Semakin tinggi seseorang menempati tingkat tertentu, semakin besar pula tanggung jawab, amanah dan serba-serbi persoalan yang akan ia hadapi. Ini merupakan hukum alam.
Santri kelas akhir (nihā’īe) adalah santri yang menempati posisi menjelang finish dalam perjalanan mereka menempa diri, selama belajar di TMI Al-Amien Prenduan. Dari segi senioritas, jelas, santri nihā’īe tentu menempati tingkat, yang tidak ada lagi tingkatan santri yang lebih tinggi setelah mereka. Inilah yang membuat mereka istimewa.
Predikat istimewa yang disandang santri nihā’īe, bukan semata-mata untuk menempatkan mereka sebagai santri yang perlu diberi perhatian khusus. Ketika mencapai kelas akhir dan menyandang gelar santri nihā’īe, mereka istimewa dengan sendirinya. Karena mereka mengemban tugas sebagai santri pembelajar (țhālibul ‘ilmi), pengajar(mu’allim), dan pengurus organisasi (mudabbir) sekaligus.
Sebagai santri pembelajar (țhālibul ‘ilmi), santri nihā’īe menjalankan aktivitas belajar yang sama sebagaimana para santri lainnya. Sama-sama mengikuti pembelajaran di kelas. Sama-sama bertanggung jawab terhadap kewajiban akademik yang harus mereka capai. Artinya, menjadi santri nihā’īe harus bisa memosisikan diri serta mengatur waktu dengan baik untuk belajar, di tengah aktivitas mereka yang padat.
Di samping aktivitas belajar, santri nihā’īe juga memiliki tugas sebagai pengajar (mu’allim), yang menangani aktivitas belajar santri di luar kelas. Santri nihā’īe merupakan garda terdepan yang bertanggung jawab mengayomi para santri di bawah tingkat mereka, dalam meningkatkan kemampuan mengaji, keilmuan, kebahasaan dan kompetensi santri lainnya. Nah, di sinilah medan untuk menguji talenta dan kemampuan santri nihā’īe. Sehingga, mau tidak mau mereka harus memiliki kompetensi lebih, atau mengasah kembali kompetensi yang mereka anggap kurang, untuk memenuhi tanggung jawab mereka.
Karena dianggap sebagai santri yang memiliki segudang pengalaman, santri nihā’īe juga menjadi pengurus organisasi santri (mudabbir). Mereka adalah pengendali kemudi aktivitas kehidupan santri. Mulai dari membangunkan santri, mengatur disiplin santri, menindak santri yang melanggar, dan mendampingi santri yang membutuhkan bimbingan secara langsung.
Itulah ilustrasi sederhana aktivitas santri nihā’īe di TMI Al-Amien Prenduan. Semua itu, tentu melalui latihan dan proses persiapan yang panjang, sejak mereka menjadi santri di kelas-kelas sebelumnya. Mulai menjadi ketua kelas, ketua di kelompok-kelompok kecil, dan sebagainya. Pendek kata, santri nihā’īe telah memiliki bekal, mental dan pengalaman yang cukup, dalam menjalankan tiga fungsi tersebut secara bersamaan.
Mengkader Pemimpin
Salah satu visi pendidikan di TMI Al-Amien Prenduan, yakni mencetak kader pemimpin umat (mundzirul qaum) yang bertanggung jawab dan mutafaqih fi al-dīn. Tentu ini merupakan manifestasi dari firman Allah di surah al-Baqarah ayat 30, īnnī jā’ilun fi al-ardhi khalīfah—sesungguhnya aku hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dalam tata bahasa Arab, kata khalīfah tidak merujuk pada jenis kelamin atau kelompok tertentu. Sehingga, baik santri putra maupun putri, harus menjalankan fungsi khalīfah fi al-ardhi dengan sebaik-baiknya.
Puncak pembangunan karakter melalui sistem pendidikan di TMI Al-Amien Prenduan, tercermin dari sikap dan tanggung jawab santri nihā’īe dalam menjalankan tugas-tugasnya secara optimal. Maka, selain menjalankan tiga fungsi di atas, di kelas akhir santri nihā’īe juga memperoleh bekal wawasan melalui program-program nihā’īe yang bertujuan menguji kompetensi mereka sebelum benar-benar terjun di tengah-tengah masyarakat, setelah menjadi alumni.
Beberapa kompetensi yang harus mereka penuhi, pertama, kompetensi diri (individual competences). Untuk memenuhi kompetensi ini, santri nihā’īe akan diarahkan untuk mengenal diri mereka lebih dalam lagi. Program yang mendukung mereka dalam kompetensi ini, misalnya penulisan otobiografi, dengan mengenal kelebihan dan kekurangan dalam diri masing-masing. Karena dengan mengetahui itu semua, mereka akan mudah untuk merencanakan dan menentukan langkah-langkah mereka selanjutnya, baik secara akademik, karir dan pengabdian masyarakat.
Kedua, kompetensi spiritual (spiritual competences). Ini adalah bentuk lanjutan dari kompetensi yang pertama. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., man ‘arafa nafsahū fa qad ‘arafa rabbahū—siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya. Dengan demikian, kompetensi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran muāmalah ma’allāh, melalui ibadah amaliyah, wawasan keagamaan dan keulamaan. Artinya, santri nihā’īe seharusnya memiliki tingkatan kesadaran ibadah yang lebih tinggi tinimbang santri-santri lainnya.
Ketiga, kompetensi sosial (social competences). Melalui kompetensi ini, santri nihā’īe dituntut untuk mengasah kepekaan sosial, ketika mereka kembali ke masyarakat. Kompetensi sosial, berupa praktik-praktik kecakapan santri melaui program penulisan khutbah Jumat, imāmah, dan lainnya. Di sinilah uji kompetensi mereka lakukan, dengan mempraktikkan secara langsung, misalnya menjadi imam, membaca khutbah, dan aktivitas ibadah lainnya, di tengah-tengah para santri.
Keempat, kompensi intelektual (intelectual competences). Kompetensi ini, bertujuan untuk melatih daya pikir dan daya cipta santri nihā’īe, untuk memproduksi pengetahuan dari pengalaman membaca dan mengamati persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar mereka. Program yang mendukung kompetensi ini, misalnya penulisan paper ilmiah. Para santri diarahkan untuk melakukan penelitian sederhana tentang isu-isu terkini, baik yang berkembang di kalangan santri maupun isu-isu umum menarik lainnya.
Kelima, kompetensi pendidikan (educational competences). Boleh jadi, kompetensi ini merupakan jantung dari program-program lain yang harus dituntaskan oleh santri nihā’īe. Sebab, harapan dari para almarhūmīn, apa pun profesi yang dimiliki para alumni, harus memiliki jiwa guru—mengedukasi dan membuat orang lain tahu, sesuai kepakarannya. Program yang mendukung kompetensi ini, salah satunya praktik mengajar di kelas. Santri nihā’īe akan mendapatkan bimbingan, bagaimana mempersiapkan materi ajar (i’dād al-tadrīs) untuk kemudian dipraktikkan di ruang-ruang belajar santri.
Untuk menjalankan uji kompetensi tersebut, santri nihā’īe perlu mempersiapkan mental yang lebih matang dan memperhatikan agenda yang sudah ditetapkan. Sehingga tidak lagi ada agenda yang terabaikan. Apalagi, ada yang sampai dengan sengaja mengabaikan agenda tersebut, tanpa alasan substantif. Santri nihā’īe, bukan lagi berada pada level kesadaran ‘terpaksa’ dalam menjalankan program-program yang memang dirancang untuk memperkuat kompetensi mereka. Jika sampai terjadi, maka hilanglah predikat ‘istimewa’ yang seharusnya layak mereka sandang. Bahkan, mereka tidak istimewa sama sekali.
Melalui kompetensi di atas, santri nihā’īe benar-benar dipersiapkan untuk menjadi kader pemimpin umat, yang akan bermanfaat bagi dirinya sendiri (yanfa’u li nafsihī), bermanfaat bagi lingkungannya (yanfa’u li hawlihī) dan bermanfaat bagi manusia lainnya (yanfa’u li al-nās). Tentu itu adalah target ideal profil alumni yang kita harapan. Mengutip hadits Nabi Muhammad SAW., khairu al-nās anfa’uhum li al-nās—sebaik-baik manusia, mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Jadi tidak berlebihan rasanya, jika santri nihā’īe menyandang predikat ‘santri istimewa’—dalam tanda kutip.