Kuliah Umum Kepondokan (KUK) di TMI baru saja selesai. Sampai dua tahun yang lalu, KUK masih dilaksanakan bersamaan di tiga lembaga sekaligus: TMI, MTA, dan UNIA. Waktu itu, KUK adalah bagian dari rangkaian kegiatan yang berlangsung kira-kira sepekan lamanya, dan disebut PERLANTASI, Pekan Perkenalan dan Orientasi, Usbūʿ al-Taʿāruf wa al-Taujīh. Tahun ini, KUK tidak dilaksanakan berbarengan. MTA dan UNIA punya jadwalnya sendiri-sendiri. Demikian juga Pondok Putri I dan Pondok Tegal. Karena jadwal penerimaan santri baru belum selesai, maka KUK di TMI tahun ini diikuti hanya oleh santri-santri lama dan sedikit santri baru yang sudah terdaftar di PSB gelombang pertama. Waktunya juga tidak sampai sepekan, tapi hanya tiga hari: dua hari sekolah diliburkan, sehari terakhir untuk penutupan.

Meski durasinya lebih pendek, tapi bagian inti dari KUK tetap saja sama: perkenalan dan orientasi. Selama tiga hari itu, para santri menerima materi-materi tentang pondok dan seluk beluknya: sejarahnya, tokoh-tokoh pendiri dan pengembangnya, falsafah dan nilai-nilainya, tradisi-tradisinya, serta pedoman cara hidup yang ideal di dalamnya. Tapi perkenalan dan orientasi di KUK tidak hanya disampaikan dalam bentuk kuliah verbal. Nilai-nilai kepondokan juga diinternalisasikan melalui lagu-lagu, terutama tiga yang terpenting: “Himne Oh Pondokku”, “Himne Al-Amien”, dan “Viva TMI”. Tidak ada momen dalam kalender kegiatan TMI selama setahun di mana para santri menyanyikan lagu-lagu itu secara lebih intens dibandingkan momen KUK. Dua lagu pertama, karena berjenis himne, biasanya dikumandangkan dengan khidmat dan syahdu. Sementara lagu terakhir yang berjenis mars, dinyanyikan dengan semangat dan gegap gempita: Viva TMI/ Viva TMI/ panjang usia dan tetap abadi// Viva TMI/ Viva TMI/ menuju cita-cita suci.

Lagu-lagu itu menyatukan seluruh santri dalam satu perasaan: bahwa kita adalah saudara, anak-anak yang lahir dari rahim yang sama. Beberapa kali saya menyaksikan alumni Al-Amien terhanyut oleh perasaan haru saat mereka bersama-sama menyanyikan lagu “Oh Pondokku”. Air mata yang menetes di pipi mereka mungkin punya banyak makna. Tapi satu hal yang pasti, dalam konteks para alumni tersebut, lagu-lagu itu menghubungkan mereka dengan sesuatu dari masa lalu, dengan Pondok, dengan para kiai dan guru, dengan kawan-kawan sealmamater. Melalui itu, mereka menegaskan satu hal: bahwa mereka adalah bagian yang tidak akan pernah lepas dari Al-Amien Prenduan. Mungkin itu sebabnya, lagu-lagu tersebut merepresentasikan Pondok sebagai “ibu”, sang pemilik rahim. Sama seperti agama kita menggunakan istilah “silaturrahim” untuk menegaskan bahwa pertautan antara orang-orang yang terhubung oleh rahim yang sama memang mesti terus dirawat dan tak boleh dibiarkan lepas.

Kepada ibu, kita berbakti, berusaha menunaikan utang yang tak pernah bisa lunas dibayar. Kepada pondok, kita haturkan pengakuan bahwa ia “laksana ibu kandungku/nan kasih serta sayang padaku”. Lagu-lagu kepondokan tersebut menghadirkan imaji tentang ibu dalam totalitas yang penuh. Ibu dengan “kasih dan sayang tercurahkan sepanjang waktu”. Ibu yang di pangkuannya, kita “diasuh dan diasih dalam kedamaian”, lalu jiwa dan raga kita “diasah ‘tuk terjun ke medan juang”. Dengan imaji seperti itu, tidak mengherankan bahwa kita juga berikrar dalam lagu-lagu tersebut tentang pondok yang “setiap waktu ‘kan kukenang selalu/ hingga akhir hayatku”. Juga tekad untuk menjaga keberlangsungan misi dan cita-cita pondok, bahwa misi sucinya akan “kujunjung tinggi/ bersama ridha Ilahi/ agar tercapai cita-citamu/ ‘izzil Islam wal-muslimin”.

Imaji ibu dalam lagu-lagu kepondokan itu tidak dibangun melalui diksi-diksi yang estetis dan rumit seperti dalam puisi “Ibu”, karya D. Zawawi Imron—salah satu puisi tentang ibu yang paling saya sukai. Ia tidak mewujud dalam rupa seorang “bidadari yang berselendang bianglala/ sesekali datang padaku/ menyuruhku menulis langit biru/ dengan sajakku”. Ia sederhana dan merengkuh semua, “tempat naung kita/ dari kecil sehingga dewasa”. Ia tidak digambarkan sebagai sosok yang petuah-petuah spiritualnya membimbing kita dalam satu momen partikular yang genting dan dramatis: “bila aku berlayar lalu datang angin sakal/ Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal”. Ibu di sana, di dalam lagu-lagu kepondokan itu, adalah ibu yang menghadirkan kedamaian yang mengalun dan menenteramkan, rasa batin yang “damai dan sentosa/ dilindungi oleh Allah Taʿala.” 

Tentu saja, lagu-lagu itu menggugah dan menggerakkan. Mungkin karena ia menempatkan kita dalam perjuangan yang tidak sendirian. Para penggubahnya, kita tahu, adalah pejuang-pejuang. Melalui lagu-lagu itu, mereka menarik kita ke dalam barisan. Pasti sulit untuk bisa sebaik dan segigih mereka dalam berjuang. Tapi lagu-lagu itu membimbing kita untuk menjadikan mereka teladan. Dan di jalan itu, kita berproses bersama-sama, tidak sendiri-sendiri. Perjuangan di satu sisi, kebersamaan di sisi yang lain.

Saya kira, itulah mengapa lagu-lagu seringkali menjadi penyemangat dalam sebuah gerakan. Bukan unsur estetisnya yang penting. Bukan juga semata-mata karena aransemen musikalnya. Tapi karena ia pernah menemani kita dalam sebuah perjuangan dan kebersamaan yang intens. Dalam momen perang Khandaq, para Sahabat menggali parit guna melindungi kota Madinah. Mereka kepayahan dan kelaparan, tapi tak ada alasan untuk menunggu dan menunda. Pasukan musuh yang berjumlah besar sedang bergerak mendatangi mereka. Saat itu, Rasulullah SAW tidak tinggal diam. Sambil ikut menggali dan mengangkut tanah, beliau bersama para Sahabat menyenandungkan syair karya Abdullah b. Rawāḥah, “Wallāhi law lā Allāh ma ihtadaynā/ wa lā tashaddaqnā wa lā shallaynā// Fa anzilan sakīnatan ʿalaynā/ wa tsabbit al-aqdām in lāqaynā// Inna al-ulā qad baghaw ʿalaynā/ idzā arādū fitnatan abaynā”. Memang tidak sama persis seperti lagu-lagu di zaman kita. Tapi diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menyenandungkannya dengan suara lantang, serta memanjangkan bagian-bagian akhir dari bait-bait syair tersebut. Syair itu, yang menggunakan kata ganti plural (nā) dalam setiap bagiannya, berhasil membakar semangat para Sahabat dan menyatukan mereka dalam satu ikatan perjuangan bersama.

Itu juga sebabnya, saya kira, mengapa banyak negara memiliki lagu kebangsaan. Untuk menegaskan identitas “kita” dan mengobarkan semangat juang. Ketika suporter timnas bersama-sama menyanyikan lagu “Tanah Airku” di Stadion Gelora Bung Karno, itu terasa sebagai momen yang sungguh magis, semacam peneguhan untuk yel yang dipopulerkan Valentino Simanjuntak: “Siapa kita? Indonesia!” Begitu juga dengan klub sepak bola Liverpool yang baru saja ditahbiskan sebagai juara EPL musim ini. Suara ribuan suporter yang menyanyikan lagu “You’ll Never Walk Alone” di stadion Anfield adalah penanda tentang bagaimana sebuah lagu beralih menjadi bukan sekedar nyanyian. Ia menjelma menjadi simbol, menjadi pengingat, menjadi pengikat, menjadi rambu, menjadi instrumen pewarisan nilai-nilai.

Lan tasīra waḥdaka abadan. You’ll never walk alone. Di jalan juang ini, selamanya, tak akan pernah kau berjalan sendirian.