
Sejak dahulu, Catatan Pinggir–nya Goenawan Mohamad adalah salah satu bacaan favorit saya. Saat membaca majalah Tempo yang jarang sekali bisa didapat ketika nyantri dulu, saya biasa memulainya dari belakang, dari tempat di mana rubrik itu terletak. Kenikmatan membacanya tidak berubah sampai sekarang. Mungkin bukan semata karena isinya. Apalagi di zaman nyantri dulu, ketika usia saya masih belasan, tentu saja konten tulisan Goenawan cukup berat untuk sepenuhnya dicerna. Saya menikmati esai-esai itu barangkali lebih karena cara Goenawan menuliskannya: pilihan katanya, penggalan kalimatnya, serta alunan ritmis yang ditimbulkannya dalam hati dan pikiran.
Sejak kurang lebih setahun yang lalu, Catatan Pinggirtidak lagi menjadi rubrik tetap di majalah Tempo. Ia digantikan rubrik lain, “Marginalia”. Saya belum pernah membacanya. Tapi nama baru itu tampaknya mengisyaratkan format yang tidak jauh berbeda. Catatan pinggir ya marginalia, sejenis catatan atau komentar yang kita tuliskan di pinggir halaman buku yang sedang dibaca. Bedanya, rubrik Marginalia ditulis tidak hanya oleh Goenawan, tapi bergantian dengan beberapa penulis lain.
Dalam tradisi literasi Arab, catatan pinggir atau marginalia itu dikenal dengan nama hāmisy. Dulunya, kata itu sebetulnya menunjuk kepada tempat kosong di bagian tepi dari halaman sebuah buku. Tapi pada perkembangannya, hāmisy kemudian juga meliputi catatan atau anotasi yang ditulis di pinggir halaman tersebut. Jadilah catatan pinggir. Karena itu, di salah satu edisi majalah Tempo di bulan Juli 2023, marginalia ditelisik asal-usulnya melalui kata “hawāmisy”, bentuk plural dari “hāmisy”. Belakangan, makna kata hāmisy itu memang menjadi semakin luas. Catatan yang ditulis di bagian kosong yang manapun dari halaman sebuah buku, termasuk “makna” yang dicatat oleh para santri di lembaran kitab-kitab yang mereka pelajari, kadang juga disebut hāmisy. Orang-orang Arab bahkan menyebut catatan kaki (footnote) dalam sebuah tulisan ilmiah juga dengan kata hāmisy.
Meski demikian, kata hāmisy tidak berkembang menjadi nama yang populer untuk jenis tulisan tertentu. Yang populer adalah kata yang lain, yaitu ḥāsyiyah. Makna dasarnya sebetulnya sama dengan hāmisy: ruang kosong di tepi halaman buku, lalu catatan yang ditulis di sana. Tapi berbeda dengan hāmisy, kata ḥāsyiyah kemudian lazim digunakan sebagai tajuk dari banyak sekali buku. Salah satu yang populer di kalangan pesantren adalah Ḥāsyiyah al-Shāwī ʿalā Tafsīr al-Jalālayn, yang ditulis oleh Aḥmad b. Muḥammad al-Shāwī al-Mālikī al-Khalwatī.
Sebagai sebuah jenis kitab, ḥāsyiyah biasanya tidak berdiri sendiri. Ia mengacu kepada literatur yang lain. Seperti kitab Ḥāsyiyah al-Shāwī yang mengacu kepada Tafsīr al-Jalālayn. Ia sejenis kitab turunan, bahkan seringkali turunan kedua. Commentary atau super-commentary.
Pada mulanya, ada seorang ulama menulis kitab yang merangkum pokok-pokok pembahasan dalam sebuah disiplin keilmuan. Katakanlah, al-Nawawī menulis Minhāj al-Thālibīn dalam fiqih Syāfiʿiyyah. Atau Ibn Mālik menulis al-Alfiyyah dalam gramatika bahasa Arab. Jenis kitab seperti ini disebut kitab matn, dan digunakan sebagai dasar pembelajaran pada bidang ilmu terkait pada levelnya masing-masing. Banyak pelajar menghafalkannya sebagai pegangan. Tetapi kitab semacam ini, yang biasanya memang diniatkan untuk merangkum prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah pokok, kadang-kadang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Maka ulama lain menulis kitab-kitab yang disebut dengan syarḥ, berisi komentar dan penjelasan untuk kitab matn tadi. Ibn Ḥajar al-Haytamī, misalnya, menulis syarḥ untuk kitab Minhāj al-Thālibīn berjudul Tuḥfah al-Muḥtāj. Ibn ʿAqīl juga menulis syarḥ untuk Alfiyyah Ibn Mālik.
Di mana posisi ḥāsyiyah? Saat dirasa bahwa syarḥ yang ada ternyata masih perlu ditambahi dengan komentar, catatan, koreksi, atau hal-hal lainnya, maka ulama menulis ḥāsyiyah. Ia menjadi komentar atas komentar, catatan untuk syarḥ. Al-Syarwānī menulis kitab yang kemudian dikenal dengan Ḥāsyiyah al-Syarwānī ʿalā Tuḥfah al-Muḥtāj. Al-Khudharī juga menulis ḥāsyiyah untuk kitab Syarḥ Ibn ʿAqīl. Dengan pola semacam itu, meski terkadang ada pengecualian-pengecualian, maka ḥāsyiyah adalah turunan kedua dari matn.
Sebagai turunan dari literatur yang lebih awal, syarḥ maupun ḥāsyiyah ditulis pada masa yang agak belakangan. Selain dua jenis turunan itu, masih ada beberapa istilah lain yang juga digunakan, seperti mukhtashar, taqrīr, taḥrīr, tatimmah, dan lain sebagainya. Pengertiannya bisa berbeda-beda, konteks penggunaannya juga beragam. Tapi semuanya mengacu kepada karya-karya turunan yang muncul pada periode pos-klasik (post-classical period) atau periode pra-modern, sekitar abad ke-6 sampai abad ke-13 Hijriah. Kira-kira di periode pertengahan antara masa klasik dan masa modern.
Abad-abad itu kerap dikonotasikan dengan masa kegelapan peradaban Islam, masa melemahnya kreativitas dan orisinalitas. Karena itu, bagi sebagian orang, kecenderungan menulis syarḥ, ḥāsyiyah, atau karya-karya turunan lainnya adalah penanda yang sangat akurat bahwa para intelektual muslim di masa itu tidak lagi menghasilkan karya-karya yang orisinal, kreatif, dan inovatif. Mereka hanya mengulang-ulang, mengutip karya-karya terdahulu, atau menambahkan sesuatu yang tidak penting. Anggapan ini bukan hanya dikemukakan oleh banyak orientalis awal, seperti Hurgronje, Schacht, Watt, Rosenthal, dan beberapa yang lain, tapi ia juga diamini oleh beberapa intelektual muslim modernis.
Bukan tidak ada bantahan untuk anggapan tersebut. Generasi sarjana Barat yang lebih belakangan, beberapa di antara mereka adalah muslim, menolak klaim itu sebagai sesuatu yang terlampau simplifistik. Dasarnya tidak cukup kuat. Bukti-buktinya terbatas dan tidak akurat. Pada tahun 2012, diselenggarakan sebuah seminar di University of California dengan tema: The Ḥāshiya and Islamic Intellectual History. Seminar yang berlangsung selama dua hari ini mengulas banyak hal tentang tradisi penulisan ḥāsyiyah berikut peran yang dimainkannya bagi sejarah intelektual umat Islam. Saya tidak punya prosidingnya. Tapi dari pengantar yang saya baca, agaknya muncul kesadaran yang cukup luas di kalangan para pengkaji sejarah intelektual Islam bahwa masa pra-modern itu jauh lebih kaya dibandingkan dengan apa yang dipersepsikan secara negatif oleh para peneliti sebelumnya. Saat ini, sudah 12 tahun berlalu sejak seminar tersebut, dan besar kemungkinannya bahwa kajian-kajian yang lebih komprehensif sekaligus lebih rinci tentang tradisi intelektual Islam di periode pertengahan itu terus bermunculan.
Saya tidak memiliki data perkembangan diskusi itu. Yang saya punya adalah kutipan dari Walid Saleh, seorang penulis lain yang karya-karyanya juga saya sukai. Masih dari tahun 2012. Dia bilang bahwa kecenderungan untuk menganggap abad pertengahan sebagai masa kegelapan sejarah intelektual Islam biasanya lahir dari paham historiografi romantis yang berkembang di abad ke-18 atau 19 dalam peradaban Barat. Paham ini memiliki gagasannya sendiri tentang orisinalitas yang representasinya mewujud dalam sosok-sosok para jenius kreatif. Seorang pengarang mesti punya “suara kepengarangan” (authorial voice) miliknya sendiri yang otonom dan berbeda. Ḥāsyiyah adalah antitesis dari karya tulis yang otonom dalam pandangan historiografi romantis. Ḥāsyiyah tidak otonom, tidak otentik, sehingga karenanya tidak menempati posisi yang penting dalam sejarah intelektual. Karena dibimbing dan diarahkan oleh pra-asumsi Romantisisme yang berat sebelah itu, maka Walid Saleh percaya bahwa klaim tentang tradisi penulisan ḥāsyiyah sebagai penanda kemunduran intelektual Islam abad pertengahan adalah klaim yang layak untuk diragukan.
Saya lebih cocok dengan pendapat Walid Saleh dan kawan-kawannya. Alasannya tidak murni akademis. Saya merasa banyak memperoleh manfaat dari literatur-literatur berjenis ḥāsyiyah itu. Pemahaman keagamaan, wawasan keilmuan, dan pandangan-dunia yang saya miliki dibentuk sebagiannya oleh literatur-literatur tersebut—literatur-literatur yangsaya kiratidak kehilangan authorial voice-nya, tidak kehilangan kreativitasnya. Sama seperti saya meyakini bahwa Catatan Pinggir memberikan warna yang cukup kuat bagi cara saya menuliskan gagasan, meski kreativitas Goenawan kadang-kadang diremehkan oleh orang-orang yang melabelinya sebagai “raja-kutip”.
Hingga saat ini, saya terus membaca beragam ḥāsyiyah dan mengambil pelajaran-pelajaran penting darinya. Saya juga terus membaca Catatan Pinggir dan tidak berhenti menikmatinya. Ada sejumlah ḥāsyiyah yang menjadi bagian koleksi buku saya. Demikian juga beberapa jilid dari buku Catatan Pinggir. Beberapa waktu yang lalu, tanpa diduga, saya memperoleh hadiah 5 jilid terakhir dari Catatan Pinggir. Jilid 11 sampai jilid 15. Hadiah ulang tahun yang dengan suka hati saya terima. Tulisan ini adalah cara sederhana saya untuk berterima kasih kepada Ali n’ The Gank yang menghadiahkan kepada saya jilid-jilid buku tersebut.