-guruku…

Mohon doakan langkahku agar kelak aku mampu membalas semua ajaran, cinta, dan pengorbanan kalian.

Sehat selalu, guru-guruku…

Izinkan aku membayar rindu ini, suatu saat nanti.