Saya punya buku baru, hadiah dari seorang kawan. Penulisnya seorang pendeta Buddha Zen yang pernah dinominasikan untuk Nobel Perdamaian di tahun 1967. Namanya sulit saya lafalkan: Thich Nhat Hanh. Judul bukunya menarik. Silence: The Power of Quiet in a World Full of Noise. Kata kawan saya, saat melihat judul buku tersebut, ia tiba-tiba teringat saya, lalu memutuskan untuk membeli dan menghadiahkannya ke saya. Entah bagian yang mana dari judul buku itu yang sesuai dengan profil saya; yang quiet atau yang full of noise?
Buku itu sendiri “enak dibaca dan perlu”. Bahasanya ringan. Isinya berbobot. Tentang diet “suara” di dunia yang semakin bising. Tapi catatan ini bukan tentang buku itu dan isinya. Ide untuk menulisnya bermula ketika kawan saya meminta saya untuk memperhatikan sesuatu yang saya duga adalah stempel di sampul bagian dalam buku tersebut.
Stempel itu simpel. Gambar wajah seseorang yang dilingkari oleh dua tulisan, satu di atas dan satu di bawah, dalam huruf kapital: SHAKESPEARE AND COMPANY, KILOMETER ZERO PARIS. Saya tidak paham. Gambar dan deretan kata itu tidak mengingatkan saya kepada apapun. Kawan saya bilang, “Itu lho, Kak, toko buku yang terkenal itu”. Saya tetap bengong. Barangkali dengan gemas karena saya tidak kunjung mengerti, dia berkata lagi, “Ah, Sampean googling saja deh.”
Beberapa saat kemudian, dalam perjalanan pulang, saya membuka gawai, mencari informasi. Shakespeare and Company. Ternyata itu nama sebuah toko buku terkenal di jantung kota Paris. Pantas, kawan saya tampak heran ketika tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa tentang toko buku ini. Padahal, dalam sebuah situs internet, ia diletakkan di urutan pertama dari “10 toko buku paling tersohor di muka bumi” (the 10 most famous bookstores in the world). Mestinya saya tahu, mungkin begitu pikirnya. Ternyata tidak.
Dalam konteks yang lebih luas, hal itu menyadarkan saya tentang hal lain. Ternyata pengetahuan saya tentang toko-toko buku ternama sungguh terbatas. Saya amatir dalam hal itu. Yang akrab di ingatan saya hanyalah nama-nama toko buku mainstream di Indonesia, seperti Gramedia, Toga Mas, atau Social Agency di Yogyakarta. Atau lokasi-lokasi di mana lapak-lapak penjual buku bertebaran, seperti Shopping di Yogya (kabarnya, sekarang berubah nama menjadi Taman Pintar) dan Kwitang di Jakarta. Yang di luar negeri? Hampir tidak ada. Saat di Mekah dulu, saya beberapa kali ke toko buku, tapi kenangan saya tentang itu tak jauh beda dari kenangan mengunjungi beberapa restoran atau toko waralaba: nyaris tak berbekas. Pernah juga saya dengar cerita-cerita tentang toko buku di Kairo atau di Beirut. Tapi, ya itu saja. Bahkan dari daftar 10 toko buku paling terkenal yang saya kutip di atas, tidak ada satu pun yang saya ingat pernah mendengar namanya.
Berdasarkan apa yang saya baca kemudian, ada di antara toko-toko buku terkemuka itu yang memiliki sejarah lumayan panjang. Meski demikian, jejak awalnya tetap bisa ditelusuri di masa modern ini, masa ketika buku sudah diperbanyak dengan mesin cetak. Jauh di masa lalu, saat buku masih ditulis dan disalin dari tangan ke tangan, toko-toko buku yang bermunculan adalah dari jenis yang sedikit berbeda. Toko buku itu biasanya dimiliki oleh para warrāq (penyalin naskah) sekaligus menjadi tempat mereka bekerja. Tempat produksi sekaligus pemasaran, pabrik sekaligus toko. Literatur-literatur sejarah menyebutnya dengan “dukkān/ḥānūt al-warrāqīn”. Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg perlahan-lahan memunahkan profesi para warrāq berikut tempat-tempat mereka bekerja. Penjualan buku tidak lagi terlalu terikat dengan tempat di mana ia diproduksi. Maka sebagian besar toko buku modern hanya menjual buku dan tidak memproduksinya di tempat yang sama. Sejenis warung makan tanpa dapur.
Beberapa toko buku, baik di masa lalu maupun di masa kita ini, menciptakan keintiman dengan para pelanggannya. Keintiman yang mengikat dan memanggil. Rasa dekat yang muncul bukan semata-mata karena satu pihak pernah menjual dan pihak lain pernah membeli. Mereka tetaplah “toko”, atau “dukkān”, atau “ḥānūt”, atau “store”,atau “seller”, tapi mereka semua melampaui batasan makna nama-nama tersebut. Yang mereka jual di sana bukan hanya buku sebagai benda mati. Alih-alih sekedar menjadi pasar tempat uang beredar dan hak kepemilikan buku berpindah tangan, toko-toko buku itu menjadi magnet diskusi dan pusaran pertukaran gagasan. Orang-orang masuk ke dalamnya, lalu yang mereka bawa pulang tidak hanya buku, tapi juga keriuhan ide, keragaman perspektif, dorongan untuk berkontemplasi, atau bahkan gugatan atas kemapanan. Itulah yang terjadi di dakākīn al-warrāqīn yang menyebar di banyak kota di masa lalu. Para ulama, pemikir, penulis, pelajar, dan penggiat buku secara rutin mengadakan pertemuan di sana; bertukar pikiran, berdiskusi, berdebat, menguji argumentasi bersama kolega-kolega terbaik. Itu pula yang terjadi pada Shakespeare and Company yang konon sempat dikunjungi secara rutin oleh penulis-penulis terkenal, seperti James Joyce, Ernest Hemingway, F.S. Fitzgerald, T.S. Eliot, James Baldwin, dan lain sebagainya.
Belakangan, bermunculan di banyak tempat “kafe buku”, toko buku sekaligus kafe. Perpaduan yang menarik. Orang-orang barangkali menyadari bahwa aktivitas ngopi bareng cenderung merangsang kita untuk mengobrol, berbincang, dan berdiskusi. Kalau tempat ngopi dipadukan dengan toko buku, maka ia bisa bermanfaat untuk “menyelamatkan anak bangsa dari bahaya kekurangan kopi” sekaligus memelihara otak dan batin mereka dari kekurangan nutrisi.
Bagaimanapun caranya, toko buku sebaiknya memang menghadirkan pengalaman yang intim bagi pengunjungnya, bukan malah mengintimidasi. Ia bukan tempat yang membuat siapapun yang memasukinya ingin segera menyelesaikan urusan, lalu buru-buru keluar. Caranya bisa beragam. Kafe buku itu salah satunya. Atau sekedar dengan memasang penyejuk ruangan sehingga kita bisa ngadem di sana pada siang yang terik. Atau dengan menyajikan suasana yang bersahabat. Di beberapa toko buku, kita bisa menghabiskan waktu seharian meski tanpa niat membeli, berkeliling guna mengamati dan membaca buku tanpa merasa dicurigai. Konsep ini konon diinspirasi oleh James Lackington di London, melalui toko bukunya, “The Temple of the Muses”, yang dianggap merevolusi cara menjual buku pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Toko buku dengan definisi yang mendekat ke perpustakaan.
Soal toko buku yang mirip perpustakaan ini, ada sesuatu yang menarik. Ini tentang orang-orang Arab dan istilah yang mereka gunakan. Salah satu padanan kata “toko buku” dalam bahasa Arab adalah “maktabah”, sebuah kata yang juga bermakna “perpustakaan”. Di Mesir, misalnya, ada Shorouk International Bookstore. Dalam bahasa Arab, ia disebut Maktabah al-Syurūq al-Dauliyyah. Di Saudi, ada Jarir Bookstore yang dalam bahasa Arab disebut Maktabah Jarīr. Maka “maktabah” itu ya bisa perpustakaan, bisa juga toko buku. Orang-orang Arab jadi tidak perlu repot-repot menciptakan istilah baru untuk menyebut toko buku yang bernuansa perpustakaan. Santri-santri di TMI yang biasa menyingkat toko buku menjadi “tobu” barangkali akan menyebut toko buku yang mirip perpustakaan itu dengan “perpus-tobu-an”.
Bahwa perpustakaan bisa juga mengintimidasi, kadang-kadang memang begitu. Terutama jika ia dijaga oleh orang yang tidak ramah. Bayangkan jika itu adalah toko buku, dikelola dan dijaga oleh mereka yang tidak memperlihatkan rasa riang berhadapan dengan buku. Sudah berbayar, seram pula. Maka, di atas segalanya, keintiman itu dibangun melalui relasi antar manusia. Jika toko buku dikelola oleh orang-orang yang mencintai buku, dijaga oleh siapapun yang misi mereka adalah menularkan passion terhadap buku kepada sebanyak-banyaknya orang, maka ia kiranya akan menjadi tempat yang menginspirasi. Apalagi jika toko buku itu ada di pesantren, di tengah-tengah para santri yang memang semestinya menjadikan buku sebagai “teman terbaik” mereka.
Ada dua toko buku di TMI. Satu di putra dan satu di putri. Sudah lumayan, tapi belum sepenuhnya sesuai harapan. Saya ingin menjadikannya lebih konstruktif dan inspiratif bagi upaya meningkatkan minat santri untuk membeli dan membaca buku sekaligus untuk berdiskusi dan memperluas wawasan. Untuk itu, saya akan sangat menghargai semua bentuk usul, saran, dan bantuan.