Rindu dan Syukur

Kata bocah Bandung bernama Dilan, Rindu itu berat. Entah seberat apa. Mungkin ia merasa rindu itu seperti mengangkat palu Thor. Ada pula yang bilang, ketika merasakan rindu, ada sesuatu yang mesti dituntaskan dan ditunaikan sesegera mungkin, seperti teks proklamasi yang mesti diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bahkan, ada yang lebih ekstrem. Eka Kurniawan dalam salah satu judul Novelnya: “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.” Ya, rindu harus tuntas.

Ini pun seperti hukum sholat, fardu ain. Mau gak mau, suka gak suka, mesti dilakukan. Terlepas, khusyuk atau tidak, sholat yang masuk fardu ain, mesti dan harus dilaksanakan. Bahkan, sekalipun sakit, kaki patah, leher bengkak, kepala benjol, sholat yang fardhu ain itu masih harus ditunaikan, walau dengan posisi berbaring, pun dengan isyarat mata. Ya, rindu itu fardu ain. Kalau tidak dituntaskan ia seperti hutang. Kalau tidak segera ditunaikan, percayalah, hidup gak tenang. Karena saban hari selalu dikejar-kejar tagihan.

Itu pula yang saya rasakan ketika mendapat kabar tentang Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang akan mengadakan syukuran 70 tahun usianya pada 12 November 2022. Berbagai group WhatsApp yang berkaitan dengan acara ini pun mulai ramai dari jauh-jauh hari sebelumnya. Mulai di group konsulat, IKBAL, hingga group teman-teman se-angkatan. Sebagian besar membicarakan acara syukuran 70 tahun Al-Amien Prenduan tersebut. Semuanya menampakkan kerinduan ke Pesantren yang terletak di desa Pragaan Laok tersebut.

Kerinduan itu semakin menjadi-jadi, sebab selain syukuran, acara tersebut ditambah dengan Reuni Akbar. Reuni para alumni. Ya, satu rindu (rindu kepada Al-Amien Prenduan) sudah menyelimuti diri, ditambah rindu lain yaitu, rindu kepada para sahabat se-angkatan saat di Al-Amien Prenduan.

Saya yang menjadi bagian dari keduanya, pun merasakan rindu. Rindu yang mesti segera dituntaskan dan ditunaikan. Rindu yang awalnya hanya rindu kepada Al-Amien Prenduan dan sahabat se-angkatan, makin menjadi-jadi. Sebab rindu itu makin bertambah dengan rindu suasana Madura, rindu petis Madura, rindu aroma laut dan pantai Madura, rindu dengan kenakalan-kenakalan saat nyantri, dan rindu-rindu yang lain.

Bisa dibayangkan, satu rindu saja sudah begitu dahsyat rasanya, bagaimana jika rindu itu begitu banyak?

Selain Rindu, diri ini sungguh sangat harus berterimakasih kepada para kyai, ustadz, dan semua hal yang berkaitan dengan Al-Amien Prenduan. Karena semua itu menjadi bagian tak terpisahkan dari diri dan hidup yang saya jalani hingga saat ini. Dari pembentukan mental, pengetahuan, spiritual, pengalaman, sikap, karakter, hingga pemikiran.

Karenanya, sungguh sangat berdosa, dan mungkin bisa jadi saya dicap kufur kalau tidak berterimakasi atas semua itu. Tentu saja, syukur dan berterimakasih itu penting, tapi bagaimana cara bersyukur dan berterimakasih itu lebih penting. Meski tak serupa, hal ini seperti yang pernah diucapkan Kyai Idris Djauhari dalam salah satu kitab karya beliau, Mabadi Ilmu Tarbiyah; “al-Thoriqotu ahammu min al-maddah, cara mengajar lebih baik dari pada materi ajar.”

Sederhananya, materi ajar itu penting, tapi bagaimana mengajarkannya, itu lebih penting. Seperti kata beliau; “belajar itu penting, bagaimana cara belajar, itu lebih penting.” Ya, begitu pun dengan syukur dan berterimakasih. Itu hal yang penting, tapi bagaimana berterimakasih dan bersyukur itu lebih penting. Karena itu, bagi saya, salah satu cara untuk bersyukur dan berterimakasih kepada Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan adalah dengan ikut datang dan menghadiri acara syukuran 70 tahun Al-Amien Prenduan sekaligus Reuni Akbar.

Lagi-lagi saya teringat dengan dawuh Kyai Idris yang bilang; “jangan jadi anak hilang.” Sepertinya beliau ingin membisiki hati semua santri agar pandai-pandai menjadi orang yang bersyukur.

Perjalanan Atas Nama Rindu dan Cinta

Layaknya mereka yang tengah jatuh cinta, apapun dan bagaimanapun keadaannya, akan berupaya untuk menemui yang dicinta. Pun kepada Al-Amien Prenduan. Mengantongi Bismillah dan kerinduan menggebu, saya ketok palu, memutuskan berangkat ke Madura pada Kamis malam.

Namanya hidup, tidak seru kalau tiada drama. Begitu pun dengan perjalanan kali ini. Ada rasa tak percaya diri menghinggapi: “bisa gak yah, saya nyetir sendirian ke Madura?” Karena keraguan itu, awalnya saya mulai mempertimbangkan beberapa alternatif.

Pertama ikut rombongan konsulat atau IKBAL. Berhubung di group ini, saya hanya jadi penonton setia, walhasil bis rombongan dari Jakarta sudah penuh. Alternatif ini gugur. Alternatif kedua, naik transportasi umum; kereta atau bis. Lagi-lagi alternatif ini pun luntur. Karena terbayang bawa barang yang gak sedikit, dan entah sejak kapan, saya selalu menghindari hal-hal yang bikin ribet.

Akhirnya, keputusan final adalah membawa kendaraan sendiri. PR-nya adalah mencari teman yang bisa menemani.

Mulailah saya bergerilya, menghubungi para sahabat satu angkatan yang ada di Jabodetabek. Hasilnya, nihil. Di antara mereka sudah ada yang pesan tiket sebulan lalu, ada yang ikut rombongan konsulat, hingga mereka yang berhalangan tuk berangkat.

Tak berhenti, saya pun menghubungi mereka yang beda angkatan. Alhamdulillah ada adik kelas asal Sukabumi yang saat ini kerja di Bekasi dan tinggal di Cipinang, Jakarta yang bisa menemani. Namanya Mukhlis.

Ya, saya menyadari satu hal; ketika sudah lulus, identitas dan ikatan sebagai alumni Al-Amien lah yang berlaku. Dan ini menjadi salah satu yang begitu erat mengikat diri kami.

Setelah diskusi kecil, Saya, adik saya, dan Mukhlis berangkat jam 10 malam dari Cipinang. Sungguh, kekuatan rindu itu begitu dahsyat. Rindu pada Al-Amien Prenduan, pada Madura, dan pada semua hal yang terjadi di sana seperti seorang dokter yang menyuntikkan vitamin atau sesuatu yang menambah stamina pada saya. Karena tak terasa, jam 5 pagi kami sudah sampai di Salatiga.

Setelah sholat subuh, dan kasih minum untuk mobil, kami lanjutkan perjalanan. gantian Mukhlis yang nyetir. Saya tidur. Lagi-lagi tak terasa, saya terbangun setelah sampai Surabaya, beberapa saat sebelum sampai Suramadu.

Bagi Mukhlis, ini adalah kali pertama setelah 18 tahun lebih ia tak pulang ke Madura. Sungguh, aura wajahnya menampakkan antusias yang tak biasa. Layaknya orang yang segera bertemu kekasih tercinta setelah sekian lama.

“Gak usah pakai AC ya, biar kita ngerasain aroma angin Madura,” ucap Mukhlis. Saya pun mengiyakan. Walau terbayang panas khas Madura akan segera menyerang, tapi bagi kami itu salah satu yang Kami rindu: aroma laut, panas, “cuko”, orang-orang bersarung dan berkopiah dimana-mana.

Jam 9 lewat beberapa menit, kami mampir di tempat makan yang cukup tenar di Bangkalan. Sepiring nasi dengan bebek goreng dan sambal yang aduhai adalah makanan pertama yang masuk ke perut saat kami tiba di Madura. Sungguh, terimakasih Bangkalan, karena sudah punya hidangan yang begitu dahsyat rasanya. Karena tidak pernah saya temui rasa yang sama ketika di Depok atau Jakarta.

Jam 10 perjalanan di lanjutkan kembali. Berhubung Jumat, kami berhenti di Pamekasan untuk solat jumat.

Sowan ke Orang Tua di Bawah Matahari

Bagaimana rasanya ketika bertemu dengan orang yang dirindu setelah sekian purnama tak bertemu? senang, bahagia, istimewa, dan kata-kata yang lain sepertinya tidak cukup untuk menggambarkan apa yang dirasa, bukan? Pun dengan saya. Jam 12 lewat dua puluh delapan menit, mulai memasuki gerbang Al-Amien Prenduan. Di sini, saya seperti masuk gerbang waktu. Mengantarkan ingatan ke lebih 19 tahun yang lalu. Bahkan ke 25 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1997, saat pertama kali diantar dan didaftarkan orang tua menjadi santri Al-Amien.

Yang pasti, saat ini sudah begitu banyak perubahan. Terlebih pada bangunan fisik. Hal ini salah satu bukti Al-Amien mengalami kemajuan dan perkembangan. Salah satu tanda kemajuan dan perkembangan adalah adanya perubahan yang signifikan, yang awalnya gak ada, menjadi ada, bukan?

Perlahan laju kendaraan memasuki “rumah”, semakin dalam semakin terasa kerinduan itu membuncah. Saya gak peduli beberapa santri berpakaian pramuka mengarahkan agar pertama adalah “maqbaroh” orang tua tercinta: Kyai Tidjani Djauhari, Kyai Idris Djauhari, dan Kyai Maktum Djauhari.

Entah, landasan apa yang membuat tempat Orang Tua kami tersebut dibiarkan terbuka, mungkin untuk menjaga sakralitasnya atau memang istiadat yang membuatnya seperti itu, hingga tiada atap yang menaungi. Padahal kalau ada, atau “auning” bisa menambah kenyamanan peziarah. Lebih-lebih bagi mereka yang ingin berziarah dan “sowan” di siang hari. Tak terbayang, beliau-beliau tak pernah sepi dari “kunjungan”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.