Pelajaran pertama yang saya dapatkan saat menjadi santri adalah pelajaran berlari. Pelajaran ini didapat seusai mendengar dan menyaksikan sekian berita tentang kedisiplinan berwaktu yang ada di pesantren. Meskipun menakutkan dan menantang adegan berlari tetap harus dihindari agar tak terjerumus pada keterlambatan. Santri baru tentu menganggap keterlambatan sebagai kesalahan fatal. Untuk menghindarinya kami (para santri baru) bersepakat untuk selalu menghadiri kegiatan pada awal waktu. Seperti bersepakat untuk bangun beberapa jam sebelum waktu persiapan tahajud. (Waktu itu kami gunakan untuk mandi, mencuci baju bahkan sampai nyemil dan ngobrol).

Keengganan berlari hanya berlaku beberapa waktu saja. Saya memang tak menyukai berlari, tapi saya selalu senang saat melihat ratusan santri berlari. Mereka berlari sambil tertawa, bergurau seolah bahagia. Timbul keinginan untuk bergabung bersama mereka, berlari untuk menghadiri kegiatan. Terlebih saat saya bertemu dengan seorang teman berbadan besar (gendut). Saya (mungkin) bisa saja bertahan untuk selalu berangkat  lebih awal ke setiap kegiatan dan menjadi penonton orang berlari. Tapi saya berkehendak untuk membantu teman saya mencipta sejarahnya. Saya pun memutuskan untuk menjadi santri pelari.  

Sejak saat itu saya terkadang menyengaja mengajak teman untuk mendatangi kegiatan agak terlambat. Tujuannya agar kami bisa berjalan tergesa atau bahkan sampai berlari kencang. Saya ingin teman saya berolahraga tanpa merasa berolahraga. Hasilnya, setelah sampai di tempat tiap kegiatan yang kami ikuti dia selalu bernafas tak beraturan, bercucuran keringat dan berwajah lesuh. Iseng, saya sarankan dia untuk membawa handuk kecil kemanapun kita akan pergi. Dan sialnya dia menyanggupi.

Sekian bulan saya pun mulai keranjingan berlari. Peritiwa berlari terjadi dan menjadi rutinitas setiap hari di sekian tahun. Berlari tidak hanya atas alasan keterlambatan. Tapi juga menjadi kegemaran dan kebutuhan. Setiap peralihan kegiatan selalu dimulai dan diakhiri dengan berlari. Berangkat ke geserna, pulang dari geserna, menuju dapur, menuju kelas, dinatrian, kompil dan sebagainya. Adegan berlari dilakukan secara bersamaan tanpa aba-aba. Saat para santri berlari, suaranya seperti gemuruh hujan, gerombolan lebah penyengat atau pasukan perajurit saat menyerang.

Bagi sekian santri berlari seolah menjadi kewajiban tak terbantahkan. Seseorang yang tak mau berlari harus datang lebih awal dari pengurus penghitung waktu. Jika tidak ia harus menerima hukuman keterlambatan: berdiri, merapikan mushaf, menyapu atau menggunakan pita pelanggaran.

Terkadang saya tertawa geli saat dewan pengasuh putri mengeluh tentang santri yang menabraknya di jalan. Dugaan tak punya sopan santun, kurang perhatian saat melihat terkadang timbul. Sekian guru menyarankan agar santri tak usah berlari saat mengahadiri kegiatan tapi menggantinya dengan berjalan cepat. Saran ini berlaku beberapa saat dan kembali hilang. Akhirnya, saya berspekulasi bahwa tak ada yang dapat menyanggupi untuk menyelesaikan persoalan berlari. Karena para santri mendapatkan ketenangannya saat berlari.

Berlari menjadi bagian dari upaya penghargaan waktu. Seseorang yang berlari berharap memiliki sedikit waktu lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Kelambanan saat berjalan, bergerak dianggap akan mempengaruhi terhadap sekian tindakan bahkan tindakan berpikir. Saat ujian, kita bisa menyaksikan bagaimana santri dapat mengahafal sekian pelajaran disertai dengan halaman dan letaknya di dalam kitab dalam waktu yang cukup ringkas. Sedangkan dalam keseharian mereka harus menyelesaikan sekian hafalan dalam bahasa dan materi beragam. Ini bukan lantas karena kegemaran mereka berlari. Tapi kehendak untuk tak melulu mengartikan kecepatan berlari berlaku dalam tindakan ragawi semata, tapi juga tindakan rohani dan intelektualitas. 

Polemik tentang berlari pernah terjadi di sebuah keluarga kecil di Jepang. Kemiskinan dampak perang dunia kedua menjadikan berlari menjadi olahraga pilihan masyarakat miskin di Jepang. Sebuah novel biografis berjudul Saga No Gabai Baachan: Nenek Hebat dari Saga (2013)garapan Yoshichi Shimada mengisahkan tentang seorang cucu yang mengajukan pelbagai jenis olahraga di sekolah pada neneknya. Kata nenek, sang cucu Akihiro hanya boleh memilih olahraga berlari, cabang olahraga yang tak ada peminatnya. Alasannya berlari tak membutuhkan biaya, mulai dari kostum, pelatih dan alat olahraga. Akihiro dapat berlari kapan dan di manapun ia suka: di lapangan sekolah, pinggiran sungai dan jalan raya. Akihiro menyanggupi. Ia sadar bahwa tujuan berolahraga adalah mengerakkan dan menyehatkan badan. Tak perlu berbayar mahal dan rumit.

Keberhasilan Jepang mengentas dari kemiskinan kembali menjadikan berlari sebagai olahraga bermartabat. Sekian atlet berlari dari Jepang hadir mengikuti lomba maraton di tingkat dunia. Salah satu atletnya adalah Haruki Murakami. Selain sebagai pelari ia juga seorang penulis. Mungkin, bagi sebagian penulis berlari adalah hal yang menyita waktu. Apalagi jika dilakukan setiap hari dalam beberapa jam. Tapi Haruki berhasil menjadikan berlari tak sebatas olahraga semata. Haruki menjadikan berlari sebagai ritual yang filosofis. Berlari menjadi waktu merenungi kepadatan kota, lalu lintas, tanaman, ego, kecepatan, arah angin bahkan lanjutan kisah dalam novel yang sedang digarapnya. (Haruki Murakami, What I Talk About When I Talk About Running (2016)

Terlepas dari pengakuan filosofis berlari bagi Haruki kita pun tak melupakan sekian adegan berlari yang terjadi di Indonesia. Pada masa Orde Baru berlari menjadi bagian dari agenda politik. Berlari sebagai adegan menyelaraskan laju kecepatan di masa pembangunan. Dalam perkembangannya berlari menjadi aksi dalam beberapa kegiatan atas nama kemanusiaan, kesehatan. Berlari kerap kali menjadi aksi serempak dengan sederet ketentuan: mendaftar menjadi anggota, menggunakan kaos yang sama, bersertifikat, berfoto bersama dan memajangnya di media sosial. Berlari menjadi hal pamrih yang mesti diberitakan dan diberikan rekor.

Kini, setelah sekian tahun meninggalkan pondok saya cukup rindu berlari. Berlari tanpa pamrih orahraga, atas nama kesehatan, politik dan semacamnya. Berlari berbarengan dengan kesadaran bertempat dan berwaktu. Berlari disertai gelak tawa, ketakutan makian dan tangisan. Meskipun, setelah sekian tahun menjalani peristiwa dengan berlari, teman saya yang berbadan besar itu, masih sama dengan sebelumnya. Selamat berlari.

*Penulis wafat pada tanggal 20 September 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.