Idul Adha selalu datang dengan pesan agung tentang pengorbanan, kesabaran, dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. Umat Islam mengenang kembali peristiwa luar biasa ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diuji untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail, sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Allah. Dalam ujian itu, keduanya menunjukkan tingkat keimanan dan kepasrahan yang tak tertandingi: ayah yang rela mengorbankan, dan anak yang siap dikorbankan demi menjalankan titah Tuhan.

Namun, di balik kisah pengorbanan besar itu, ada satu sosok yang kadang terlupa, tetapi tidak kalah pentingnya, yaitu Sayyidah Hajar, ibu dari Nabi Ismail. Dialah perempuan mulia yang meletakkan dasar keimanan dalam jiwa anaknya, yang dengan sabar dan ikhlas menerima keputusan suaminya, dan yang dengan teguh bertahan dalam keterasingan gurun demi menjalankan perintah Allah SWT. Ia bukan hanya saksi, tapi pelaku utama dalam perjalanan iman ini.

Peringatan Idul Adha seharusnya menjadi momen untuk meneladani seluruh keluarga Nabi Ibrahim, termasuk keteguhan Sayyidah Hajar, yang ketabahannya telah Allah abadikan dalam ritual haji melalui ibadah sa’i antara bukit Shafa dan Marwah.

Ujian Itu Bernama Kesabaran dan Keikhlasan

Dalam Pembukaan Gebyar Idul Adha 1446 H yang digelar di GESERNA (31/5), seluruh santriwati menyimak dengan khidmat tausiyah dari Ny. Hj. Anisah Fathimah Zarkasyi. Beliau menyampaikan bagaimana setiap hamba Allah akan diuji dengan kesabaran dan keikhlasan:

“Perintah Allah yang diberikan kepada setiap hamba, itu Allah akan lihat, sejauh mana kesabaran seseorang terhadap perintah-Nya. Seikhlas mana seorang hamba menerima perintah. Diuji kesabarannya, diuji keikhlasannya.”

Penggalan nasihat di atas bukan sekadar kutipan motivasi, melainkan cermin yang memantulkan esensi ibadah qurban. Setiap perintah Allah membawa serta ujian dalam bentuk keikhlasan dan kesabaran. Dan di antara manusia yang telah lulus dalam ujian berat itu adalah Sayyidah Hajar, istri Nabi Ibrahim dan ibu Nabi Ismail.

Ujian yang dihadapi keluarga Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa setiap orang bisa diuji dengan cara yang berbeda, namun semua mengarah pada satu hal: kesabaran dan keikhlasan untuk taat dan beriman kepada Allah. Nabi Ibrahim diuji untuk mengorbankan anak yang sangat dicintainya, Nabi Ismail diuji dengan kesediaan untuk disembelih demi menjalankan perintah Ilahi, dan Sayyidah Hajar diuji dengan keikhlasan untuk ditinggalkan di padang tandus bersama bayi kecilnya, lalu merelakan putranya jika memang itu kehendak Allah.

Dalam ujian yang begitu berat, ketiganya memilih untuk tunduk dan taat. Maka jika kita merasa diuji dengan keterbatasan, kesendirian, atau takdir yang tidak kita inginkan, ingatlah bahwa Sayyidah Hajar tidak berteriak menolak, tidak menuntut penjelasan, melainkan berserah, berusaha, dan percaya, itulah kekuatan sebenarnya dari seorang hamba yang mencintai Tuhannya.

Sayyidah Hajar: Teladan Sepanjang Zaman

Sayyidah Hajar adalah perempuan Mesir yang dalam sejarah disebut sebagai pelayan di rumah Sarah, istri pertama Nabi Ibrahim. Namun, kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh statusnya di mata manusia, melainkan oleh keteguhannya di hadapan Allah.

Ketika Sayyidah Hajar dinikahi oleh Nabi Ibrahim dan dikaruniai putra bernama Ismail, ia tidak pernah menyangka bahwa anak itu kelak akan menjadi bagian dari sejarah besar umat manusia. Namun, kebahagiaan itu segera berganti ujian: Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan Sayyidah Hajar dan Ismail yang masih menyusu di sebuah lembah tandus, sunyi, dan tanpa kehidupan, tempat yang kini kita kenal sebagai Makkah.

Dengan rasa penasaran, Sayyidah Hajar bertanya kepada suaminya, “Wahai Ibrahim, apakah ini perintah dari Allah?” Dan saat dijawab, “Ya,” ia langsung berkata tegas,

“Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.” Jawaban Sayyidah Hajar ini menjadi puncak keikhlasan seorang hamba. Ia ditinggal tanpa jaminan hidup, tapi tetap yakin pada jaminan Allah.[1]

Sa’i: Iman yang Terus Bergerak

Sejarah sa’i berakar dari kisah saat Sayyidah Hajar ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah di lembah Bakkah (sekarang Makkah), bersama bayinya yang masih menyusu, Ismail. Tempat itu sunyi, tandus, dan tanpa sumber air.

Ketika Ismail menangis kehausan, Hajar tidak diam menunggu keajaiban. Ia berlari dari bukit Shafa ke Marwah, lalu kembali lagi. Ia lakukan ini sebanyak tujuh kali, bukan karena kehilangan arah, tetapi karena keyakinan bahwa pertolongan Allah datang setelah usaha. Dan benar saja, dari bawah kaki Ismail, air zamzam memancar, menjadi tanda cinta Allah pada perjuangan seorang ibu.

Allah mengabadikan perjuangan Hajar dengan menjadikan sa’i sebagai bagian dari rukun haji dan umrah yang kini diikuti jutaan umat Islam setiap tahunnya. Sa’i bukan sekadar lari-lari kecil, tapi simbol dari keyakinan, usaha, dan doa yang tak henti-henti. Sayyidah Hajar tidak hanya diam menunggu keajaiban, tetapi ia bergerak, berusaha, berharap. Ia tak tahu dari mana datangnya pertolongan, tapi ia tahu bahwa Allah pasti akan menolong.

Membesarkan Ismail, Menanamkan Ketaatan

Nabi Ismail tumbuh besar di bawah bimbingan ibunya. Bukan dalam kelimpahan dan kemewahan, tapi dalam ketakwaan. Maka ketika perintah penyembelihan datang kepada Nabi Ibrahim, Ismail tidak ragu untuk patuh. Dialog Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail diabadikan dalam ayat Al-Qur’an:

لَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ ﴿الصافات: 102﴾

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.  (QS. Ash-Shaffat: 102)

Sikap Ismail adalah bukti pendidikan ruhani dari ibunya. Sayyidah Hajar telah menanamkan dalam dirinya bahwa ketaatan kepada Allah lebih utama dari apa pun, bahkan lebih utama dari hidup itu sendiri.

Penutup: Menghidupkan Semangat Sayyidah Hajar dalam Dzulhijjah Ini

Mari merayakan Idul Adha dengan semangat, khususnya dalam acara GIA di Pondok kita tercinta. Namun, jangan sampai kita melupakan hakikatnya: pengorbanan, keikhlasan, dan ketaatan kepada Allah.

Jadikan momentum Idul Adha ini sebagai saat yang tepat untuk mengenang dan meneladani Sayyidah Hajar, perempuan mulia yang tidak hanya setia dalam penantian, tapi juga tangguh dalam pengabdian. Ia tidak lari menjauh dari ujian, justru berlari menjemput pertolongan Allah. Ia tak banyak berkata-kata, namun setiap jejak langkahnya antara Shafa dan Marwah menjadi warisan iman yang tak lekang oleh zaman. Dalam diamnya, ia mengajarkan bahwa kesabaran dan keyakinan adalah bentuk pengorbanan yang paling dalam.

Teladanilah kesabaran, keikhlasan, dan iman Sayyidah Hajar. Sebab setiap dari kita-santriwati, guru, atau siapa pun akan senantiasa diuji dengan ujian kesabaran dan keikhlasan. Tapi seperti Sayyidah Hajar, kita harus yakin sepenuh hati: “Allah tidak akan menelantarkan kami.”

Semoga Allah menjadikan langkah-langkah kita sekuat langkah Hajar, dan doa-doa kita setegar harapannya. Aamiin…

Wallahu a‘lam bish-showaab.