Saya memulai tulisan ini dengan sedikit cerita yang membuat saya agak sangsi dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar. Terutama kaitannya dengan peran santri hari ini. Kalau enggak salah ingat tahun 2019 lalu, saya berselancar di Facebook. Posisi itu saya mungkin lagi gabut, sehabis pulang dari kampus. Nah, enggak sengaja saya melihat postingan orang Indonesia yang sering saya temui membawa narasi-narasi kontradiktif dan provokatif. Biasanya saya mengabaikannya, tapi untuk kali ini saya mencoba mengomentari postingan-nya itu.
Dalam akun Facebook-nya, ia menulis status dengan membawa narasi terkait pembangunan 80 geraja koptik tanpa harus izin dan penghancuran 150 masjid yang dilakukan sejak rezim Presiden al-Sisi berkuasa di Mesir. Pun, tidak jarang dia menjelek-jelekkan Grand Syekh al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib, yang dituduhnya antek-antek rezim. Ah, masa iya sih? Sejahat itukah al-Sisi kepada umat Islam? Lantas, saya mencoba meminta rujukan atas narasi yang dia bawa itu, sebagai bahan informasi untuk menguji validitasnya.
Tak selang berapa lama, pemilik akun itu me-mention saya dengan lampiran berita berbahasa Arab. Saya baca pertama kali berita itu, tampaknya enggak ada penyebutan secara tersirat penghancuran masjid yang dimaksudkan. Kedua kalinya, tetap enggak ketemu. Karena khawatir saya yang salah paham, saya baca tiga sampai empat kali dengan sesekali bertemankan kamus untuk memastikan. Fix, berita itu tidak membicarakan apa yang ia narasikan. Saya merasa risih ketika selesai membaca berita tersebut. Karena apa yang ia narasikan 180 derajat berbanding terbalik dengan berita yang dilampirkan.
Tanpa panjang lebar, saya membalas postingan tersebut. “Anehnya, saya belum menemukan penghancuran masjid di berita yang Anda berikan kepada saya. Kalau Anda menemukan, tolong screenshoot segera ke saya ya, Pak! Justru berita itu membahas pemugaran gereja di Damardash pasca-pengeboman oleh teroris yang jaraknya lumayan dekat dengan daerah tempat tinggal saya. Apakah salah, jika seorang presiden melindungi rakyatnya tanpa harus melihat latar belakang agamanya? Apalagi yang dipugar adalah gereja yang dibom pada tahun 2017.” tulis saya waktu itu. Sampai akhir pun, dia tidak membalasnya lagi.
Kemudian saya berpikir macam-macam, terkait postingan orang itu tadi. Lebih mirisnya lagi, ketika saya membaca kolom komentar rata-rata isinya penuh provokatif. Bahkan, yang membagikan statusnya sudah kadung banyak. Hal ini menimbulkan pertanyaan, pemilik akun tadi mengirim teks berita bahasa Arab ke saya, apakah ia sudah memahami teksnya secara komprehensif? Atau malah enggak tahu artinya. Kalau pun tidak memahami, kenapa pemilik akun itu berani berbuat seperti itu? Memang remeh sih postingan tadi, tapi ketika kita melihat realitanya, sesimpel inikah informasi tidak valid dinarasikan oleh oknum di sosial media?
Hematnya, peristiwa tadi mengindikasikan adanya semacam fenomena “pudarnya kepakaran”, yang kerap terjadi akhir-akhir ini. Saya yakin, di luar sana masih banyak orang yang suka membicarakan pelbagai peristiwa, baik itu keagaaman, sosial-politik, hukum ataupun ekonomi, yang justru bukan ahlinya. Istilah pudarnya kepakaran di sini, bukan berarti para pakar dalam bidangnya sudah enggak ada lagi. Justru sebaliknya, orang-orang yang bukan pakar dalam bidangnya mudah bicara di depan publik hanya berbekal membaca di Google ataupun hasil penggiringan dari narasi orang lain.
Namun, kegusaran saya cukup dinafikan ketika melihat wajah pendidikan di pesantren kita. Istilah sederhananya, bekal yang dipersiapkan oleh pesantren adalah generasi yang siap pakai; bisa menjawab persolaan agama, hukum, ekonomi atau apapun yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat. Dengan catatan, bahwa pendidikan tradisional ini mempu terus bergerak untuk membaca perkembangan zaman tanpa meninggalkan dasar pijakannya, yaitu kitab klasik.
Banyak masyarakat yang cenderung menilai seorang santri tidak memiliki kapasitas lebih di masyarakat selain membahas kitab kuning atau agama. Namun, perbincangan ini sudah klise dan tidak berdasar ketika kita melihat wajah pesantren yang sudah banyak berubah, bahkan pesantren salaf sekalipun. Gus Reza Ahmad Zahid, dalam obrolan santai di webinar Muktamar Pemikiran Santri Nusantara, menyatakan bahwa pesantren tetaplah pesantren, ia tidak akan pernah berubah. Ya, tetap ada hafalan, diskusi, bandongan dan sorogan. Yang berubah hanya penambahan materi ajar yang berkaitan dengan pelajaran umum, sebagai ejawantah dari kitab klasik untuk menghadapi persoalan sosial masyarakat modern.
Menariknya, metode pengajaran pesantren yang klasik ini menumbuhkan satu terma pendidikan yang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Contoh sederhananya, seorang santri ketika belajar di hadapan gurunya, tentu ia akan diawasi, dititeni, diarahkan dan ditegur ketika ada satu kealpaan. Tradisi seperti ini, menumbuhkan sikap kehati-hatian dan tidak serampangan untuk menyebarkan informasi ketika para santri keberadaanya sudah di tengah-tengah masyarakat. Hal demikian, tentunya yang diharapkan dari jebolan pesantren ke depannya. Tentu saja, peran santri dalam menangkal berita hoaks dan wacana keislaman yang eksklusif dinanti masyarakat.
Pun, kita tidak asing lagi beberapa santri era milenial ini banyak yang melanjutkan studi ke pelbagai kampus umum, baik di luar negeri maupun dalam negeri. Jurusan yang diambil tidak melulu membahas persoalan agama. Herannya, perkembangan ini membuat sebagian masyarakat yang berpikiran eksklusif dan tertutup, mempertanyakan identitas santri yang dikhawatirkan menjadi liberal atau semacamnya. Sebelum munculnya paradigma sempit tadi, justru sudah diperhitungkan matang-matang oleh pesantren. Bahwasanya, dasar pendidikan yang ditanamkan kepada mereka cukup kuat terkait nilai-nilai kepesantrenan dan kitab klasik.
Implikasi ke depannya, santri tidak kaku lagi membahas tentang ekonomi, politik, sosial ataupun persoalan yang bukan hanya tentang agama. Sakali pun membahas persoalan agama, ya semestinya pembahasannya menampilkan wajah Islam yang adem, inklusif, tidak kaku dan jauh dari doktrin takfirisme. Di sini, pendidikan pesantren memiliki peran untuk terus memberikan pemahaman, sejauh apa pun bidang yang akan diambil oleh santrinya nanti, tetap semua itu hasil interpretasi dari wajah agama.
Perlu ada penegasan, bahwa jihad yang diambil santri saat ini bukan lah memegang bambu runcing, melakukan bom bunuh diri di gereja, bergabung dengan ISIS ataupun memusuhi saudara muslimnya dengan mengatasnamakan agama. Pentingnya kesadaran, bahwa jihad kekinian yang diambil santri adalah memahami agama bukan dari satu sisi saja, agar ia tidak skeptis terhadap sains ataupun ilmu sosial. Santri seyogianya berani memandang bahwa pendidikan politik, sosial ataupun hal-ihwal pelajaran sosial, merupakan jati diri untuk menginterpretasi nilai-nilai adiluhung Islam. Hingga muncul cendekiawan-cendekiawan muslim yang benar-benar “cendekiawan” berbicara di hadapan publik sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Akan tetapi, beberapa pakar terkadang masih memandang bahwa panggung bicaranya memiliki kelas tertentu, sehingga mereka enggan untuk menyuarakan pendapatnya di tempat yang bukan kelasnya. Padahal, pendapat mereka lah yang ditunggu masyarakat, bukan sembarang oknum yang berbicara tidak sesuai fakta dan realita. Saya memberi contoh seorang santri yang tetap enjoy membahas apa pun di dunia maya dan cenderung tidak terlalu mementingkan hierarki keilmuan, semisal Gus Nadhir seorang dosen di Monash University, Australia. Beliau tetap stay enjoy ketika di Twitter mengemas pembahasan sosial-politik atau apapun yang berkaitan dengan kepemerintahan.
Jika Gus Nadhir yang jebolan pesantren salaf saja bisa membahas sosial-politik dengan rujukan yang dapat dipercaya, kenapa seorang santri seperti kita masih latah untuk mewarnai narasi-narasi positif sesuai bidang kita masing-masing? Tentu saya masih percaya, bahwa jebolan pesantren di masa mendatang akan menangkal semua narasi bodong di berbagai bidang yang dibawa oleh oknum-oknum nakal. Terakhir, santri tetaplah santri sampai kapan pun. Namun, baju yang dipakai santri boleh berbeda untuk mewarnai tatanan masyarakat dengan keahliannya masing-masing.